***
"Bagaimana jika kukatakan bahwa aku cemburu?"
Ivan
***
Cuaca siang hari ini membuat seluruh makhluk ciptaan Tuhan kegirangan tak terkira. Tanpa hujan dan sangat cerah. Tapi itu tidak berlaku kepada cowok yang tengah gusar duduk di atas ranjangnya. Sesekali matanya melirik ponsel yang tergeletak dengan manis tepat disebelahnya.
Tidak ada pesan ataupun chat yang masuk dari adiknya. Rasanya ia ingin berkata kasar.
"Awas aja," gumamnya sambil merebahkan diri ke ranjang.
Ivan tidak berangkat ke sekolah. Pak Satria memberikan hukuman untuknya, 3 hari dirumahkan. Kesal? Tentu saja. Tetapi ia juga mengutuk dirinya sendiri.
Ana teguh pada pendiriannya, tidak bicara sepatah katapun bahkan ketika mereka pulang bersama dan sampai di rumah. Ivan merasa frustasi.
Di kepalanya sudah banyak tersusun rencana untuk membuat Ana bicara lagi padanya, dari mulai meminta maaf, mangajak jalan-jalan, menjelaskan masalahnya sampai menghajar Ricky.
Tapi ketika melihat Ana keluar dari kamar bersamaan dengannya tadi pagi, semuanya lenyap. Ana menatapnya dengan dingin dan buru-buru turun untuk berangkat ke sekolah di antar Papa. Tidak sempat menahannya dan meminta maaf tentunya.
Ivan menghela nafas, mencoba mengisi rongga paru-parunya dengan udara. Namun, rasanya sesak.
Suara pintu diketuk membuyarkan semua perasaan kesalnya. Dilihatnya seorang wanita yang tidak lain adalah Mama membuka pintu kamarnya sambil membawa segelas susu dan diletakkan di atas nakas.
"Ada apa?" tanyanya yang kini duduk di tepi ranjang. Matanya tidak berani melihat ke arah Mama. Hanya menatap ke lantai putih yang dilapisi karpet berbulu garis-garis hitam dan putih.
Tangan Mama terulur, menyentuh rahangnya yang kemarin dihajar Ricky. Menarik paksa agar mata mereka bertemu.
"Kamu yang kenapa? Nggak biasanya kamu berkelahi lho."
Mana mungkin jika ia mengatakan ini karena si makhluk sial itu mendekati Ana? Mama pasti akan meledeknya dengan mengatakan "Dasar Brother Complex."
"Nggak apa Ma," jawabnya sambil memalingkan wajah.
Mama duduk disebelahnya.
"Kamu pasti gitu deh. Nggak mau cerita ke Mama pas ada masalah. Dari dulu selalu begitu. Kayak gini nih, pulang kerumah wajah udah babak belur."
"Kan aku udah bilang nggak ada apa-apa."
Mama menatapnya heran.
"Masa? Ini wajah gantengmu jadi begini apanya yang nggak apa," omel Mama yang malah menjawil hidungnya. Tentu saja Ivan meringis karena lumayan sakit.
"Ada masalah sama Ana pasti. Diapain dia di sekolah?"
Tentu saja matanya berputar melihat ke arah Mama. Selalu pandai dalam menebak dan menyusup ke dalam pikirannya.
"Hah? Nggak sama sekali Ma," elaknya. Tapi tentu saja itu tidak berhasil. Mama tersenyum jahil padanya.
"A-apa?"
"Ana diganggu cowok?"
"Mama!" serunya dengan suara tinggi. Wanita disebelahnya terlihat senang berhasil mengetahui yang ada dipikirannya.
Mama tertawa bahagia lalu menyikut lengannya pelan.