***
Matanya tak lepas memandangi bangunan di depannya. Hampir keseluruhan tempat ini di dominasi cat berwarna putih dengan garis-garis hijau. Dari sekian banyak hal yang tidak ia sukai, rumah sakit adalah salah satunya.
Ia tidak suka melihat tenaga kesehatan berlalu lalang di sekitarnya. Terlebih, ia sangat membenci aroma obat-obatan. Menusuk hidung dan menyakiti hingga ke rongga paru-parunya. Tempat ini membawa kenangan buruk tentang Mama, juga Ana. Ia berusaha sebisa mungkin untuk menahan perasaannya, seperti saat mengunjungi Ana beberapa waktu lalu di rumah sakit.
Suara sirine ambulance bergema kencang di sudut rumah sakit, bagian UGD. Seseorang baru saja di turunkan dengan keluarga yang menemani. Satu dari mereka menangis, sedangkan yang lainnya menenangkan anggota keluarganya. Para perawat sibuk berlalu lalang memanggil dokter dan membawa sang pasien gawat darurat ke salah satu ruangan operasi.
Tubuhnya kaku, seluruh indera yang ia miliki sama sekali tidak berfungsi. Suara sirine terus bergema di telinganya, mengenggelamkan suara-suara lain. Apa yang baru saja dilihatnya membuat satu dari sekian banyak memori dalam kepalanya memutar kembali ingatan dimana Mama dan supirnya terlibat kecelakaan tunggal di jalan bebas hambatan. Mama seharusnya berangkat ke Jepang dan kembali pada minggu berikutnya. Tapi sampai hari ini, Mama tidak pernah kembali. Mama, sudah beristirahat dalam damai.
Seharusnya aku juga ikut. Seharusnya aku juga ikut meninggal. Seharusnya... Seharusnya... Seharusnya...
“Ky?”
Suara Ana berhasil membawanya kembali ke dalam dunia nyata. Napasnya tersengal, berat sekali untuk menghirup oksigen yang ada di sekitarnya. Ia menoleh, Ana memegang erat lengannya dan terlihat khawatir.
“Ricky kenapa?”
Kepalanya menggeleng lemah.
“Nggak apa-apa, cuman pusing sama aroma obat." Walaupun bukan itu alasan utamanya, tapi alasan tadi termasuk dalam salah satu dari sekian banyak hal yang ia tidak sukai dari tempat ini. "Masuk yuk,” ajaknya.
“Yuk.”
Ricky sempat mengusap wajahnya dengan sebelah tangan yang bebas. Mengingat kejadian itu sama saja membuka kotak terlarang yang sampai saat ini tidak pernah ia bisa tutup. Rasa bersalah dan rasa sakit ini tetap menyakitkan sampai hari ini. Ia sama sekali tidak bisa menerima kepergian Mama.
Mereka berdua akhirnya melangkah masuk memasuki Rumah Sakit St. Maria Healey, tempat dimana ingatan Ana di mulai. Ricky mencoba menghampiri bagian administrasi.
"Selamat siang, ada yang bisa dibantu?" sapa salah satu petugas yang melihat mereka mendekat.
Ana menoleh padanya, terlihat kebingungan dan pasti rasa takut menghampirinya. Genggaman tangan Ana di lengannya semakin menguat. Lebih baik ia yang bertanya sepertinya.
"Oh iya, Kak." Ia cukup bingung untuk memanggil menggunakan sapaan yang mana. "Gadis di sebelah saya pernah di rawat disini," sambil menujuk pada Ana. "Kebetulan dia lupa bisa di rawat karena apa, kira-kira kita bisa dibantu soal berkasnya?"
Petugasnya melihat mereka secara bergantian. "Baik, bisa di bantu namanya siapa?" sambil tanganya sibuk mengetik sesuatu di komputernya.
"R-ryena Anastasia," kata Ana terbata-bata. Sebelah tangannya yang bebas berinisiatif untuk menepuk pelan punggung tangan Ana, berusaha memberikan ketenangan. Gadis di sampingnya mengendurkan sedikit genggaman pada lengannya. Respon yang baik.
Ricky kembali melihat pada si petugas di depannya yang terlihat aneh. Alis petugas ini berkerut samar, seperti menemukan sesuatu yang tidak benar.
Si petugas menatap mereka lagi secara bergantian. "Boleh di ulangi lagi namanya?"
"Ryena Anastasia," jawab keduanya yakin yang membuat raut wajah si petugas semakin aneh. Perasaan takut menghantui Ana dan Ricky. Segala macam jawaban telah di pikirkan Ricky, yang mungkin saja di antaranya adalah jawaban yang benar. Namun...
"Setelah saya cari, memang pernah ada pasien di rawat disini atas nama Ryena Anastasia sekitar beberapa tahun lalu. Tapi..."
Si petugas terdiam sebentar, menyebabkan rasa penasaran dan takut kini menjadi satu. "Tapi apa?" tanya Ricky dengan suara getir.
"Pasien ini, sudah meninggal dunia."
Keduanya membeku sepersekian detik, mencoba mencerna kata-kata yang baru saja meluncur dari bibir si petugas. Baik Ricky maupun Ana sama sekali tidak memikirkan jawaban barusan. Jawaban tadi, sama sekali tidak masuk akal.
Perasaannya memberontak. Ini tidak benar, pasti ada yang salah. "Hah? Mana mungkin. Coba tolong dilihat yang benar!" protes Ricky pada si petugas yang membuat petugas lainnya ikut melihat kejadian ini.
"Benar Mas. Di dalam dokumen yang tertulis, pasien atas nama Ryena Anastasia sudah meninggal dunia," timpal petugas lainnya.
Ana mencengkram lengan tangannya amat sangat kuat. Ia buru-buru mengalihkan fokusnya dan kembali pada Ana. Betapa terkejutnya ia mendapati raut wajah Ana yang ketakutan. Segera saja Ricky membenamkan kepala Ana di dadanya. "Na, Ricky disini," bisiknya.
"Mas dan Mbaknya mungkin lebih baik ikut saya ke ruangan, agar bisa dibantu di jelaskan,"ajak si petugas pada mereka. Ricky mengangguk setuju sambil menuntun Ana. Mereka mengikuti arahan si petugas sampai memasuki satu ruangan yang penuh dengan dokumen. Si petugas mempersilahkan mereka duduk di hadapannya.
"Tunggu sebentar ya, saya carikan dokumen fisiknya."
Setidaknya tidak ada aroma obat-obatan yang menusuk disini dan berganti menjadi aroma kertas-kertas lama. Ruangan ini di dominasi dengan warna cokelat klasik, berbeda dengan di luar. Terdapat banyak rak dan ruangan ruangan kecil lainnya, sudah dapat di pastikan di dalam sana juga berisikan banyak dokumen. Ricky tetap menggenggam tangan Ana yang dingin, mencoba mentransfer hangat tubuhnya pada Ana. Dia masih terlihat pucat. Tentu saja, tidak ada siapapun yang tidak terkejut di vonis telah meninggal dunia padahal dia masih hidup.
Tak butuh waktu lama sampai si petugas kembali pada mereka dengan membawa dokumen yang tidak terlalu tebal dalam tangannya. Si petugas duduk di hadapan mereka dan meletakkan dokumen tersebut di meja. "Mas dan Mbaknya bisa melihat ya di depan dokumen ini tertulis nama Ryena Anastasia." Keduanya mengangguk. "Saya bantu bukakan ya," lanjut si petugas.
Di halaman pertama tertulis hal-hal yang sepertinya tidak begitu penting untuk di ketahui. Namun pada halaman selanjutnya, si petugas terlihat lebih serius, ada lembaran beberapa foto juga di dalamnya, entah siapa yang telah mengambil potret itu.
"Disini tercatat atas nama Ryena Anatasia," si petugas melihat pada Ana di sampingnya, "Tiba disini pada hari XX bulan XX tahun XXXX, dan usia 8 tahun, dalam keadaan tidak sadarkan diri. Menurut info dari pihak keluarga, anak ini terjatuh dari lantai dua. Ditemukan sejumlah luka akibat terjatuh dari ketinggian, namun terdapat luka-luka lain yang diakibatkan benda tumpul. Bagian alveolusnya terisi air sehingga difusi oksigen sangat sedikit bahkan tidak ada sama sekali sehingga mengakibatkan shock dan pernapasannya dapat terhenti...-"
"Maksudnya?" potong Ricky hingga membuat si petugas kini beralih padanya.
"Tenggelam, atau mungkin di tenggelamkan." Napas si petugas terdengar cukup berat membacakannya, begitupun dirinya meskipun Ana masih membeku. "Anak ini sempat kesulitan bernapas karena paru-parunya terisi air. Hal ini sempat membuat tim medis kebingungan karena adanya perbedaan penyampaian dari pihak keluarga."
Perasaan apa ini? Mengapa rasa sesak yang amat sangat menyerangnya bertubi-tubi? Apa yang terjadi dengan gadis ini? Semuanya terasa aneh dan janggal.
"Anak ini dirawat intensif selama kurang lebih empat minggu hingga dinyatakan oleh tim medis meninggal dunia diakibatkan terhentinya jantung karena tidak kuat untuk memompa darah ke seluruh aliran tubuh, komplikasi pada paru-paru dan kerusakan jaringan otak, setelah sebelumnya sempat sadarkan diri selama seminggu."
Napasnya tercekat. Dari segala kemungkinan yang ada, ini tidak termasuk salah satu yang dipikirkannya. Ricky menatap wajah petugas yang sepertinya juga sama bingungnya. "Anda yakin?"
Si petugas mengangguk lemah, sebelah tangannya menyodorkan berkas itu ke hadapan mereka. Iris matanya menangkap seluruh tulisan yang sebelumnya sudah dibacakan, dan semua itu benar. Tangan kanan Ana yang bebas mencoba meraih selembar foto. Di dalamnya ada potret seorang gadis kecil yang duduk bersandar, dikelilingi oleh tim medis serta kedua orang tuanya. Di sisi gadis ini ada seorang anak laki-laki, matanya menatap si gadis kecil seakan tak ingin melepasnya. Ricky tahu persis siapa itu, dia tidak terlalu banyak berubah.
"I-ini.."
"Itu foto yang diambil beberapa hari setelah anak ini sadarkan diri." Si petugas menatap Ana. "apakah mbaknya benar anak ini?"
Mata Ana mulai berkaca-kaca, emosinya mulai tak tertahan hingga foto itu terjatuh. Ricky tidak bisa membiarkan Ana lebih lama disini. Segera ia meminta ijin untuk pamit dan membawa Ana keluar dari sana. Setelah berkali-kali mengucapkan terima kasih, ia menuntun gadis disampingnya kembali ke mobil. Banyak orang yang berpapasan dengan mereka menatap aneh. Tapi ia tidak peduli, Ana adalah prioritasnya saat ini.
Sekembalinya mereka di mobil,tidak ada satupun yang mencoba untuk berbicara. Ricky bersandar, kepalanya sangat berat. Ana juga pasti merasakan hal yang sama. Apa yang menimpa Ana sepertinya tidak sesederhana itu.
"Ky, Ana ini... siapa?"
Ricky tersentak mendengar pertanyaan Ana barusan, sampai membuat tubuhnya berbalik ke arah gadis di sampingnya. Ana menatap kosong ke depan, berbeda dengan beberapa hari lalu saat dia sangat bersemangat untuk mencoba kembali menggali ingatan lamanya yang hilang. Sebelah tangannya mengacak-acak rambutnya karena frustasi. Ia sama sekali tidak bisa menyangka jika jawaban tadi adalah kata kunci pertama mereka.
"Kamu ya kamu, Na. Kamu tetap Ana, adiknya Ivan."
Ana menatapnya. Astaga, Ricky tak tahan melihat tatapan Ana sekarang. "Ana nggak ngerti. Sama sekali nggak ngerti. Ricky tahu... di dalam foto tadi, gadis kecil itu Ana. Papa Mama pernah nunjukkin foto kecil Ana. Tapi, kenapa Ana sudah mening-"
"Na," potongnya. Sebelah tangannya menggenggam sebelah tangan Ana yang bebas. "Aku tahu ini berat. Sama, Ricky juga nggak nyangka petunjuk pertama yang kita dapet malah bikin kamu jadi kayak gini. Aku... nyesel."
Melihat kepala Ricky tertunduk, Ana melihatnya dengan heran. "Eh? Kenapa?"
"Aku, nggak kepikiran kalo masalah kamu nggak sesimple itu. Aku emang khawatir soal kamu. Tapi aku jadi nyesel karena ngebiarin kamu ngebuka memori yang kayaknya nggak seharusnya kita buka." Ricky menyesal. Sangat.
"Nggak apa-apa. Ana emang kaget banget dan masih nggak percaya sama apa yang tadi di kasih tau di dalem." Ana menarik napas panjang meskipun getarannya sampai padanya. "Tapi Ana mau tetep lanjutin," kata Ana yakin.
"Kamu yakin?"
Ana mengangguk. "Kayaknya, berat ya. Mungkin Ana harus siap-siap dari sekarang."
"Ricky ada disini. Ricky nggak akan kemana-mana dan kita hadapin sama-sama ya."
"Iya."
***
Terkejut?
Oh, tentu saja. Ia berhasil memasang alat penyadap di dalam saku petugas yang baru saja berbicara dengan cowok itu. Gadis di sampingnya tampak shock, sampai berjalan pun harus dituntun. Tapi ia juga sama terkejutnya. Seluruh isi percakapan di dalam sangat membuatnya tidak habis pikir. Bagaimana seseorang yang masih hidup sudah dianggap meninggal?
Ia sampai membuka kembali informasi dari kliennya, yang sangat ingin mengetahui siapa sebenarnya gadis itu. Gadis itu, hanya gadis sederhana. Tidak terlalu banyak informasi yang di dapat, tentunya sebelum hari ini. Apabila gadis itu adalah seorang tersangka kasus korupsi, sudah tentu hal semacam ini wajah ia temui, namun gadis itu hanyalah gadis biasa tanpa sesuatu yang istimewa. Ganes memijat pelipisnya yang berkedut.
Sekarang ia duduk di seberang restoran fastfood dengan logo seorang kakek tua sambil menyesap kopi hitam yang di pesannya. Kacamata dan topi hitam tetap dikenakan meskipun masker sudah ia turunkan. Matanya tak lepas memandangi laki-laki dan seorang gadis yang tengah makan. Ricky dan Ana.
Gadis itu makan dengan lahap, sesekali mengajak laki-laki di depannya untuk tertawa. Tapi ia sadar Ricky tidak tertawa sepenuh hati. Seakan ada sesuatu yang dipikirkan oleh dia.
Sebelumnya, ia hampir menolak ini. Kliennya agak tertutup dan tidak memberitahukan seperti apa dirinya. Nona, begitu ia memanggilnya.
Nona ini sangat tidak ingin jika gadis di seberang sana hidup karena akan mengungkap rahasianya. Bahkan dia mengira jika gadis itu sudah lama mati. Ketika ia mendapat perintah untuk membuntuti gadis itu dan harus mengecek asal usulnya, tentu ia setuju. Belum lagi imbalan yang diberikan tidak sedikit. Bahkan jumlahnya, sangat diluar dugaan.
Ponselnya berdering di atas meja. Segera ia meraihnya dan sudah menduga siapa yang menghubungi.
"Ya, Nona?"
"Dimana dia? "
"Diseberang, sedang makan. Apa yang Nona ingin tahu?" tanyanya dengan nada santai. Lalu menyesap kopinya perlahan.
"Kemana saja ia kemarin dan hari ini?"
Alisnya berkerut samar, mencoba mengingat hari kemarin dengan cermat. "Kemarin dia hanya ke sekolah. Lalu hari ini dia ada di kota lain. Ah, baru saja dia mengunjungi rumah sakit St. Maria Healey."
"Apa? Rumah sakit apa?"
"St. Maria Healey."