***
Rindu, satu kata dengan berjuta makna. Memilikinya dapat membuat perasaanmu menjadi berantakan dan ingin segera bertemu. Tapi bagaimana jika yang dirindukan sudah tiada?
***
Hari memang sudah gelap semenjak ia pergi meninggalkan tempat terkutuk itu. Ia telah lama terluka di dalam sana, namun luka itu semakin membesar kala wanita sialan tadi datang dan akhirnya berani untuk mengambil posisi yang telah lama ditinggalkan. Makam Mama memang telah mengering, tapi ia tak pernah lupa dengan semua perbuatan mereka kepada wanita yang telah melahirkannya ke dunia kejam ini. Sungguh, tidak ada rasa kemanusiaan sama sekali.
Ricky memacu motornya dengan kecepatan tinggi dan tambahan emosi yang memuncak. Rasa sakit mendera kepalanya karena ledakan amarah yang belum tersalurkan. Seandainya Nenek tidak ada disana, ia sudah menghabisi ketiga orang disana. Ya, minimal membuat mereka membayar semua yang telah mereka lakukan.
Dengan kecepatan yang semakin tinggi, ia tidak segan-segan untuk membunyikan klaksonnya berkali-kali agar pengendara lain memberi jalan untuknya. Beberapa dari mereka akhirnya mengalah sambil mengumpat karena tingkah lakunya.
"Wong gendeng!"
"Balapan di sirkuit anj**g!"
"Astaghfirullah, gila itu orang!"
"Berenti lo bangsat!"
Ricky mendengar sayup-sayup hardikan itu, tapi keadaannya sudah sangat buruk dan emosi yang sudah tidak terkontrol. Tapi ia masih sadar untuk tidak menghajar mereka.
"Berenti lo!" hardik salah satu pengedara motor yang tiba-tiba saja ada di samping kanannya. Seorang laki-laki dan seorang temannya yang duduk di belakangnya, kelihatan tidak senang dengan apa yang ia lakukan barusan. Ricky hanya menoleh sekilas, berusaha tidak menghiraukan. Namun mereka tidak berhenti dan mengejarnya.
Tidak ingin berurusan dengan orang tidak di kenal, tepat di ujung jalan besar ia berbelok memasuki jalan yang lebih kecil. Ricky tak mengenali jalan ini, bisa dibilang ini kali pertamanya. Berbagai macam rumah ia lewati, minimarket yang telah tutup, tukang nasi goreng yang tengah melayani pembeli dan sekumpulan anak muda dengan motor-motor aneh. Merasa mereka sudah tidak mengikutinya, Ricky menurunkan laju motornya. Semakin lama semakin sepi dan setiap bangunan memiliki jarak. Padahal ia berada di kota, tak mengira daerah seperti ini masih ada.
Namun dari arah berlawanan, sebuah kendaraan roda dua berusaha menghentikannya dengan berhenti tepat di depannya. Terkejut, Ricky membanting stirnya ke arah lain dan menekan rem kuat-kuat. Beruntung ia tak terjatuh dari motor karena berhasil mengendalikannya dengan baik. Namun suara decit roda yang bersinggungan pada aspal jalan cukup memekakkan telinga.
Napasnya memburu diiringi denyut jantung yang berpacu cepat. Ricky masih mengumpulkan kesadarannya dan berusaha melihat ke arah motor tadi. Bagus, lampu jalan masih bersinar terang. Dan...
"Mereka?"
Ya, mereka adalah dua orang laki-laki yang mengejarnya tadi. Ia pikir mereka telah melepaskannya, nyatanya tidak. Emosinya semakin bertambah buruk. Baru saja ia melepas helmnya, tidak disangka mereka membawa kawanan yang membawa motor aneh berjumlah sekitar 30 orang, sepertinya motor-motor itu di modifikasi karena bentuknya yang tidak biasa. Merasa tak asing dengan pemandangan ini, Ricky tersadar akan kumpulan anak muda yang tadi ia dilihat sebelumnya. Jadi, sejak tadi udah ngebuntutin gue?
"Mau apa lo semua? Hah?" tanyanya setengah berteriak, memecah keheningan malam yang sepi.
Laki-laki yang menghardiknya tadi maju ke arahnya sambil melepas helm, kemudian dia berikan pada teman di sampingnya. Dia kita berdiri tak jauh darinya. Kedua bola mata abu-abunya melihat mereka satu persatu. Tidak ada satupun yang memberikan tatapan bersahabat. Ia mendesah pelan sembari meletakkan helmnya di atas aspal. Mengapa harus berurusan dengan mereka di saat seperti ini?
"Lo pikir ini jalanan punya bokap lo?" ucap laki laki tadi dengan kasar. Para kawanannya ikut mengatakan hal-hal menyebalkan, membuatnya menjadi semakin kesal.
"Seenaknya aja ngebut di daerah sini. Lo nggak tau ini daerah kekuasaan gue, hah?"
Ricky hanya memutar matanya malas lalu memperhatikannya lebih seksama. Mereka memiliki wajah liar, tidak bersahabat, gaya rambut yang bisa dikatakan cukup aneh, tatto dan berbagai macam piercing yang ada di telinga, hidung bahkan bibir, khas anggota kelompok jalanan. Seringai jahat muncul di bibirnya
"Gampang, nggak sulit," katanya enteng. Laki-laki tadi menatapnya heran.
"Maksud lo apa?"
Iris matanya menajam sambil kepalanya bergerak hingga tulang lehernya sedikit bergemeretuk. "Gue persingkat aja, lo yang maju atau gue yang maju?"
"Jing, dia nantangin!" umpat kesal laki-laki di depannya. "Lo mau mat-"
Belum sempat laki-laki ini melanjutkan, tubuhnya sudah jatuh tersungkur ke aspal. Dia meringis memegangi wajah sebelah kirinya yang berdenyut. Darah segar meluncur dari sudut bibirnya. Baru saja Ricky menghajarnya dengan satu pukulan yang tidak sempat di prediksi olehnya dan juga kawanan di sebrangnya. Mata laki-laki ini melotot tajam ke arah Ricky dan berusaha berdiri tegak di depannya. Menuntut penjelasan atas perlakuan yang diterimanya.
"Berani banget lo. Nggak sadar kalo lo itu cuman sendiri."
Ricky tertawa kecil, yang sebenarnya adalah tawa menakutkan, seraya menggerakkan tangannya yang masih mengepal. Buku-buku tangannya sedikit lecet karena dengan berani menghajar tanpa dipikirkan lagi konsekuensi yang akan diterima.
"Kenapa kalo gue cuman sendiri? Takut?"
Laki-laki ini menggerakkan sebelah tangannya, seakan mengatakan kepada para kawanannya agar segera maju untuk menghabisinya disini.
"Tamat riwayat lo."
Sedetik kemudian kawanan itu maju ke arahnya dengan tatapan membunuh. Ricky menyeringai dan mempersiapkan diri. Kedua tangannya mengepal keras. Di malam yang sunyi ini suara teriakan mereka bagaikan raungan serigala yang menemukan buruannya. Lolongan kesakitan, suara pukulan dan darah bercucuran di atas aspal. Peluh mengucur deras di dahi mereka. Malam ini, bukanlah Ricky yang akan tamat disini, tapi...
Mereka.
***
"Alhamdulillah ya abis nih dagangan kite," kata seorang laki-laki yang sedang mendorong gerobak sate ayam khas madura pada temannya yang berjalan di sampingnya. Satenya memang khas madura, tapi mereka berdua adalah asli betawi.
Temannya ini sibuk mengibaskan kipas sate untuk menciptakan angin untuk mengusir hawa panas yang mendera. "Iye.Mayan ye di borong ama bocah-bocah tadi."
"Yang motornya aneh-aneh ye?" tanyanya sambil mencoba mengingat-ingat.
"Lah iye bener. Ente sibuk nusukin sate sih makanye kaga merhatiin."
"Kalo bukan ane yang nusukin sape lagi rojali. Masa kita suruh mereka, yang ada kite berdua yang jadi sate," ucapnya sambil meringis membayangkan hal buruk yang akan terjadi jika kata-katanya barusan menjadi nyata.