***
Sayup-sayup alarm perlahan menyapa indera pendengar dan berhasil membawanya kembali dari alam mimpi. Matanya mengedar mencari benda pipih yang ternyata tergeletak di nakas. Ketika layar itu menyala, kedua bola matanya otomatis menyipit. Pukul 5 lewat sedikit. Tubuhnya mulai menggeliat. Tanpa basa-basi, ia menyelinap keluar kamar menuju kamar mandi. Baik Papa, Mama dan Kak Ivan belum terbangun dari tidur semalam. Lagipula manusia mana yang akan menyia-nyiakan hari minggu mereka?
Setelah selesai mencuci muka dan mandi, ia keluar rumah tanpa menimbulkan suara bising saat menutup pintu utama maupun gerbang. Ketika ia menoleh dan tidak ada yang keluar dari rumah, ia memekik girang.
"Yes, yes. Berhasil yes," teriaknya sepelan mungkin sambil berjingkrak kesana kemari dengan tangan diangkat tinggi-tinggi.
Tapi ia segera berlari menjauh dari rumah agar sedikit lebih lama merasakan kebebasan berjalan-jalan di pagi hari hanya seorang diri. Ana berusaha menghirup udara yang masih sangat segar hingga rongga paru-parunya terasa nyaman.
"Ah, sega-"
"Pinternya keluar rumah sendirian!"
Hampir saja jantung Ana lepas tatkala suara cowok yang akhir-akhir ini mengisi kehidupannya, muncul bagaikan petir di pagi hari. Ricky kelihatan sekali baru membuka pagar sebuah rumah.
"Woo, Ricky mah. Ngagetin banget sih!" omelnya sambil memegangi dada dan membungkuk sedikit. Mungkin jika di tangannya ada tongkat baseball, Ana akan ayunkan segera ke arah cowok ini.
Ricky malah berkacak pinggang, memperhatikannya dari bawah ke atas. Karena pagi ini, Ana hanya menggunakan sebuah kaus putih dan celana jeans selutut.
"Mau olahraga? Apa baru bangun tidur ini? Kenapa nggak bangunin aku?"
"He? Bangunin? Emangnya Ana tau Ricky bangun jam berapa."
"Nah, ini aku udah bangun lho," jelas cowok si depannya, yang segera mendapat lirikan Ana.
"Lagian ya, Ricky ini ngapain ada disini? Rumah siapa tuh?" tanyanya sambil dengan tangan yang menunjuk ke arah rumah di belakang mereka.
Tidak terlalu besar dan tidak bertingkat dua. Tapi kelihatan nyaman untuk di tinggali.
"Aku tinggal disini."
"Bohong," sela Ana cepat.
"Mana ada. Kalo ngomong nggak di saring dulu ya," omelnya.
"Bwek." Ana malah menjulurkan lidahnya. "Yaudah Ana mau jalan ya."
Ricky segera menarik pergelangan tangannya saat baru saja kaki Ana hendak melangkah.
"Eh tunggu, Ricky ikut."
"Kenapa?"
Cowok ini memutar bola mata abu-abunya dengan malas.
"Masa mau ikut aja kudu ada alasannya sih."
Kepalanya mengangguk. Benar juga sih yang dia ucapkan .
"Oke, ayo jalan."
Tak disangka, Ana mendapat jackpot karena senyuman manis Ricky mengembang seketika. Woah, bolehkan ia memekik girang? Indah sekali. Buru-buru Ana berbalik, bahaya jika cowok ini melihat wajahnya yang terasa panas.
"Buru-buru amat neng. Mau lari pagi apa ngejar maling sih?"
Pertanyaan itu ia acuhkan. Dengan kedua tangan yang memegangi pipi, panas. Tetap panas. Ricky seakan membuatnya menjadi mesin penghangat tubuh.
"Na."
Ia tetap berjalan terus tanpa menyadari derap langkah kaki Ricky semakin mendekat dan segera menarik tangannya.
"Woaaaah." Ana memekik dengan mulut yg terbuka. Sikap Ricky selalu saja membuat jantungnya berolahraga tanpa henti. Tapi, cowok ini juga kelihatan terkejut dan terdiam.
Ricky memalingkan wajahnya, sedikit saja Ana melihat rona kemerahan di pipi itu. Sama sepertinya, dia juga terlihat agak malu-malu.
"Aah, Ky-"
Belum selesai ia bicara, cowok di depannya sudah menatap matanya lurus-lurus. Benar, dia malu. Tapi aneh, bukankah Ricky sering berganti pacar?
Cowok ini mengambil inisiatif untuk segera berjalan dengan menggandeng tangan Ana. Tanpa disuruh, ia menurut saja. Dan mereka berjalan dalam diam. Lalu Ana teringat gadis yang kemarin ia lihat di mall.
"Ky, cewek kemarin siapa? Dia nggak salah orangkan?"
Langkah mereka berhenti berjalan ketika sebuah mobil sedan hitam melintas. Setelah kendaraan itu menjauh, Ricky menarik tangannya lagi untuk meneruskan perjalanan.
"Kenapa tanya?"
Suara Ricky seketika memecah keheningan diantara mereka. Kepala Ana mendongak menatap punggung kekar di depannya. Pendek juga ternyata jika disandingkan dengan cowok ini. "Ya, nggak. Kelihatannya cewek itu kenal Ricky." Ana mengigit bibir, semoga ia tidak salah berucap.
Hening.
Lagi-lagi cowok ini tidak langsung menjawab pertanyaan darinya. Ana menghela napas pelan dan mencoba mengedarkan pandangan. Ups, mereka dimana?
Ana tidak bisa berhenti mengerjap. Sudah terhampar taman besar dengan pepohonan rindang dan bangku-bangku di depannya. Banyak sekali orang yang datang untuk berolahraga, atau sekedar bercengkrama dengan sesamanya di bangku taman. Ada pula yang tengah berlari bersama hewan peliharaan milik mereka.
Udara disini pun segar. Ia tidak segan-segan menarik napas panjang demi menghirupnya, untuk mengisi rongga paru-paru. Ah, selama tinggal disini ia sama sekali tidak tahu jika tempat ini ada.
Ricky menuntunnya untuk duduk di salah satu bangku yang kosong. Ia menuruti dan tak lama cowok ini duduk di sebelahnya.
"Cuman mantan." Ricky berbicara seakan tanpa beban. Padahal Ana yang ada disampingnya sudah terkejut dan melongo.
"Ma-mantan? Satu sekolah?"
"Iya. Lagian aku nggak suka dia."
Ana membenarkan letak duduknya, menghadap ke arah cowok yang tengah menyandarkan punggung.
"Lho kalo nggak ada perasaan gitu kenapa pacaran?"
Sekilas, Ricky meliriknya kemudian memalingkan wajah ke depan.
"Cuman buat main-main."
"Kok gitu sih? Perasaan kan bukan mainan. Berarti Ana juga jadi-"
Badan Ricky tiba-tiba menjadi tegak. Langsung memutar arah dan menyilangkan tangan di depan dada. Kedua mata mereka beradu "Nggak. Ricky tegasin ya. Perasaan ini punya Ana," kata cowok ini dengan cepat memotong ucapannya. Seakan tahu apa yang akan di katakan.
"Jangan ngomong lagi. Aku harus apa biar Ana benar-benar percaya? Atau gini aja kita pacaran sekarang."
Tubuh Ana mundur sedikit.
"Heee? Pacaran sekarang?"
"Iya. Aku nggak mau lama-lama PDKT. Kita pacaran aja sekarang gimana?"
"Tap-tapi."
"Oh, mau gimanapun kamu udah jadi pacar aku sih," ucap Ricky sambil terkekeh pelan. Sebal, refleks Ana memukul lengan kekar itu. "Duh, sakit Na."