***
Tak terasa bel berbunyi nyaring di seantero sekolah, menandakan jam pelajaran selanjutnya akan di mulai kembali. Ana bergegas menuju kelas bersama dengan Ricky. Sepanjang jalan mereka sibuk mengobrol dan bersenda gurau. Ia bahkan lupa sejenak mengenai kejadian sebelumnya.
Baru saja kaki keduanya melangkah menapaki kantin yang sudah mulai lengang, sosok Ivan sudah muncul dengan wajah lelah dan napas terengah-engah karena habis berlari. Merasa menemukan orang yang dicari, Ivan segera menghampiri mereka.
Baik Ana dan Ricky belum sempat mengucapkan sepatah kata, ketika dengan cepat Ivan menarik pergelengan tangan Ana.
"Ikut kakak," perintahnya. Ricky yang kebingungan segera menghentikan gerakan Ivan dengan satu sentakan. Menahan agar cowok ini tidak segera membawa Ana pergi.
"Mau apa? Udah masuk nanti aja kali," protes Ricky setengah geram. Tapi Ivan menghempaskan tangan yang sengaja menahannya dengan kasar.
"LEPAS! NGGAK USAH IKUT CAMPUR URUSAN GUE!" seru Ivan dengan penuh penekanan. Ana yang tidak dapat berbuat apa-apa hanya bisa pasrah. Berkali-kali ia menatap bergantian ke arah Kakaknya ataupun Ricky.
"JANGAN SONGONG MENTANG-MENTANG LO KAKAKNYA!" kata Ricky yang tak kalah kencang. Tapi Ivan segera membungkam mulut cowok di depannya.
"DIEM GUE BILANG JANGAN BANYAK BACOT!" ancam Ivan yang memang sedang tidak bercanda. Sorot matanya penuh api amarah dan siap merusak apapun. Nyali Ricky memang tidak menghilang tapi dia memilih untuk mengalah.
Sedangkan Ana masih tidak berdaya. Ingin rasanya mengatakan tidak tapi bibirnya tak kuasa mengatakan apapun di tengah keributan ini. Kemudian Ivan beralih padanya dan bergegas pergi dari sana tanpa mengatakan satu patah kata lagi. Ana sempat menoleh pada Ricky yang terdiam mematung melihat kepergian mereka. Sampai sosok cowok itu menghilang saat Ivan membawanya menuju parkiran.
"Masuk!" Ivan memerintahkannya masuk ke dalam mobil. Tapi Ana menolak.
"Nggak. Kakak jelasin dulu baru Ana masuk."
"Kakak bilang masuk Ana!" Kali ini Ivan berseru dengan nada tinggi tanpa mempedulikan jika di hadapannya adalah sosok adiknya. Ana mengigit bibir dan terpaksa mematuhi ucapan Ivan. Siapa dia? Mengapa Ana seakan tidak mengenal kakaknya?
Ivan segera memacu kendaraannya keluar dari lingkungan SMA Nusantara dan memasuki jalan raya. Cukup padat sehingga beberapa kali kendaraan mereka terjebak kemacetan ibukota. Tidak aneh karena banyak orang yang memilih untuk makan siang jauh dari perkantoran ataupun menjemput anak sekolah dan masih ada pekerjaan jalan, otomatis menghambat laju lalu lintas. Tidak ada satupun yang berbicara terlebih dahulu. Keheningan masih menyelimuti tatkala suara-suara klakson kendaraaan di sekitar mereka berbunyi dengan nyaring.
Ana sempat melirik ke arah Ivan. Kakaknya tetap fokus sampai memegang kemudi dengan amat kuat sehingga urat tangan Ivan seakan tertarik keluar. Ia masih penasaran dengan apa yang sedang terjadi. Dan penyebab Ivan kehilangan akal sehat. Mereka memasuki daerah di pinggir Bandar Udara internasional di negara ini. Ana asing menatap keluar jendela. Daerah yang tidak ia kenali. Tak lama pemandangan pesawat yang hendak takeoff dan landing sudah berubah menjadi areal persawahaan nan indah. Hingga mereka akhirnya sampai di sebuah pantai yang di kelola oleh angkatan kelautan.
Laut dan ombak.
***
Ricky tetap diam tak bergerak semenjak kepergian Ana dan Ivan tadi. Otaknya masih mencerna tiap-tiap kejadian hari ini. Namun ia kemudian berbalik dan menyadari jika harus kembali ke kelas. Tapi alangkah terkejutnya Ricky ketika mendapati sosok menyebalkan yang berdiri tak jauh dari tempatnya.
"Akhirnya, ketemu juga anak Mama."
Ricky memutar matanya malas. Mama? Rasanya ia hendak muntah saat itu juga.
"Nggak kangen apa?" keluh Agnes sambil mengibaskan rambutnya. Lalu berjalan sampai dimana tempat Ricky berdiri. "Ups, kayaknya nggak ya."
"Terus ngapain ngapain nanya kalo lo sendiri tau jawabannya? Halu." Ricky berbalik untuk meninggalkan Agnes. Tetapi pergelangan tangannya sudah di cekal. "Lepas!"
"Jawab dulu pertanyaan Mama."
"LEPAS ATAU GUE PATAHIN TANGAN LO!"
"Tinggal dimana kamu sekarang?"
Kedua alis Ricky bertautan heran. Untuk apa wanita ini menanyakan pertanyaan itu? Pedulikah dia padanya? Malas berlama-lama, Ricky menghempaskan kasar tangan Agnes sampai dia mengaduh. "Bukan urusan lo."
"Sebenernya juga Mama malas ketemu kamu. Terpaksa aja. Kirain sih udah mati di jalanan," cibir Agnes yang tak tahu aturan. Gayanya yang congkak membuat Ricky semakin malas dan meninggalkan Agnes seorang diri.
"BERENTI KAMU HEI ANAK KURANG AJAR!" Agnes berteriak sambil menghentak-hentakan sepatunya ke lantai. Masih dengan wajah bersungut-sungut kesal, dia pergi dari sana.
Ia menyadari kepergian wanita sialan itu dari langkah sepatu menyebalkan itu dan tetap berjalan lurus menuju kelasnya. Cukup bertemu dengan Agnes menjadi menghancurkan moodnya. Amarahnya meningkat. Tapi, Ricky tetap tidak bisa tenang. Kenapa Ivan menjadi sangat marah tadi?
***
Ivan menatap lurus ke arah laut lepas dengan kedua tangan masuk ke saku celana. Desiran ombak terdengar merdu. Nyiur melambai kesana kemari karena sapuan angin. Ia menghela napas cukup panjang. Sedikit banyak ia menyesali perbuataannya tadi. Memaksa dan membentak bukanlah bagian dari diri Ivan. Sungguh, saat ini ia merasa sangat buruk.
Sepi.
Pantai yang terletak lumayan jauh dari Bandara Internasional memang tidak banyak di kunjungi wisatawan saat hari biasa. Ivan selalu ke tempat ini jika ingin menenangkan diri. Bahkan, merupakan pelariannya kala putus dengan Karina dulu dan kembali bangkit menatap masa depan. Suara pintu mobil di buka dan di tutup menyadarkan Ivan dari lamunan. Ana melangkah keluar dan berjalan pelan di atas pasir pantai.
"Kak."
Ivan melirik dengan ujung mata saat Ana berdiri tepat di sampingnya. Pandangan Ana lurus menatap sebuah kapal nelayan yang melintas di depan mereka. Ivan dapat melihat wajah kebingungan dan berbagai pertanyaan sudah pasti akan di lontarkan Ana.
"Kakak marah karena Ricky ya?" tanyanya. Kemudian Ana berjongkok sembari memainkan pasir di tangannya. "Ana minta maaf, Kak."
Matanya terpejam sejenak lalu kembali terbuka. "Bukan karena itu kok." Ivan akhirnya berani membuka suara.
"Terus, kenapa kakak marah banget?" Kepala Ana mendongak, ke arah Ivan yang sama sekali tidak melihat padanya.
Ivan kembali terdiam dan memilih untuk memalingkan wajah ke arah lain.
"Apa karena Kak Karina?"
Darimana Ana mengetahui mengenai gadis itu? Gadis yang meninggalkannya demi Aldo. Ivan mencoba tetap tenang dan rileks.
"Bukan."
"Jadi bener, kakak pernah pacaran sama Kak Karina?"
"Ya."
Keheningan kembali menyelimuti mereka. Ana tertunduk menatap pasir pantai, tidak berani mengeluarkan pertanyaan lain. Ivan sendiri larut dalam pikirannya sendiri. Terpaksa mengingat Karina dan menyembunyikan rahasia keluarga dari Ana.
"Kak."
"Hm?"
"Apa yang terjadi sama Ana dulu?"
Ivan segera menoleh ke arah Ana yang masih sibuk memandang pasir. Merasa tidak mendapatkan jawaban, kepala Ana melihat padanya. Terkejut, Ivan segera berpaling dan mencoba mencari jawaban. "Kenapa juga kamu tanya hal itu?" Ivan menggeram sebal. Sudah pasti Ana juga mendengarnya.
Ana kembali tertunduk. "Soalnya, pas Ana bangun di rumah sakit itu, Ana nggak inget apapun."
"Kamu nggak perlu tahu."
"Kenapa, Kak? Apa ada sesuatu yang Ana lupakan?"
"KAKAK BILANG CUKUP ANA!
Saat itu juga, Ivan merasa segenap hatinya merasakan sakit, akibat luka lama itu kembali terbuka dan seakan berdarah. Adakah kesempatan untuk melarikan diri?
***
Sejak mendaratkan bokongnya, Ricky sama sekali tidak bisa diam. Kevin agak kebingungan karena temannya ini kelihatan gelisah. Sesekali melirik ponsel yang disembunyikan di dalam buku, seakan menanti pesan masuk entah dari siapa. Mungkin dari Ana, begitu pikir Kevin.
"Ky, ngape?" bisik Kevin yang ternyata langsung direspon cowok ini. Ricky menggeleng pelan.
"Nggak."
"Ye, taplak meja."
Kevin kembali fokus terhadap tugas matematika yang tengah ia hadapi. Jujur saja, ia bukan tipe manusia pintar nan cerdas. Kevin termasuk lambat dalam memecahkan rumus-rumus pelajaran ini. Atau sama sekali tidak bisa mengerjakan. Berbeda dengan teman di sebelahnya. Tanpa belajar dan menghafal, Ricky dengan mudah mengerjakan soal-soal matematika dan juga pelajaran lainnya.
Tapi satu yang menjadi keanehan. Dengan otak seperti itu Ricky sama sekali tidak pernah menjadi juara kelas. Alasannya, karena dia selalu lupa menulis nama saat mengumpulkan lembar jawaban.
Klasik.
Kadang Kevin berdoa pada Tuhan, berikan saja otak Ricky padanya. Mungkin mereka harus melakukan operasi transplantasi otak. Tapi tidak sih, Kevin sama sekali tidak berniat harus bersaing soal Ana.
"Untuk tugas halaman 30, nanti di kumpulkan ke ketua kelas dan diantarkan ke ruangan saya," ucap Pak Nana sembari membereskan barang-barangnya.
"Donita nggak masuk pak," celetuk Kevin tanpa sadar. Hari ini memang ketua kelas yang datar itu memang tidak datang karena ijin untuk acara keluarga.
"Yaudah, kamu aja yang antarkan."
Kevin terkesiap. "Lah, ada Aldo pak," tunjuknya.
Merasa namanya terpanggil, Aldo segera menoleh dan melirik tajam pada teman baiknya. "Ngapa jadi gue?"
"Ya elu kan wakil," kata Kevin seolah itu benar. Tapi tak lama ia menyadari sesuatu. Aldo yang merasa temannya ini sudah ingat.
"Lo wakilnya sarung Fir'aun," omel Aldo yang disambut seluruh tawa oleh seisi kelas, terkecuali Ricky dan Pak Nana. Guru mereka segera memasang tampang masam.
"Kalian ini malah ribut!" omel Pak Nana dengan nada tinggi. Bersiap untuk melanjutkan kata-katanya sambil menarik napas panjang, bel pergantian jam pelajaran berbunyi nyaring. Air wajah Pak Nana semakin tidak menyenangkan. "Pokoknya, kamu Kevin yang bawa ke ruangan saya. Awas jangan sampai lupa."
"Baik Pak." Kevin memasang tampang memelas namun malah jadi bahan tertawaan Aldo dan teman-teman di sekitarnya.
Ricky melirik sebentar pada mereka dan beralih lagi pada ponselnya. Menunggu itu bukanlah hal menyenangkan. Apalagi situasi saat ini agak genting. Ana belum kembali ke sekolah.
Jari telunjuknya terus mengetuk layar benda pipih yang diletakkan dalam buku pelajaran. Ricky terkesiap begitu melihat ponselnya bergetar dan sebuah notifikasi muncul, dari Ana.
Aku lagi nunggu di mobil Kak Ivan. Nggak kenapa-napa kok.