***
Gelap.
Ia membiarkan seisi ruangannya tidak di penuhi cahaya. Sesekali ponsel yang tergeletak tepat disampingnya menyala namun sedetik kemudian kembali padam. Kalau bukan dari Dygta pastilah Ana.
Sejak tadi, Ana beberapa kali mengetuk pintu kamarnya tapi tidak ia bukakan. Ivan butuh ketenangan, walau hanya sejenak.
Ivan mencoba memejamkan mata dan membukanya kembali. Apa yang harus ia lakukan?
Memisahkan Ricky dari Ana bukanlah jalan yang tepat. Lagipula pertemuan adiknya dengan Agnes tidak mungkin akan intens mengingat hardikan Ricky pada wanita itu cukup keras. Menandakan kebencian yang teramat sangat.
Ivan bangkit dan meraih ponselnya. Mencoba mencari nama Ricky di sebuah aplikasi sosial media. Ternyata tidak susah. Dia ada di bagian teratas pencarian.
Tapi ia tertegun kala melihat profil milik cowok itu. Terdapat dua potret seorang gadis nampak belakang. Tengah memandangi aquarium besar dan melompat. Alisnya mengernyit heran. Bukankah itu Ana?
Segera ia mengirim pesan pada cowok itu. Sampai beberapa menit berlalu, belum ada jawaban sama sekali.
Ivan mendesah.
"Astaga."
Ponselnya berbunyi. Setelah membuka lock screen, Ivan mendapat balasan pesannya.
Ivan?
Hei, what's wrong?
Hub ke nomor +62896xxxxxx602 ini aja. Nomor gue.
Tak butuh waktu lama, Ivan segera mengcopy nomor tersebut dan segera menelponnya. Tidak segera di jawab, Ivan masih menendengarkan nada sambung monoton.
"Halo."
"Oh,halo. Ini gue."
"Ada apa, Van?"
Ivan mengusap tengkuknya. Pertama kali ia menghubungi orang yang dibencinya sejak dulu.
"Ada yang perlu gue omongin sama lo. Tapi nggak sekarang. Beri waktu 2 hari dari sekarang. Nanti bakal gue infoin tempat kita ketemu."
"Kayaknya penting nih. Oke gue tunggu kabar dari lo."
Kepalanya mengangguk.
"Oke."
Sambungan telepon pun terputus. Ivan kembali meletakkan benda pipih itu di sampingnya. Ricky harus tahu, mengenai Agnes maupun Ana. Seperti yang ia pikirkan kemarin. Ivan harus memanfaatkan keadaan ini.
Ia bergerak menuju pintu dan ketika membukanya, kedua mata Ivan membulat saat melihat Ana berdiri disana dengan tangan yang memegangi dada. Dari wajahnya sudah pasti menggambarkan keterkejutannya.
"KAKAK MAH. NGANGETIN AJA!" seru Ana kencang. Sampai-sampai Mama menghardik dari bawah.
"Ya ampun, Ana. Mama teh kaget," teriak Mama yang sedang menonton acara bersama Papa.
Ana segera berlari meninggalkan Ivan yang keheranan melihat kejadian ini.
"Eh, adek sableng!"
***
Beberapa saat lalu Ivan baru saja menghubunginya. Jika bukan karena Ana, hal ini tidak akan mungkin terjadi.
Setelah meletakkan ponselnya di atas meja, Ricky keluar kamar menuju dapur. Rasa haus terlalu menyiksa jika tidak segera di puaskan.
Beruntung hari ini mereka bertiga tidak mendapat skors, hanya di hukum untuk membersihkan toilet dan khusus untuk Ana membantu petugas perpustakaan untuk menyusun buku-buku di raknya semula.
Berkat Ana dan semua kejadian kemarin, ia dapat berbicara normal dengan Ivan.
Ricky berjalan kembali ke kamar setelah menenggak lima gelas air mineral. Baru ia sadari, sudah agak lama tak menyentuh botol-botol wine semenjak mengenal Ana. Terakhir kali, saat ia diusir dari rumah di club milik Ganes.
Baru saja Ricky membuka pintu kamar, ponselnya berdering tanpa henti. Segera ia menuju ke meja dan mendapati sebuah panggilan masuk.
"Halo, kenapa Vin?"
"Ky, lo ada dimane sekarang?"
Dimana?
Ricky mengerutkan kening. Bukankah Kevin tahu ia dirumah?
"Ada apaan sih? Lo juga tau gue biasa dirumah. Napa nada bicara lo khawatir bener?"
"Gue, Aldo sama Karina ada di ujung jalan. Kita belum berani mendekat. Soalnya ada orang mencurigakan yang mondar mandir depan rumah lo."
Kedua bola mata abu-abunya melebar kaget. Ricky segera keluar kamar dan menuju ruang tamu. Ia berdiri di balik pintu. Sedikit ia mengintip melalui jendela bak mata-mata. Benar saja, di luar gerbang ada seorang pria yang berpakaian serba hitam dengan topi yang menutupi bagian mata. Jelas Ricky tidak dapat mengetahui siapa dia.
Kemudian ia menarik diri untuk berhenti melihat keluar.
"Bener, Vin. Orang salah rumah kali ya," katanya dengan suara pelan.
"Nggak deh, Ky. Orang salah rumah mana ada yang begitu."
Ricky menggaruk bagian kepala belakangnya yang terasa gatal. "Bener sih."
"Eh, eh. Orangnya pergi."
Suara Karina yang sepertinya duduk di belakang terdengar kencang. Ricky kembali melirik sedikit dari balik jendela. Benar, orang itu berjalan pergi menjauhi rumahnya.
"Gue di mobil dulu sama anak-anak sampai setengah jam. Mastiin dia nggak balik lagi baru kite ke rumah lo ya."
Kepalanya otomatis mengangguk.
"Oke."
Setelah sambungan telepon terputus, Ricky menurunkan ponsel dan berjalan untuk duduk di salah satu sofa.
Siapa dia?
Jika itu orang dari White Wolfgang, untuk apa membuntuti rumahnya? Lagipula sedang tidak ada informasi untuk berkumpul di basecamp. Ricky segera mengecek pesan miliknya. Tidak ada satupun bahkan dari Ganes.
Ricky mengigit kuku ibu jari sebelah kirinya. Kekhawatiran menyelimuti bagaikan awan mendung yang muncul di hari yang terik. Sempat ia berpikir mungkin orang tadi adalah suruhan Papa. Tapi tidak mungkin. Tak ada yang di butuhkan orang tua sialan itu darinya.
Detik demi detik berlalu sampai suara klakson mobil Kevin terdengar nyaring. Ketiga temannya sudah sampai di rumahnya, membuat lamunannya buyar seketika.
"Oi, bukain pintu!" teriak Kevin kencang saat Ricky baru saja membuka pintu.