"Datanglah kerumahku jika kau ingin bertemu kembali denganku, jika Tuhan memilihmu untuk menjadi imamku, saya yakin, kau akan datang."
Itulah kata perpisahan terakhir yang terucap dari mulut Sari saat Adam mengantarnya di dermaga pelabuhan Makassar. Sari harus kembali ke Bima setelah kelulusan pendidikan S1 Sastra Indonesia berakhir. Hari itu pertama dan terakhir kalinya mereka jalan beriringan. Hubungan yang terjalin setelah mereka bertemu di KKN itu nampaknya hanya sekedar cinta dalam diam. Mereka jarang bertutur kata. Mereka hampir tak pernah bertatap wajah berdua. Mereka tak pernah jalan bersama layaknya insan yang sedang di mabuk asmara pada umumnya. Hingga mereka lulus. Sari memang bukan gadis primadona kampus. Ia juga bukan gadis yang berpostur bak biola Spanyol. Namun, ia gadis yang imut dan sangat bersahaja. Ajaran keluarga Tuan Guru Besar sebagai ayahnya tetap melekat pada pribadi seorang Sari. Ia berkharisma sebagai seorang gadis Bima. Tidak heran kalau tak hanya Adam yang mendekatinya, namun adik tingkat banyak juga yang terpesona olehnya. Mungkin karena posturnya yang mungil, ia lebih cocok menjadi anak semester 1 ditiap tahunnya. Kertas bertuliskan kata-kata pujangga sering sekali mampir di meja kuliah Sari tanpa nama pengirim. Bunga matahari yang selalu diselipkan di sudut kursi Saripun selalu bertengger ramai. Dulu, bunga matahari ini selalu jadi bunga terfavorit sebagai ungkapan rasa cinta. Selain bisa dipetik di pekarangan kampus, ia pun tak perlu mengorek isi dompet. Yang terpenting saat penjaga kampus tak melihatnya, maka bunga itu aman untuk dipetik sesuka hati. Tapi, disaat ketahuan oleh sang penjaganya, maka bersiap-siaplah sapu lidi melayang seakan Harry Potter sedang mengejar Lord Voldemort, penyihir yang paling menakutkan dan kejam.
Secarik kertas putih yang bertuliskan "Kampung Dara Jln.Pahlawan Tolodara Kec.Rasanae Barat, Kota Bima. Rumah Tuan Guru" kini sudah berubah warna menjadi warna kecoklatan kusam. Tulisan yang kini sudah mulai memudar yang berbulan-bulan lamanya disimpan di dalam tas kuliah Adam yang tak pernah tersentuh sabun dan air sedikitpun. Kertas kusam itu mengantarkannya bertemu wanita yang sangat ingin dijadikan makmumnya. Wanita pelipur lara. Wanita yang di impikan bisa menjadi ibu teladan untuk anak-anaknya kelak. Wanita yang bisa membawa kenyamanan di dalam keluarganya kelak. Wanita yang bisa ia bahagiakan kelak dengan penuh cinta. Wanita yang bisa menjadi jodoh dunia akhirat untuknya.
Dengan menggunakan perahu bermotor dari pelabuhan Murhum Baubau, maka tibalah Adam di kota yang terkenal dengan filsafah "Maja Labo Dahu" yang diartikan dengan "Malu dan Takut" bagi orang Bima. Makna dari filsafah ini sangat mendalam, dimana terkandung pesan untuk malu kepada sesama manusia jika melakukan tindakan yang tidak pantas dan takut terhadap balasan Allah atas perbuatan yang telah dilakukan. Habluminannas dan Habluminallah yang selalu ditekankan. Kota Bima terletak di bagian timur Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang terkenal dengan nuansa kota keislamannya, karena memang penduduk disana kebanyakan pemeluk agama Islam, namun walaupun mayoritas muslim, kota ini sangat terbuka, menghargai, dan sangat menjunjung tinggi kerukunan antarumat beragama. Jika datang ke Bima, mata kalian akan dimanjakan dengan banyak tradisi yang menarik. Salah satunya adalah Rimpu Mbojo yang merupakan busana adat tradisional yang menjadi pakaian untuk menutup aurat bagi wanita muslim Bima pada zaman dulu. Rimpu ini sendiri menggunakan sarung tenun (tembe nggoli) yang dipakai sebagai hijab penutup aurat.
"Assalamualaikum," suara itu terdengar dari depan pintu luar ruang tamu keluarga Sari. Kebetulan Abah dari Sari sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku-buku agama yang sudah lecek karena mungkin terlalu sering dijamah oleh tangan. Terlihat buku dengan tulisan sampul hijau tua "Ajaran dan Sejarah Islam untuk Anda" Penulis H.Rosihan Anwar dengan tebal 278 halaman. Buku agama, filsafat, maupun sejarah Islam memang menjadi koleksi dari tokoh ulama Bima ini. Sari yang sedang berada di dalam kamar, seketika bergetar hatinya mendengar suara salam dari seorang laki-laki yang sepertinya pernah dikenalnya. Suara yang tak asing baginya, namun sudah hampir setahun tak pernah didengarnya. Sari keluar kamar dan bersandar pada bilik tembok dekat ruang tamu sembari mengintip dibalik gorden. Ia ingin memastikan bahwa apa yang ia dengar benar adanya dan apa yang ia harapkan adalah nyata.
"Waalaikumsalam Wr Wb, Silahkan masuk, anak muda" jawab laki-laki tua yang ditiap harinya mengenakan baju koko berwarna putih serta sorban putih yang melilit rapi di kepalanya. Adam pun melepas sepatu lusuh yang sudah lama menemaninya dari awal kuliah. Ternyata tak begitu susah mencari alamat Tuan Guru KH.Abd.Rahman Idris. Hanya cukup menyebutkan namanya saja, hampir seluruh warga Bima seketika sumringah. Dengan benhur (alat transportasi menggunakan kuda) Adam pun diantar sampai di depan rumah.
"Ada keperluan apa, hingga membawa Ananda datang kemari? Apa ada yang bisa saya bantu?" tanya laki-laki tua bersahaja itu yang tidak lain adalah abah Sari. Tanpa basa basi, Adam pun langsung menjelaskan maksud kedatangannya. Orang Baubau memang tak suka bertele-tele.
"Maaf, mengganggu sebelumnya, Pak. Maksud kedatangan saya kesini untuk meminang anak perempuan Bapak , yang bernama Sari". dengan suara yang sopan namun lantang ia meminta anak perempuan yang masih milik orangtuanya untuk dipinang menjadi istrinya. Abah terdiam sejenak tanpa kata. Ia menghelakan nafas panjang. Melihat anak muda yang tiba-tiba datang dengan baju berwarna kuning pudar. Kucel sekali. Di lengkapi dengan celana panjang model kaki kuda dengan panjang menyeret lantai. Mukanya kusam. Bajunya sudah 2 hari melekat tanpa ganti. Aroma tubuhnya sudah campur aduk hingga mengganggu aroma penciuman. Dia seperti bau tomat busuk. Menyengat sekali. Badannya belum tersentuh air. "Entah dari mana asal usul anak muda ini", suara alam bawah sadar Abah pun bercuap.
"Sari, tolong buatkan 2 teh manis untuk Abah dan tamu Abah," teriakan kecil dari kakek yang sudah memiliki 9 cucu itu. Sari adalah anak ke-5 dari 9 bersaudara. Sari anak perempuan pertama karena semua kakaknya adalah laki-laki dan sudah menikah. Sari memiliki 4 adik yang belum menikah. Mendengar panggilan dari Abah, Sari pun sontak kaget. Ia bingung, panik, campur bahagia karena akan bertemu kembali dengan ia, si penjajah hati. Atmosfer hati Sari sudah tak karuan. Adrenalinnya mulai naik. Detakan jantungnya berdetak lebih kencang tanpa ritme yang jelas. Jantungnya seakan memompa lebih cepat dari biasanya. Sari sangat khawatir jika niat lamaran laki-laki lecek ini ditolak oleh abahnya karena ia faham betul, orangtuanya sangat selektif dalam memilih pasangan untuk anak-anaknya. Namun, ia selalu percaya pada keputusan abahnya. Ridho orangtua adalah ridho Allah. Itu yang selalu ditanamkan dalam kehidupannya. Abah Sari Seperti kubus rubik, permainan teka teki mekanik yang menggunakan 6 warna yang berantakan dan harus disusun rapi sesuai warnanya. Tidak mudah bermain rubik. Kita harus tahu pola dan rumus yang dipakai. Begitu pula hati abah. Tidak mudah untuk ditebak dan diluluhkan.
Sari pun mengiyakan panggilan abahnya. Ia buru-buru kedapur untuk menyiapkan 2 teh manis. Warna gula dan garam memang kadang susah untuk dibedakan disaat fokus kita terpecah. Pikiran Sari masih tetap melayang-layang. Ini bagai mimpi disiang bolong, pikirnya demikian. Tepat di depan gorden menuju ruang tamu, Sari pun berhenti sejenak dan menarik napas panjang. Ia bermaksud mengatur pernapasannya agar tidak terlihat gugup saat bertemu dengan laki-laki yang sudah membuktikan keseriusannya itu.
"Ini buat Abah," kata Sari sambil meletakkan teh manis buatannya ke meja kayu yang bertengger di ruang tamu rumahnya. Sari menyajikan teh pertama untuk abah, disusul teh untuk laki-laki dari kota seberang itu, yang memang bau badannya sudah menyengat karena tidur berdampingan bak suami istri bersama tomat, cabai, maupun bawang merah.
"Silahkan diminum," Sari tetap menundukkan pandangannya saat memberikan minuman ke lelaki berkumis tipis di tengah namun sedikit lebat pada ujungnya.
"Terimakasih, Nak. Kembalilah kekamarmu," perintah Abah. Adam pun memandangi wajah Sari. "Dia masih seperti bunga Saffron Crocus. Indah tak ternilai. Masih sama seperti setahun yang lalu," suara hati Adam mulai tak bisa terkontrol. Sari pun kembali kekamarnya dengan membawa nampan plastik bermotif bunga-bunga. Harap-harap cemas dan hanya menunggu kabar dari kamarnya. Ia tidak ingin melanjutkan mendengar pembicaraan antara Abah dan Adam, karena semakin ia menguping pembicaraan tentang dirinya, semakin jantungnya tak bisa diajak kompromi dengan baik.
"Minumlah, Nak, untuk menghilangkan dahagamu,"
Tanpa pikir panjang Adam pun mengambil cangkir berisi teh itu dan meminumnya. Ekspresi wajah Adam seketika berubah. Seperti ada yang ia tahan di setiap tegukannya. Mukanya meringis kencang.
"Sepertinya kamu dari kota seberang. Siapa namamu, Nak?" tanya Abah sambil melihat tas ransel yang tergeletak di bawah lantai yang berada persis di samping kursi yang diduduki oleh laki-laki yang memiliki nyali cukup besar itu. Abah juga tahu kalau dialek bahasa yang masih kental melekat di setiap ucapan dan tutur kata yang terucap adalah bukan dari warga Bima pada umumnya. Ada dialek yang memang tak bisa dibohongi tentang asal usul dari laki-laki berpostur besar ini.