The Liar and His Flower

Sf_Anastasia
Chapter #18

#TLAHF 16 - Heran

***

Pernahkah kamu merasa bingung dengan pertanyaan yang di lontarkan padamu? Ya, aku merasakan itu sekarang. Mengapa aku harus takut kepadanya?*

**

Pagi ini Clara belum datang. Dilihatnya arloji yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Masih menunjukkan pukul tujuh lewat satu menit dan memang belum banyak siswa maupun siswi yang tiba disini, hanya ada beberapa yang sibuk dengan dunianya masing-masing. Sepertinya ia terlalu dini tiba di sekolah. Yah, bagaimanapun ia tidak bisa protes karena yang mengantarnya hari ini ke sekolah adalah Papa, bukan berangkat bersama Kak Ivan seperti biasanya.

Biasanya?

Seakan hal ini sudah menjadi kebiasaan lama. Padahal ia belum lama menjadi murid disini. Ana diam sebentar sambil memperhatikan mangkuk bubur kacang hijau yang di pesannnya tadi. Ingatannya melayang saat pagi buta cowok itu menelponnya.

"Kamu, nggak takut sama aku?"

"Kenapa harus takut? Emangnya dia ngapain?" tanyanya pada diri sendiri.

Baru saja hendak memasukkan sesendok bubur kacang hijau ke dalam mulut, gerakannya terhenti tatkala seorang cowok mendaratkan bokong pada kursi kosong yang ada didepannya. Dengan senyum nakal yang menghiasi bibir itu, Ana sudah mengenali siapa dia. Namun dahinya berkerut samar.

"Ricky kok disini?" tanyanya heran. Sebelah tangannya meletakkan sendok di atas mangkuk bubur kacang hijau yang sudah tersisa setengahnya. Namun alisnya berkerut samar. "Ky, kamu kenapa?" tanyanya lagi saat melihat dengan seksama wajah Ricky yang di penuhi plester di bagian pelipis, dahi, dagu, pipi dan sudut bibir yang luka.

Cowok ini tidak langsung menjawab pertanyaannya tetapi malah memperhatikannya dengan seksama. Kedua tangannya disilangkan di depan dada, sekilas Ana meliha buku-buku jari cowok ini yang juga di penuhi plester. "Kenapa? Nggak boleh aku mau ketemu pacar aku?"

Kedua bola mata bulatnya berputar malas. Ricky tidak menggunakan tasnya, kemungkinan besar memang tidak dibawa olehnya. Lalu ia beralih pada outift cowok ini, masih menggunakan seragam yang tidak dikancingkan dan kaos berwarna hitam di dalamnya. Lho dia tidak pulang ke rumah?

"Aku bukan pacar Ricky lho," tegasnya. "lagian kan kamu kan lagi di skors. Kok bisa-bisanya ke sekolah? Nggak takut ketahuan?" Dengan sebelah tangan, Ricky kini menopang dagunya. Ia dapat melihat bola mata abu-abu itu menatapnya dengan seksama. Sebelah tangannya menarik tangan cowok ini. "Kamu juga belum jawab, ini kenapa luka-luka gini?"

"Tapi kamu bilang kemarin rasanya sesak kalo deket aku, sekarang masih nggak? Aku mau mastiin," godanya sambil terkikik geli.

Lain halnya Ana yang langsung tersedak hingga terbatuk-batuk. Sebelah tangannya lantas melepas tangan Ricky dari genggamannya dan segera menyambar segelas air putih di sampingnya dan menenggak sampai tak tersisa.

"Pelan-pelan minumnya sayang."

Hampir saja air yang ada di dalam mulutnya hendak menyembur keluar namun buru-buru ia telan.

"Apa sih, kok sayang-sayang!", serunya sambil meletakkan gelas di meja. Ricky masih saja tertawa geli, seakan memang sudah di rencanakannya. "Sengaja ya?"

Tawa itu terhenti. Ana menyadari tatapan sinis di sekelilingnya. Apalagi beberapa siswi dengan sengaja melewati meja mereka dan melempar senyum menakutkan.

"Kalo sengaja emangnya kenapa? Aku kan sayang Ana," terangnya dengan suara lantang menyebabkan seluruh siswi yang ada di kantin terkejut. Bahkan tiba-tiba suara isakan dari salah satu siswi. Mata Ana mengedar dan mendapati siswi itu melihat padanya dengan amat tajam. Lalu ia beralih pada Ricky yang memasang wajah tak berdosa.

"Ky, jangan ngomong gitu dong. Ana nggak mau dapet masalah," omelnya dengan suara pelan. Tapi Ricky memajukan kepalanya, seakan tidak mendengarkan apa yang diucapkannya.

Lagi-lagi Ricky bersuara keras."Apa? Kamu sayang aku juga? Jangan bisik-bisik dong, Ana."

What?

Ana berdiri dari kursinya secara otomatis. Cowok ini sepertinya mengalami sakit dibagian otaknya, entah di sebelah mana. "Ricky jangan macem-macem ya. Ana nggak ngomong kayak gitu. Sama sekali nggak!" tegasnya dengan suara yang tak kalah keras.

Segera saja sebelah tangannya menyambar tas yang duduk manis di sampingnya dan angkat kaki dari mejanya. Tapi ia tidak bisa beranjak. Pergelangan tangannya tertahan. Kepalanyamenoleh. Benar saja Ricky sudah menahannya agar tidak pergi dari sini.

"Lepas nggak. Ana mau balik ke kelas!"

"Tunggu dulu, Na. Aku bel-"

"Apa? Mau ngelawak apa lagi? Lepas atau Ana gigit tangan Ricky!" ancamnya dengan jari telunjuk di arahkan ke wajah cowok di depannya ini.

Tapi tangan Ricky menangkap jari Ana dalam gengaman tangannya. 

"Aku mau tanya ke Ana, emang udah bayar bubur yang kamu makan itu?"

Pertanyaan Ricky sukses membuat mata dan bibirnya membulat seperti donat J.bo yang baru saja matang. Ana memang terbilang baru di SMA Nusantara, tetapi ia sudah menghafal segala peraturan yang ada di sekolah ini. Terutama mengenai sistem pembayaran di kantin, yang menerapkan "makan dulu baru bayar" bukan "bayar dulu baru makan".

Astaga, Ana mengutuk kebodohannya sendiri. Di belakangnya, siswa maupun siswi yang melihat kejadian ini terkikik geli. Bodoh, pasti kata itulah yang ada di dalam pikiran mereka.

"Argh, Ricky sih gangguin Ana. Kan jadi lupa," omelnya dengan wajah cemberut.

Ricky mengerjap beberapa kali. 

"Aku?" tanya cowok ini seakan tidak percaya dengan ucapan yang terucap oleh bibir manis itu. "oh, aku nggak ngapa-ngapain lho. Mending kamu sekarang bayar, daripada kamu ngomel terus," perintah Ricky sambil memutar tubuhnya.

"Aaap-"

"Apa? Dah sana bayar," tangan Ricky bergerak seakan mengusirnya sambil tersenyum. Sungguh senyuman meledek.

"Huh!"

Masih dalam keadaan bersungut-sungut, Ana pergi meninggalkan Ricky dan menuju ke arah gerobak abang penjual bubur kacang hijau. Tapi ia mendapati keanehan saat tangannya membuka resleting tas. Dimanakah dompet pink kesayangannya?

Apakah?

Ana segera berbalik, melihat pada Ricky sejak tadi memperhatikan seraya tertawa kecil. Sebelah tangan Ricky mengeluarkan dompet yang di carinya dari dalam saku celana.

"Kenapa? Cari ini? Wah unyu banget dompetmu," ledeknya sambil memperhatikan dompet pink dengan kepala teddy bear berwarna cokelat sebagai gantungannya.

"Kok, kok sa-sama kamu?" Ana sampai tergagap-gagap karena terkejut dengan sikap cowok ini. Namun Ricky malah semakin tertawa.

"Kamunya yang nggak hati-hati. Oh, ya ada waktu nanti sore kan? Kuputuskan nanti sore kita jalan. Aku butuh kamu untuk bantu aku," terangnya tanpa memberikan jeda untuk Ana menjawab.

"Tunggu dulu, Ana belum mutusin. Kenapa jadi seenaknya?"

Bukannya marah-marah ataupun kesal dengan perkataan Ana, dia lebih memilih untuk berjalan dan berhenti tepat di depan gadis yang masih menatapnya dengan kesal.

"Mau apapun jawaban kamu, kita tetep jalan. Titik nggak pake koma. Aku nggak nerima penolakan apalagi kata nggak," tegasnya. Kemudian tangannya menarik tangan Ana dan menyerahkan dompet lucu itu dalam genggaman gadis ini. Ukiran manis itu kembali tersungging di ujung bibirnya.

"Aku kesini lagi nanti sore. Jadi, Ana harus udah siap. Dah, sana bayar," katanya yang membuat tangan Ana terangkat untuk mengetuk kepala Ricky.

Oh, Tuhan.

Selain mengutuk kebodohannya, Ana juga mengutuk mengapa ia mau kemarin ikut pergi dengan cowok ini. Sekalipun Ana tahu, itu semua sebagai permohonan maaf karena Kak Ivan sudah menghajar cowok ini, tapi ia tidak menduga semuanya akan berubah menjadi seperti ini.

"Dasar cowok gila, egois, tukang ngatur, klepto, alien dari planet tidak dikenal," teriaknya ketika punggung itu sudah menjauh darinya. Ricky hanya membalas dengan lambaian tangan.

Dia dengar?

Dia dengar?

Dia dengar?

Mati aku!

Lihat selengkapnya