🎧The Light Behind The Earphone

Syaqueenn
Chapter #2

Frekuensi yang Tak Terlihat (#2


🎵 “Beberapa hal tak bisa dilihat, tapi bisa dirasakan — kalau lo cukup berani buat mendengarnya.”

Suara punya cara aneh buat muncul di saat yang nggak lo duga.

Kadang lewat lagu di radio, kadang dari pesan suara yang nyasar, atau… dari earphone rusak yang seharusnya udah mati.

Buat Farel, sejak malam itu, suara Lira jadi sesuatu yang lebih dari sekadar gangguan aneh.

Itu kayak rahasia pribadi yang cuma dia yang tahu—dan, entah kenapa, dia nggak pengen orang lain ikut campur.

---

Malam berikutnya, setelah semua orang di rumahnya tidur, Farel duduk di meja belajar. Lampu kamar redup, cuma monitor laptop yang nyala.

Earphone rusak itu dia sambung lagi ke port audio.

Detak jantungnya cepat, kayak orang yang mau nelpon gebetan untuk pertama kali.

“Lira?”

Hening.

Detik berlalu.

Lalu, samar-samar—

“Rel.”

Suara itu terdengar lembut, tapi kali ini disertai bunyi klik-klik kecil, kayak sinyal radio.

“Gue kira lo nggak bakal nyambung lagi,” katanya.

“Nyambung?”

“Ya. Frekuensinya. Kadang, jaringannya pindah. Tergantung siapa yang nyari.”

“Jadi, ini kayak... telepon antar dunia?”

Lira ketawa pelan. “Lo kebanyakan nonton film sci-fi, deh.”

“Tapi beneran, lo tuh siapa? Dari mana?”

“Dari tempat di mana suara nggak cuma kedengeran, tapi hidup.”

“Ah, lo ngomongnya kayak quote TikTok.”

“Biar keren dikit.”

Farel tersenyum kecil tanpa sadar.

Mendengarkan Lira itu kayak denger podcast tengah malam—tenang, tapi nyeret perasaan.

Setiap jeda di antara kata-katanya terasa hangat.

Kayak dia ngomong dari sisi lain udara.

---

Beberapa hari kemudian, rutinitas Farel mulai berubah.

Setiap jam istirahat, dia bukan scrolling TikTok kayak biasanya, tapi duduk di taman belakang sekolah sambil nyolok earphone rusaknya.

Cuma buat “cek sinyal”.

Kadang nggak ada suara sama sekali. Kadang Lira muncul dengan kalimat acak.

Pernah sekali, cuma satu kalimat:

“Jangan lupa makan, Rel. Lo kedengeran lapar.”

Dan entah gimana, meski nggak logis, kalimat itu bikin Farel senyum seharian.

---

Sampai suatu sore, Dita nyamperin dia di taman.

“Rel, lo ngapain bengong tiap istirahat?”

“Refleksi kehidupan.”

“Refleksi apa? Laptop lo aja nggak lo bawa.”

“Gue lagi… denger sesuatu.”

Dita nyipit mata. “Jangan bilang... suara itu lagi?”

Farel diem.

“Rel, serius deh, lo harus stop. Bisa aja itu cuma halusinasi.”

Farel menatap langit, nada suaranya pelan.

“Mungkin. Tapi kalau halusinasi bisa bikin lo ngerasa nggak sendirian, apa itu salah?”

Dita nggak langsung jawab. Ia cuma menatap temannya itu lama, lalu berkata,

“Cuma jangan sampai lo lupa sama dunia nyata, ya.”

---

Malamnya, Farel cerita soal itu ke Lira.

“Temen gue bilang gue halu.”

“Dan lo percaya?”

“Gue nggak tahu. Tapi gue juga nggak tahu gimana cara jelasin ini.”

Lira tertawa kecil. “Rel, kadang yang nggak bisa dijelasin itu justru yang paling nyata.”

“Lo ngomong kayak buku motivasi berjalan.”

“Ya maaf, sinyal di sini emang suka bikin kalimat gue kedengeran bijak.”

“Boleh nanya sesuatu?” Farel mencondongkan tubuh ke layar. “Lo… punya wujud nggak sih?”

“Punya. Tapi mungkin bukan kayak yang lo bayangin.”

“Maksudnya?”

“Lo tahu kan, cahaya dan suara punya panjang gelombang. Nah, gue ada di antara dua itu.”

“Lo maksudnya... lo itu frekuensi?”

“Mungkin.”

“Dan lo bisa denger gue karena...?”

“Karena lo sensitif sama sinyal.”

Farel terdiam.

Entah kenapa, jawaban itu terdengar masuk akal — tapi juga mustahil di saat bersamaan.

---

Keesokan harinya, Bowo ngajak nongkrong di kantin.

“Rel, kita harus ngomongin proyek film pendek buat lomba sekolah.”

“Lomba apa?”

“Tema bebas. Tapi kalau kita bikin yang viral, bisa dapet exposure gede! Gue pengen bikin tentang frekuensi misterius di sekolah.”

Dita langsung memelototi Farel.

“Jangan bilang lo setuju.”

“Eh... bisa dipertimbangkan,” jawab Farel sambil nyeruput es teh.

“Rel!” Dita nyengir nggak percaya. “Lo serius mau nge-eksploitasi suara misterius lo buat konten?”

Bowo nyengir. “Santai, Dit. Kan buat lomba. Kalo menang, gue traktir lo semua boba seminggu.”

Farel akhirnya ngangguk setengah hati.

Dalam pikirannya, ia sadar: mungkin ini kesempatan buat cari tahu siapa Lira sebenarnya. Kalau direkam, siapa tahu sinyal suaranya bisa muncul di hasil video.

---

Malamnya, Lira terdengar lagi.

“Lo mau rekam gue?” suaranya terdengar lembut, tapi kali ini agak berat.

“Gue cuma pengen tahu lo nyata.”

“Rel... beberapa hal nggak bisa dibuktikan lewat kamera.”

“Tapi lo sendiri bilang, lo hidup.”

“Ya, tapi nggak semua yang hidup bisa dilihat.”

Lihat selengkapnya