***
Satu kebohongan yang tercipta akan menimbulkan kebohongan lainnya. Namun, hal ini akan tetap kulakukan untuk melindungi diriku dari segala pertanyaan yang akan muncul dari benaknya.
***
"Ganes itu teman dekat Ricky?"
Pertanyaan Ana memecah keheningan ketika mereka sudah berada di jalur bebas hambatan dengan kecepatan penuh. Ia hampir saja lupa jika gadis di sampingnya masih penasaran setelah insiden Ganes yang tiba-tiba muncul di toko dan mencengkram tangan Ana, tentunya hal ini menjadi pertanyaan besar di benak Ana. Terlebih ia mengaku jika Ganes adalah teman semasa SMP!
Ganes? Teman? Mulai saat ini laki-laki itu bisa jadi salah satu musuh terbesarnya karena mencoba mendekati Ana. Hati kecilnya meyakini ada sesuatu yang membuat Ganes kelihatan pada Ana. Ricky cukup mengenalnya dengan baik.
"Ah. Ya, se-semacam itu," jawab Ricky asal namun gugup sambil tetap memegang kemudi. Sesekali ia melirik Ana dengan mata lebarnya dan ke arah kaca spion. Memastikan ia tetap berkendara dengan aman.
"Sahabat? Teman?" tanya Ana antusias.
Shit, kenapa masih nanya sih?
"Just a friend, kenal sekelas aja," lanjutnya berbohong tanpa perencaaan matang. Hatinya kecilnya berharap ini menjadi pertanyaan terakhir, tapi sepertinya Ana tidak akan membiarkan hal ini larut begitu saja.
"Oh, tapi siapa tadi namanya," kata Ana mencoba mengingat hingga kedua alisnya tertaut dengan jari telunjuk yang mengetuk-ngetuk bibirnya.
"Ganes."
"Ah iya, dia. Tapi, sering pergi bareng? Soalnya Ganes keliatan akrab banget sama Ricky."
Ricky tersentak kaget sampai hendak mengerem mendadak dan menepikan mobilnya, menyebabkan Ana sedikit teriak. Kesadaran segera menguasai kembali dirinya yang urung terkejut. Tangannya menekan tombol lampusen dan menepi ke bahu jalan. Kepalanya menoleh pada Ana dengan kedua bola mata yang hampir melotot. Sedangkan Ana terlihat kebingungan untuk mencerna apa kejadian ini.
"Ky, kenapa?" tanya Ana panik.
"No! Aku nggak homo ya!"
Pernyataan tegas dan serba mendadak yang keluar dari bibirnya sontak membuat Ana terdiam melongo dan kemudian tertawa lepas. Hal ini membuatnya jadi semakin heran. Tunggu sebentar, Ia tidak salah menjawab kan?
"Duh, duh. Ricky parah banget ih. Bukan itu maksud Ana," kata gadis ini yang masih tertawa sambil memegangi perutnya yang mulai terasa sakit. "Ana tau kok Ricky bukan homo."
Ricky terdiam. Memorinya melayang ke momen dimana dirinya saat pertama memutuskan untuk mencari White Wolfgang, mengajukan diri untuk bergabung, bertarung untuk pertama kalinya melawan Ganes untuk menujukkan loyalitas dan banyak hari-hari lain yang telah dilewati. Dan, sedikit banyak Ganes memang ada disana. Oh, tidak ya! Tidak!
Kepalanya menggeleng saat mengingatnya disertai dengan tubuhnya yang tiba-tiba saja bergidik ngeri, membuat tatapan heran Ana tidak bisa hilang.
"Ky?"
"Ya. I'm not homo, Na. I'm Not!" tegasnya sekali lagi.
Ana kembali tertawa sambil menutup mulutnya dengan tangan. "Iya, Ky. Iya. Duh, jadi gemes sendiri Ana."
Hah? Gemas?
"Astaga, Ana. Kamu tuh ya, bikin aku jadi ngerasa aneh tau nggak."
Mata Ana mengerjap beberapa kali. "Lho? Jadi Ana yang salah?"
"Nggak-nggak, nggak, nggak sih. Maaf, a-aku salah. Salah ngertiin ucapan kamu tadi."
Tanpa sadar, mereka tertawa lepas bersama akibat kesalahpahaman yang baru saja terjadi. Rasanya aneh, ini adalah kali pertamanya bisa tertawa tanpa beban dengan seorang gadis. Terlebih, dia adalah Ana. Adik dari Ivan yang dibencinya. Caranya tertawa, tersenyum, berbicara bahkan menolaknya secara tegas sampai mengomel...
Astaga, apakah benar ia benar-benar jatuh hati pada Ana?
"Ky, kamu kenapa by the way? Tadi pagi nggak jawab lho," tanya Ana sambil memegang buku-buku jarinya. Ia sempat meringis dan terkejut disaat yang bersamaan. Luka-luka itu masih terasa perih sekalipun terbalut plester putih. Refleks, ia menarik tangannya yang masih menggengam kemudi dan menjauhkannya dari jangkauan Ana.
"Gapapa, cuman...-"
"Cuman apa?" potong Ana.
Rasa kaku menjalar dari pangkal lidahnya hingga ke ujung. Sulit sekali untuk menjawab pertanyaan yang baru saja gadis ini tanyakan. Bukan hendak menghindar, tetapi apapun yang menyangkut White Wolfgang tidak bisa ia ceritakan pada siapapun.
Ricky membenarkan posisi duduknya agar dapat menatap lurus pada Ana yang masih memasang wajah penasaran. Ditatapnya lekat-lekat gadis di depannya sampai dia merasa kikuk sampai wajahnya merah merona.
"Eh? Kenap-"
"Na, kamu nggak takut sama aku?"
Ia bisa melihat kedua bola mata Ana melebar kaget saat pertanyaan dari bibirnya meluncur tanpa izin. Ini kali kedua ia menanyakan pertanyaan yang sama dengan semalam. Jujur, saat menatap dirinya sendiri di cermin semalam, penuh luka, amarah dan dendam, apakah Ana pantas ada di sisinya? Saat ini?