***
Sudah ketiga kalinya ia membasuh wajah. Setiap tetesan air jatuh di atas wastafel iris matanya selalu mengikuti. Ia menghela napas panjang sambil memandangi wajah lelah di depan cermin. Mungkin bukan lelah, cenderung frustasi dan kalut.
Siapa yang tak terkejut ketika melihat Ana terkulai lemas setelah berubah seperti mayat hidup?
Hampir saja tangannya memukul cermin di depannya. Tapi ia ingat harus segera kembali ke kamar Ana. Sudah sekitar setengah jam berlalu sejak ia tinggalkan adiknya dengan Ricky. Ia takkan membuat heboh dengan keadaan tangan yang bersimbah darah.
Ponsel dalam sakunya bergetar. Setelah mengeringkan tangan dengan tissue yang tersedia, ia segera merogoh saku celananya.
"Halo."
"Oi, lo dimana dodol? Jam berapa ini!"
Suara Dygta disebrang sana begitu kencang sampai-sampai Ivan harus menjauhkan ponselnya sejenak.
"Rumah sakit. Ijinin gu-"
"Hah? Lo masuk rumah sakit? Kecelakaan apa sakit lo? Nggak harus operasi kan?"
"Eh, kampret. Jangan main motong omongan gue!" kesal Ivan sambil berdecak. "ijinin gue atau biarin ajalah."
"Ye, ijin nggak ada surat. Siapa yang sakit betewe?"
Duh, temannya ini mulai penasaran.
"Kepo lo. Udah ye gue sibuk!"
Tanpa menghiraukan Dygta yang berteriak-teriak meminta untuk jangan matikan telepon, Ivan tetap saja melakukannya dan keluar dari kamar mandi laki-laki.
Tidak terlalu jauh dari kamar Ana memang. Kamar mandi terletak di ujung lorong lantai empat dan tersedia untuk umum. Beberapa kali ia berpapasan dengan perawat ataupun dokter wanita, bahkan pasien perempuan yang memekik histeris saat melihatnya.
Namun langkahnya terhenti tatkala seseorang berpakaian serba hitam, menggunakan jaket hoodie dan masker hitam ada di depan kamar Ana, seakan mengendap-endap ingin tahu apa yang dibicarakan di dalam sana. Tangan orang itu menyentuh kenop pintu dan membukanya dengan perlahan.
Astaga!
Tangan Ivan mengepal keras dan segera berlari kesana. Ada yang tidak beres disini.
"Woi!" hardiknya kencang hingga mengagetkan seisi lorong yang tidak terlalu ramai.
Orang itu terkejut, hingga pintu kamar Ana terbuka lebar. Seakan kebingungan dan takut, orang tersebut segera berlari menjauh. Tak ingin kehilangan jejak, Ivan pun mengejarnya.
"Woi, mau kemana lo!"
Tepat di depan pintu kamar Ana, langkahnya terhenti karena Ricky memanggilnya.
"Van? Ada apaan?" tanya Ricky yang tiba-tiba muncul dari dalam kamar bersama dengan Ana di sampingnya. Kelihatan Ana sudah lebih baik dari sebelumnya.
Napas Ivan tersengal karena baru berlari sebentar namun harus berhenti mendadak.
"Itu." Tangan Ivan terangkat ke arah kemana orang tadi pergi. "Ada orang mata-matain kamar adek gue."
Jelas, Ivan melihat kerutan samar di dahi Ricky seakan mengingat sesuatu. Lalu terdengar decakan geram cowok ini. "Van,gue titip Ana."
Ricky segera berlari ke arah yang Ivan maksudkan. Meninggalkannya yang dilanda kebingungan dengan Ana.
"Hah? Oi, Ky!" panggil Ivan kencang. Tapi Ricky menghilang di ujung lorong, menuruni anak tangga dan tidak menggunakan lift.
"Kak, ada apa sih?"
Suara Ana memanggilnya kembali. Membuat Ivan segera menoleh. "Nggak. Nggak ada apa-apa dek. Masuk aja yuk, kita tunggu Ricky di dalam," ajak Ivan yang disambut anggukan dari kepala Ana.
Ia merangkul pundak adiknya dan membawa kembali Ana ke dalam. Pikiran Ivan masih tidak tenang sekalipun kejadian barusan telah berlalu.
Siapa orang tadi?
***
Suasana yang ramai cukup menyulitkan pergerakannya. Matanya menjelajah setiap orang yang berlalu lalang di lobby rumah sakit. Mencari seseorang itu. Ia kembali bergerak sampai iris matanya menemukan orang mencurigakan.
Dia berjalan penuh waspada dengan jaket hoodie hitam menutupi kepala. Tak lupa masker juga menutupi wajahnya. Dia berjalan keluar rumah sakit sambil sesekali melirik, seakan takut ada yang akan mengagetkannya.
Ingatan Ricky membawanya kepada kejadian tadi malam. Dimana seseorang membuntuti rumahnya. Orang itu, apakah orang yang sama?
Ricky mempercepat langkahnya, tapi ia sempat kesal karena baru saja menabrak seorang ibu.
"Kalau jalan pakai mata dek!" hardik si ibu itu.
Kepalanya menoleh sesaat pada ibu yang mengomel barusan. "Oh, maaf bu." Ricky menundukkan kepalanya dan berjalan pergi. Tapi ibu tadi malah tidak jadi meneruskan omelannya.
"Oalah, cakep bener," puji si ibu yang lupa jika habis di tabrak olehnya.
Fokusnya masih kepada orang tadi sampai Ricky setengah berlari dan menghindar jika ada seseorang lewat lagi di depannya. Tapi ia kehilangan jejak. Orang tadi sudah menghilang.
"Ah, sial!"
Ricky memutuskan untuk kembali ke dalam sebelum akhirnya ia melihat sesuatu yang dikenali.
Orang itu, dia baru saja memasuki sebuah mobil jeep berwarna hitam yang sedang bergerak keluar dari area rumah sakit. Benar, itu orang yang tadi. Matanya melebar kaget, tetapi dahi Ricky berkerut samar diikuti dengan mata yang melebar kaget.
Mungkin mobil jeep berwarna hitam banyak orang yang menggunakan, namun plat mobil tentu berbeda dan takkan sama. Ia membaca tulisan itu dengan amat jelas.
G 4 NES.
Dan Ricky tahu benar siapa pemilik mobil itu.
"Ganes?"
Mobil itu bergerak pergi. Ricky yang kepalang heran segera berlari kencang berusaha mengejar. Tapi sayang, karena jarak yang cukup jauh ia tak sempat menghentikan kendaraan roda empat itu.
"Argh!" kesalnya sambil memukul angin. Napasnya tersengal dengan mata yang terus mengikuti hingga hilang di ujung jalan.
Kini yang tersisa hanyalah berbagai macam pertanyaan. Untuk apa Ganes ada disini atau bahkan membuntutinya tadi malam?
Ricky yakin itu pasti Ganes. Tidak ada orang lain lagi yang ia dapat curigai setelah melihat ini semua. Oh, semua ini sungguh di luar akal sehatnya. Ia sampai mengacak-acak rambut karena terlalu kesal
Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke dalam sambil beberapa kali menghela napas, mengingat rentetan pertanyaan yang akan diterimanya ketika sudah sampai di atas.
Lagi-lagi ia harus berbohong.
***
Ana terlihat tenang di atas kasur sambil membaca sebuah surat kabar terbitan hari ini yang ia ambil tadi. Sesekali bersenandung pelan menyanyikan lagu kesukaannya, dari One Ok Rock berjudul Notes and Words. Lalu kembali membaca dengan seksama.
Lain halnya dengan Ivan yang sedang harap-harap cemas. Ia takut akan terjadi sesuatu pada Ana, baik saat ini atau kejadian selanjutnya. Upayanya menyembunyikan kecemasan tidak membuahkan hasil berarti karena adiknya memandang heran.
"Kak, kenapa sih?" tanya Ana yang mengejutkan Ivan yang bangkit dari sofa dan duduk di sampingnya.
Ivan menggeleng pelan.
"Nggak apa dek," jawabnya setengah berbohong. "Kakak seneng kamu udah balik lagi kayak biasanya."
Tangan Ana melipat surat kabar yang di bacanya, dan beralih menatap Ivan.
" Maafin Ana ya kak. Udah buat kakak khawatir," ucap adiknya dengan lirih dan sendu. "Ana, cuman kepikiran mimpi semalam."
"Mimpi?"
Ana mengangguk.