***
Sesungguhnya aku takut bahwa masa lalu akan membawa sesuatu yang buruk. Tapi kamu menyemangatiku. Kurasa, aku dapat percaya padamu.
Ana
***
Citra mendecak sebal di dekat eskalator. Sesekali ia melirik ke arah toilet pria atau ke arah benda pipih dalam gengaman tangannya. Lama sekali cowok itu keluar.
"Awas ya Ganes!" omel Citra sebal.
Kakinya masih saja mengetuk lantai hingga berbunyi karena beradu dengan high heels lancip yang ia kenakan. Membuat suara ketukan yang berirama. Citra meniup poninya. Untuk ukuran seorang cowok, Ganes sanggup berlama-lama di dalam sana. Apakah dia lupa bahwa ia sudah membayarnya 3x lipat dari biasanya?
Kesabaran Citra sudah habis. Ia segera membuka layar benda pipih itu dan menempelkannya ke telinga. Tidak ada sinyal. Oh, menyebalkan. Ponsel milik lawan jenisnya tidak ada jaringan karena hanya suara monoton yang terdengar. Dengan kasar Citra mencoba menghubungi sekali lagi sambil melihat ke arah lain, sampai matanya menangkap sosok jangkung yang sangat tidak asing.
Cowok itu berdiri dengan posisi sempurna dengan kedua tangan masuk ke dalam saku celana. Beberapa gadis yang lewat di depannya tidak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Tapi cowok bermata abu-abu itu hanya memasang wajah dingin. Sama sekali tidak berubah sejak dulu.
Citra menemukan ide menarik. Segera saja ia berlari kecil. Kebetulan jaraknya dengan dia tidak jauh. Dan ketika Citra mencapai tempat yang sama, alis cowok ini berkerut samar.
"Lo?"
Ia tersenyum memikirkan segala kemungkinan yang ada. Walaupun beberapa waktu lalu Citra sudah di putuskan secara sepihak, perasaan untuknya masih ada.
"Kok kamu disini? Ngikutin aku ya?" tanyanya dengan agak genit. Cowok ini mendesis dan memutar bola matanya malas.
"Ricky, kok diem sih? Berarti aku benerkan?"
"Nggak usah sok kenal gue!" ucap Ricky dengan tegas. Dia berbalik badan hendak pergi, tapi buru-buru Citra menahan pergelangan tangan atletis itu.
"Tu-tunggu Ricky. Kamu nggak kangen apa sama aku?" rajuknya yang membuat cowok ini menatapnya penuh heran.
Dengan satu sentakan kasar, Ricky melepaskan tangannya dengan mudah.
"Lo ngomong apaan sih? Waras banget jadi manusia."
"Aku tau, aku salah. Tapi, perasaan ini masih punya kamu," Citra memandang wajah tegas itu. Berharap ada keajaiban. Tapi ia mengingat kejadian di sekolah. Tentang si gadis menyebalkan.
Ricky mendecak kesal. Raut wajahnya berubah drastis, lebih dari sedingin es.
"Cukup ya. Berenti lo ngomong perasaan. Gue nggak pernah ada rasa sama lo. Camkan itu," hardik Ricky sambil berbalik untuk meninggalkan Citra.
"Trus kenapa waktu itu kamu mau pacaran sama aku?" tanya Citra. Suaranya keluar sangat tinggi sampai orang-orang yang ada di sekitar mereka menatap dan saling berbisik.
Cowok itu menghentikan langkah kakinya. Lalu memutar arah hingga ada di hadapan Citra yang masih berharap banyak.
"Gue cuman main-main ya, nggak lebih. Jadi jangan pernah ganggu hidup gue. Lagian lo juga pacaran sama cowok lain kan. Oh iya gue lupa nggak manggil dia waktu itu," ucap Ricky dengan enteng. Bibirnya menyunggingkan senyum evil yang menakutkan. Hal itu menyebabkan mata Citra membuka sempurna.
"A-aku.... Nyesel, Ky."
"Ricky!"
Seruan itu membuat mereka menoleh. Seorang gadis manis berlari kecil menuju kemari. Citra menyadari perubahan besar di wajah Ricky. Senyuman tulus dan hangat, sesuatu yang tak pernah ia dapatkan dulu.
Seberkas ingatan muncul, Citra ingat siapa dia. Penyebab Ivan dan Ricky bertengkar di sekolah. Ana, dialah gadis menyebalkan yang mendapat pernyataan cinta dari seorang seperti Ricky. Tentu juga perhatian lebih dari cowok dingin ini.
"Kirain kemana. Oh siapa?" gadis ini menyadari keberadaannya. Belum sempat ia menjawab, Ricky sudah menarik bahu gadis disampingnya.
"Cewek ini salah orang. Pergi aja yuk," ajak Ricky yang segera berlalu darinya bersama dengan gadis itu. Meninggalkan Citra seorang diri yang menatap punggung bidang itu dengan gadis lain. Beberapa kali Ana terlihat melongok ke arahnya.
Hancur sudah segenap perasaan yang dimiliki Citra melihat kebersamaan tadi. Ricky tidak pernah seperti itu padanya. Tidak pernah memberikan senyuman tulus, melihatnya penuh dengan rasa cinta apalagi bersikap sebagaimana dia lakukan kepada Ana. Itulah yang membuat Citra memilih menjalin hubungan dengan Ganes,cowok yang ia temui di club.
Citra tidak bisa menahan air matanya lagi. Hampir saja setetes air bening itu terjatuh, tetapi sudah di tahan oleh sapu tangan. Ia menoleh.
"Ga-ganes?"
"Jangan nangis. Maaf gue lama."
Citra menggeleng. Berusaha mengendalikan emosinya.
"Ini salah satu service lo ya? Pake ngasih sapu tangan segala," kata Citra sambil memegang sapu tangan tadi. Ada ukiran nama "Ganes" di sudutnya.
"Anggep aja kali ini layanan tambahan," ucapnya enteng
Citra tertawa. "Makan yuk, gue laper nih," ajaknya untuk mengalihkan pikirannya atas kejadian tadi.
Tanpa di duga, Ganes mengangguk setuju dan menarik tangannya hingga membuat Citra terkejut."Oke, mau makan apa? Gue traktir kali ini."
"Kan lo gue bayar 3x lipat ya sama aja gue yang bayar."
"Ah, iya juga ya."
Ganes tertawa kecil. Menyebabkan senyum manis Citra mengembang. Gadis di sampingnya sering menyewanya hanya untuk sekedar jalan-jalan. Tentu tidak masalah untuknya. Mereka berlalu dari sana dan menuju salah satu restoran yang cukup ramai. Ganes melirik gadis disampingnya. Dia melihat semua kejadian tadi.
Tentang Ricky dan si gadis manis yang menarik perhatiannya tadi sore. Ganes akhirnya mengerti mengenai cowok dingin yang selalu di ceritakan Citra dan yang tega meninggalkannya. Dia memang Ricky, teman baiknya di White Wolfgang. Tunggu, Ganes melupakan satu hal. Apa Ricky mengetahui hubungannya dengan Citra? Semoga tidak.
"Nes, lo mau makan apaan?"
Lamunannya buyar seketika. Tangan Ganes terangkat dan menunjuk ke salah satu restoran yang ramai.
"Oh, kesitu aja, yang all you can eat."
***
Kedua bola mata abu-abu itu sama sekali tidak berkedip, menatap Ana yang lahap memasukkan berbagai macam sushi ke dalam mulutnya Untuk ukuran gadis bertubuh kecil, nafsu makan Ana terbilang besar. Tapi Ricky tidak merasa aneh, malah lucu.
"Um, yang ini enak lho," kata Ana dengan mulut yang masih penuh sushi. Sebelah tangannya terangkat dan membuka plastik sushi salmon dan memakannya lagi. "Ugh, masih seger."
Ricky menopang dagunya. Lihat, Ana masih saja fokus makan sampai tidak memperhatikan jika sejak tadi ia menatap dengan intens. Rasanya menyenangkan jika gadis ini masih bisa makan dengan benar, mengingat tangisannya tadi cukup membuatnya mengerti sedikit mengenai dia.
"Ana."
"Hm?" kepala Ana mendongak dengan pipi menggembung seperti ikan balon. Dia baru saja memakan takoyaki yang mereka beli juga dengan sekali suapan.
Ricky terkekeh sambil memalingkan wajahnya sebentar. Sebelah tangan Ana memegang sumpit dan mengambil satu takoyaki lagi yang segera ia masukkan ke dalam mulut. Mengunyahnya dengan hati-hati untuk merasakan kenyalnya potongan daging gurita.
"Kenapa?" tanya Ana.
"Enak?Pfft."
"Mau ngeledek?" Ana menarik gelas teh hijau dinginnya dan meminumnya hingga tersisa setengah. Lalu meletakkan kembali di meja dengan agak sedikit menimbulkan bunyi. Membuat Ricky tertawa kecil.
Kepala Ricky menggeleng pelan. Tapi tetap menatap gadis di depannya dengan lekat.
"Nggak. Aku malah suka liat cewek makannya banyak dan nggak milih-milih. Malah aku kaget, kamu doyan makanan Jepang juga. Sushi mentah aja kamu lahap."
Ana setengah menahan senyumnya.
"Kak Ivan sering bawain kalo habis jalan-jalan dulu. Makanya Ana suka. Awalnya sih aneh kok mentah sih, kayak salmon gitu. Tapi pas eh enak. Jadi keterusan," terangnya sambil memakan lagi sushi yang baru saja dia ambil.
Ivan lagi.
Tidak salah memang, dia adalah kakaknya Ana. Namun rasanya sebal mendengar ada orang lain yang lebih mengenal gadis ini daripada dirinya sendiri.
Hei, kesampingkan hal itu. Ingat, kamu baru saja selangkah lebih dekat dengan Ana.
Suara hati kecilnya menyadarkan Ricky pada kenyataan. Tak apa, setidaknya ialah cowok pertama yang dekat dengan gadis ini. Ana terlihat berhenti makan. Setelah meneguk minumannya sampai habis, dia terlihat agak murung.
"Na?" tanyanya khawatir. Di sudut bibir itu, muncul seberkas senyum simpul.
"Kalau Ana berhasil inget masa lalu yang hilang itu, apa semuanya bakal baik-baik aja?" kepala Ana terangkat ke arahnya. Wajah sendu itu menggambarkan betapa tersiksanya kehilangan ingatan mengenai orang-orang terdekatnya. Dan perasaan itu tidak jauh beda saat ia harus kehilangan Mama.
"Kenapa tanya gitu? Ana takut sesuatu?"
Gadis ini mengangguk.
"Apa yang kamu takutin?"
Kali ini Ana menggeleng. "Nggak tahu. Tapi Ana merasa takut. Gimana kalau terjadi hal buruk?"
Helaan napas panjang Ricky terdengar berat. "Apakah buat kamu sekarang nggak buruk? Kamu nggak inget apapun, soal Ivan ataupun kedua orang tua kamu. Atau juga siapa temanmu dulu."
Teman?
Ana terdiam. Kepalanya tertunduk lesu. "Benar juga ya," ucapnya mengiyakan kata-kata Ricky barusan