The Liar and His Flower

Sf_Anastasia
Chapter #14

#TLAHF 12 - Salahkah Aku dan Perasaanku?

***

Selalu saja, ketika muncul seseorang yang baru, maka seseorang yang lama akan tergantikan posisinya. Diacuhkan seakan tidak diakui keberadaannya.

***

"Ivan, jangan begitu sama tamu," ujar Mama dengan suara rendah.

Papa yang berdiri di sebelah Mama menganggukkan kepalanya, mengamini apa yang diucapkan orang yang sudah membawanya ke dunia. Ivan hanya bisa memandang dengan tatapan malas dan kesal. Sungguh, berdebat dengan Mama tidak akan ada habisnya. Mama akan terus mengintimidasinya hingga ia kehabisan kata-kata dan tak sanggup untuk menjawab lagi.

"Ma, dia ini-"

"Ivan," ucap Mama, kali ini dengan suara yang lebih ditekan. Mengisyaratkan jika dirinya harus mengalah dan menuruti kata-kata Mama.

"Van, dengerin Mama," kata Papa yang semakin mengintimidasinya. "Kamu nggak boleh ngomong kasar ke tamu kita."

Ivan terpaksa mendecakkan lidahnya dan menatap kesal pada mereka. Tidak perlu menunggu waktu lama, Ivan segera membawa angkat kaki dari sana, meninggalkan keempat orang yang pasti menatap punggungnya yang pergi menjauh dan menghilang di ujung pintu. Tangannya mengepal sangat erat hingga buku-buku jarinya memerah.

Setengah berlari Ivan menuju kamarnya yang berada di lantai dua. Setelah berhasil membuka pintu kamarnya, dengan sebelah tangan ia menutupnya dengan kasar sehingga terdengar suara yang memekakkan telinga.

"Sialan," umpatnya dengan suara keras.

Napasnya terengah-engah, bercampur karena perasaan kesal, marah dan lelah berlari. Lalu Ivan menyadarkan punggungnya pada pintu di belakangnya. Tanpa sadar, tubuhnya merosot hingga dirinya duduk di lantai yang dingin. Kepalanya terkulai lemas, tertunduk menatap lantai. Perasaannya tidak menentu atau mungkin ia sendiri tidak memahaminya.

Apakah yang gue perbuat adalah sebuah kesalahan?

"Tidak. Gue nggak salah," jawabnya pada dirinya sendiri. Ivan hanya tidak ingin Ana terluka, mengingat jika masa lalu Ana cukup buruk dan membuatnya hancur. Sebelah tangannya memijit pelipisnya yang berdenyut. Ingatan itu, bagian dari kenangannya yang paling menakutkan, serta menyakitkan. Tanpa sadar, memori itu berputar layaknya film yang sedang bermain di bioskop. Membuat Ivan terpaku, tak bergerak sedikitpun.

Eh?

Ivan menatap gadis kecil di depannya dengan heran. Bahkan teriakan histeris Mama yang langsung memeluk Papa tidak dihiraukannya. Yang menjadi pertanyaannya adalah ada apa dengan adiknya?

Kakinya melangkah menuju ranjang rumah sakit yang berselimut sprei berwarna putih, mendekati Ana yang duduk di sana dan menatap aneh kepada mereka semua termasuk dirinya. Di dahi Ana terdapat perban yang menutupi luka yang di deritanya.

"Ana ini kakak", ucapnya dengan lirih. Sebelah tangannya mencoba meraih tangan mungil Ana dan menggenggamnya dengan erat. Ia berusaha agar perasaannya tersampaikan. Namun tatapan adiknya nanar dan seakan kebingungan.

"A-aana?" tanya Ana dengan suara terbata-bata. Matanya mengedar menatap ke arah pria berjas putih dengan stetoskop yang tergantung di lehernya, lalu wanita berbaju putih, sepasang pria dan wanita lain yang tadi menangis histeris dan kemudian menatap cowok yang menggenggam tangannya. Ivan melihat sorot mata itu, kosong dan bingung. Apa yang terjadi dengan adiknya?

Sebelah tangannya yang bebas ikut menggenggam tangan Ana juga. 

"Iya, Ana kenapa?"

"A-ana, s-siapa?"

Kedua tangannya yang tadi menggenggam erat tangan Ana sontak di lepaskannya. Ivan mundur selangkah dan berkali-kali mengerjapkan matanya. Berusaha meyakinkan jika semua ini adalah mimpi. Tapi, semua ini nyata. Kenyataan yang sangat pahit.

Sedetik kemudian dokter dan suster segera menghampiri Ana dan mengajukan beberapa pertanyaan. Mendengar semua kata-kata yang terlontar itu bagaikan kaset rusak di telinganya. Menyakitkan untuk di dengar. Bahkan untuk di terima akal sehatnya.

Tubuhnya tersentak dan seketika dirinya kembali kepada masa sekarang. Kepalanya menengadah, menatap langi-langit kamarnya yang berwarna gelap namun dihiasi dengan bintang-bintang berwarna putih yang akan terlihat menyala ketika lampu dimatikan. Matanya nanar, namun berusaha tetap sadar dan tidak terbawa oleh arus emosi yang sejak tadi menguasai diri.

Ivan sadar, ketakutannya akan Ana kembali terluka membawanya kepada jalan yang salah.

"Bagaimana caranya waktu diputar kembali?" gumamnya pada diri sendiri. Kemudian Ivan kembali tertunduk lesu.

Jelas, waktu yang telah terlewati takkan mungkin bisa kita putar sesuka hati bukan?

***

Kedua mata bulatnya hanya bisa memandangi punggung yang menjauh itu. Punggung yang selalu menjadi sandarannya ketika sedih karena hal-hal yang sama sekali tidak diingatnya. Namun ia mengerjap, bukan itu yang harus dipikirkan sekarang. Tapi patut dipertanyakan mengenai sikap kakaknya yang sangat berubah.

Lihat selengkapnya