***
Langit memang telah berubah gelap. Lampu-lampu jalan mulai hidup satu persatu menggantikan posisi matahari yang telah kembali keperaduan. Denyut nadi kehidupan di kota ini tidak melemah seiring kepergiannya, namun semakin nyata berdetak. Memberikan warna berbeda di antara siang dan malam.
Tawa dan canda tidak menghilang sejak mereka memasuki mobil. Ana tak bisa berhenti ketika ia mengingatkan kembali pada kejadian kejar-kejaran di kantin. Sangat seru dan menantang. Karena tidak membutuhkan waktu lama sampai mereka berdua mendapat omelan dan ceramah panjang dari petugas keamanan disana. Ivan sendiri melenggang, pura-pura tidak mengenali mereka tadi. Hal ini cukup membuat kesal keduanya dan Ivan hanya tertawa puas dari jauh.
Masih fokus mengemudi, iris matanya sesekali melirik gadis cantik di sampingnya. Beruntung, Ivan memperbolehkan Ana satu mobil dengannya, namun tetap sang kakak mengikuti dari belakang. Ia beralih pada kaca spion. Ivan masih ada di belakang mereka.
"Lagian Ricky sih nggak ingetin Ana kalo kita ada di rumah sakit," kata Ana sambil tertawa. Hal itu menyebabkan dirinya tidak bisa menahan diri untuk tak melakukan hal yang sama.
Ricky terkekeh pelan. Sedikit melirik pada Ana kemudian beralih lagi pada kemudinya. "Ya, jarang-jarang lho di omelin sama orang rumah sakit. Anggep aja jackpot."
"Kalo jackpot dapat hadiah, Ky."
"Ana mau hadiah dariku?"
Kepala Ana berputar ke cepat ke arahnya. "Hadiah apa?" Tawanya sudah berhenti dan berganti dengan rasa penasaran yang hebat.
Suara dering ponsel dari dashboard harus menghentikan obrolan mereka. "Tolong ambilin, Na."
Ana mengangguk pelan sembari tangannya meraih benda pipih itu dan menyerahkan pada Ricky. Tanpa melihat siapa yang menghubungi, ia sudah terlebih dahulu menjawab panggilannya.
Ia menempelkan ponsel ke telinga. "Halo?"
"Lo dimana?"
Sungguh Ricky sama sekali tak dapat menghilangkan rasa keterkejutannya. Suara itu milik seorang teman baiknya di White Wolfgang. Dia, Ganes.
"Ada apaan?" tanyanya. Sudah pasti Ana akan terlihat bingung karena nada suaranya yang berubah dan terkesan agak kasar.
Alasannya adalah karena hari ini, dimana Ricky melihat dengan jelas orang yang membuntutinya menaiki mobil Ganes. Meskipun dugaannya belum tentu sepenuhnya benar, Ricky tetap menaruh curiga.
Ganes terbahak sebentar di ujung sana.
"Bos manggil. Dateng ke Redline jam sembilan malam."
"Nggak bisa!" serunya tanpa berpikir panjang. Hari bersama Ana tak ingin di lewatkannya, barang sedetikpun. Tapi ia melupakan bahwa perintah dari Bos adalah mutlak.
"Itu terserah lo. Cuman, mungkin harus gue ingetin tentang apa yang akan lo dapet kalo mangkir."
Sebelah tangannya mencengkram kemudi dengan amat kuat. Kesal karena tak dapat mengatakan tidak. Ketika Bos dari White Wolfgang sudah menyerukan untuk anggotanya berkumpul, hal yang akan di dapatkannya saat tidak menghadari pertemuan itu sama saja dengan bertaruh nyawa. Ricky mencoba menahan segenap amarahnya.
"Oke. Jam delapan gue udah disana."
Ricky menutup ponselnya. Hampir saja ia melempar benda pipih itu jika Ana tidak duduk di sampingnya.
"Siapa, Ky?"
"Temen," jawabnya singkat.
Ana masih memperhatikannya, lalu mengangguk seakan tak ingin bertanya lebih jauh. Lega rasanya, tidak ada yang mengetahui bila Ricky tergabung dalam kelompok seperti White Wolfgang.
Segera ia menyalakan lampu sen dan menepikan mobilnya ke bahu jalan. Terlihat Ivan juga mengikuti di belakangnya. Setelah memastikan mobil Ivan sudah menepi, Ricky menatap Ana lekat-lekat membuat perasaan gadis ini menjadi tidak karuan karena jantung yang berdetak cepat.
"Na, maaf Ricky nggak bisa nganter sampai rumah. Nanti kirim pesan ya kalo udah sampai."
Ana kembali mengangguk patuh. Tidak ada yang bisa ia lakukan selain menyunggingkan seulas senyum simpul. Kemudian ia keluar dari mobil dan membukakan pintu di sebrangnya. Ivan juga terlihat keluar dari mobilnya.
"Kenapa?" tanya Ivan. Matanya mengikuti ketika Ana dan Ricky berjalan kearahnya.
"Gue ada urusan mendadak. Jadi, sorry cuman bisa nganter sebentar doang."
Ivan mengangkat bahu. "No problem."
Ricky berbalik, menatap Ana yang masih setia di sampingnya. Sebelah tangannya terangkat, menyentuh pucuk kepala Ana.
"Duluan ya," pamitnya pada Ana, lalu ke Ivan. Kemudian ini berjalan untuk kembali memasuki mobilnya.
Namun gerakan tangannya terhenti saat sebuah teriakan kecil dari Ana terdengar jelas dan membuatnya menoleh.
"Hati-hati, Ky."
Lagi, Ricky memberikan senyuman manis pada gadis kesayangannya. Ana terlihat melambaikan tangan dan Ivan ada di sebelahnya. Tidak ingin membuang waktu, Ricky segera masuk dan menyalakan kembali kendaraannya.
Sempat ia melirik ke arah spion yang masih menunjukkan sosok Ana dan Ivan, sampai mereka hilang karena ia sudah semakin menjauh.
Kekesalannya terbit mengingat ia harus berkumpul di Redline dan bertemu Ganes. Namun ia mengingat kejadian hari ini. Ricky harus mendapatkan jawaban dari Ganes.
Harus.
***
Mobil berwarna merah metalik itu sudah menghilang dari pandangan matanya. Tapi ia masih berdiri di tempatnya, belum beranjak meskipun Ivan sudah memanggilnya, dua kali.
"Na, ayo masuk."
Kali ini ia menoleh, lalu kakinya melangkah memasuki mobil Ivan. Setelah duduk dan memasang sabuk pengaman, Ivan membawa kembali kendaraannya di jalan raya.
"Kak, beli spicy chicken dari WCD yuk. Laper." Ana merajuk sambil memanyunkan bibirnya.
"Drive thru aja ya. Biar makan dirumah," sarannya yang mendapat respon positif dari adiknya.
"Oke."
Ana melihat keluar jendela memperhatikan setiap gedung-gedung tinggi yang mereka lewati. Bahkan baru saja melewati monumen nasional, kebanggaan negara ini. Ingin rasanya kesana, namun mengingat sudah malam dan perutnya lapar, hal itu bisa ditunda dahulu.
"Kak."
"Hm?"
Kepala Ana tertunduk sebentar sebelum terangkat kembali melihat pada Ivan disebelahnya.
"Ana mau minta maaf soal hari ini. Maaf udah bikin kakak khawatir dan panik."
"Nggak apa, dek. Tandanya kakak sayang sama kamu," katanya dengan pandangan tetap lurus ke depan.
Lampu lalu lintas berubah merah. Ivan segera memberhentikan mobilnya seperti kendaraan lain. Kesempatan ini digunakannya untuk membelai pelan pucuk kepala Ana, seperti yang dilakukan Ricky tadi. Rasanya berbeda, namun tetap Ana merasakan sentuhan kasih sayang disana.
Waktu seakan berhenti, seakan memberikan kesempatan keadaan ini berlangsung lama. Ivan sangat mencintai dan menyayangi Ana sebagai adik, meskipun beberapa waktu lalu Ivan sempat mempertanyakan mengenai perasaannya, tapi Ivan yakin hal itu terbentuk atas dasar cemburu seorang kakak melihat adiknya dekat dengan cowok untuk pertama kalinya.
Hal ini tak berlangsung lebih lama lagi saat suara klakson kendaraan berbunyi bersahut-sahutan.