THE LIGHT OF TEARS

Indy Nurliza Zulfianti
Chapter #3

Pelabuhan Yang Tepat

Jodoh tak akan lari kemana. Karena ia tahu kemana harus bersandar ke pelabuhan yang tepat. Jodoh takkan pernah tertukar, karena Allah sudah mengatur sedemikian indahnya. Hidup itu ditakdirkan untuk berpasang-pasangan, "Dan bahwasanya Dialah yang menciptakan berpasang-pasangan pria dan wanita."(QS an-Najm:45). Seperti sumpit yang takkan pernah bisa digunakan sesuai fungsinya tanpa pasangannya, seperti sendal yang takkan memiliki makna tanpa pasangannya. Memang seperti itulah kodratnya.

Setelah menikah Adam membawa istrinya, Sari, ke Baubau. Mereka mengarungi bahtera rumah tangga di tempat kelahiran Adam. Kebahagiaan selalu menyelimuti pasangan suami-istri ini hingga pelengkap kebahagiaan itu hadir. Empat malaikat kecil hadir di tengah-tengah mereka. Titipan Allah yang paling sempurna. Iman, Zura, Salim panggilan kecilnya La Bau, bukan karena dia bau busuk atau bukan pula karena mereka tinggal di Baubau hingga nama Salim pun ikut-ikutan dipanggil "Bau", namun karena saat dia lahir. Iman memanggilnya adek baru. Saat itu lidah Iman belum nyampe untuk mengucapkan kata "R", maka jadilah nama "Bau" itu melekat pada nama Salim sampai saat ini. Anak ke-4 adalah Dini yang menjadi anak bontot dari pasangan Adam Sari. Dan itu aku. Yah, benar. Aku adalah anak ke-4 dari pasangan yang dari awal sudah ku bahas sejak tadi. Sebagian besar orang Baubau, biasanya menggunakan "La" untuk panggilan anak laki-laki di depan namanya, sedangkan "Wa" untuk panggilan seorang wanita yang diletakkan di depan nama.

Beda usia kami hanya berjarak masing-masing setahun kecuali aku dan Salim selang 2 tahun. Ternyata mamaku subur sekali atau memang bapakku yang pejantan tangguh. Sungguh luar biasa mantap. Kami seperti anak tangga yang disusun secara rapi dengan menggunakan keramik Milan yang begitu indah. Bagaimana tidak, untuk urutan gender saja, urutan kami selang seling, nampak seperti papan catur. Sungguh unik. Waktu terus berputar dan kebahagiaan makin menyelimuti keluarga kami. Sejak kecil kami tinggal di rumah nenek (ibu dari Bapak) hingga usiaku satu tahun. Hampir 5 tahun mama dan bapak tinggal bersama nenek. Sejak awal Bapak dan Mama menikah, mereka sudah nyicil membangun rumah sederhana di daerah Betoambari (nama salah satu jalan yang berada di Kota Baubau). Namun, diusia pernikahan ke 5 tahun Bapak dan Mama baru bisa menyelesaikan pembangunan rumah. Bapak berniat membangun rumah tangganya dengan tinggal di rumah yang dibangun dengan hasil keringat bersama istrinya. Walaupun rumah yang dibangun sederhana, tapi rumah kami penuh cinta.

Rumah yang memiliki 5 kamar tidur sempit. Ruang tamu imut, ruang tengah sealakadarnya, dapur sepetak kecil, ruang makan hanya muat untuk meja makan kecil beserta 5 tempat duduknya yang dikelilingi oleh tembok batako yang belum diplester dengan baik, serta pekarangan rumah yang cukup luas untuk digunakan bermain Tradisional Ase atau permainan yang lebih dikenal dengan nama gobak sodor. Rumah kami berpetak-petak, walau kecil, namun setiap ruangan ada fungsi dan namanya. Ya, ala-ala rumah gedongan gagal total lah, namun di rumah ini menjadi bagian dari saksi kebahagiaan keluarga kecil kami.

Kebahagiaan makin terpancar dan tercurah dalam kehidupan kami. Keluarga yang selalu menghabiskan waktu bersama setelah Bapak dan Mama pulang dari mengajar. Keluarga yang dibangun dengan kerja keras dan cinta. Bapak sosok kepala rumah tangga yang sangat disiplin. Sosok pemimpin yang sangat tegas dalam keluarganya. Sosok yang mencintai wanitanya dengan sangat tulus. Sosok yang mencintai anak-anaknya dengan kesempurnaan. Beliau memang sangat keras kalau sudah menyangkut perkara pendidikan. Namun, ia benar-benar menumpahkan segala kasih sayangnya untuk keluarga kecilnya. Bapak mendidik anak-anaknya untuk selalu menjadi anak yang mandiri, cerdas dan saling tolong menolong.

Saat Iman dan Zura menginjak usia prasekolah SD, Bapak selalu mengajari mereka membaca, berhitung, dan menulis sebelum menginjakkan kaki di bangku SD. Jadi,saat SD ke dua kakakku sudah dibekali ilmu dalam menulis, berhitung, serta membaca. Semua itu tak mudah untuk didapatkan. Tiap hari beliau mengajari anak-anaknya yang akan siap diterjunkan ke bangku SD.

"Apa itu yang kalian nonton, Nak?" Bapak melayangkan tepukan di bahu Iman.

"Doraemon, Pak..." jawabnya.

Minggu pagi, disaat matahari mulai mengeluarkan cahaya teriknya, kami sudah berkumpul di depan TV. Formasi kami lengkap. 4 bersaudara yang selalu bersama-sama. Tontonan yang paling kami gemari saat itu adalah Doraemon. Kartun yang sangat menggemaskan. Dengan kantung dan pintu ajaibnya, semua hidup seakan terasa mudah. Nobita benar-benar beruntung memiliki Doraemon. Apapun yang diinginkan bisa dengan mudah didapat. Semua bisa diraih melalui kantung ajaib. Tapi, jangan terlalu bermimpi. Di dunia nyata, itu takkan pernah terjadi. Ini cuman skenario kartun. Hanya fiksi belaka. Jika kau ingin mendapatkan sesuatu, bekerja keraslah dengan sungguh-sungguh, karena usahamu tidak akan pernah menghianati hasil. Jika kerikil maupun batu besar menghalangi jalanmu, jangan pernah berfikir untuk mundur. Tapi, tetaplah berfikir kalau halangan itu hanyalah udara yang bisa kau tembus. Terus langkahkan kakimu. Jangan pernah mundur walau selangkah. Itu pesan bapakku yang seakan menampar keras kami untuk selalu berupaya dan bersungguh-sungguh dalam menjemput nikmat-Nya.

Layar TV hitam putih Merk Lincoln 20inc sudah cukup bikin kami senang seperti sedang nonton bioskop beralaskan semen berkarpet plastik motif kotak-kotak.

"Kalau sudah selesai, nanti Wa Zura dengan La Iman, mulai belajar sama Bapak, ya... Bapak sudah siapkan papan tulis sama meja kecil kalian di depan. Bapak tunggu di ruang tamu," Bapak bergegas meninggalkan kami yang sedang asyik menonton.

"La..la...la... aku sayang sekali... Doraemon..."

Lagu penutup kartun robot kucing yang datang dari abad ke-22 yang sangat suka dengan makanan Dorayaki itu membubarkan kami.

"Kira-kira kita mau diajarin apa, ya?" tanya Zura ke Iman. Mereka seraya berbisik dengan suara yang sangat amat pelan, seakan-akan ada pengintai yang ingin mendengar percakapan mereka. 2 sampai 3 menit, mereka masih tetap menduga-duga apa yang ingin diajarkan bapak untuk ke-2 anaknya itu.

"Iman... Zura... sudah belum nontonnya? Ayoo, ke sini," terdengar suara laki-laki yang mewariskan rambut lepeknya ke Salim, anak ke-3 nya.

Zura dan Iman berlari kecil menghampiri Bapak. Mereka mengambil formasi baru. Pagi itu jadwal kegitan mereka mulai diatur, mulai padat merayap. Jadwal mereka tak kalah dengan jadwal para petinggi negara, tak kalah pula dengan para penyanyi yang sedang melakukan persiapan latihan vokal untuk mengadakan konser tunggal. Diusia mereka yang masih duduk di bangku TK, mereka sudah memiliki jadwal yang harus dipatuhi. Kini waktunya mereka berkonsentrasi dengan angka dan huruf. Hari pertama mereka akan diajarkan membaca. Di meja kecil yang terbuat dari kayu lapuk itu, sudah ada buku dan pensil yang telah diruncing tajam seperti jarum milik mama yang sering digunakan saat menjahit baju kami yang sobek. Kini juga sudah tertata rapi papan tulis hitam kecil berukuran 60cmx90cm yang berada persis di depan 2 anak bersaudara itu.

"Kalau begitu sekarang kita mulai belajar, ya.. kita belajar pelan-pelan saja. Yang penting, sebelum masuk SD, kalian harus sudah bisa baca, nulis, dan menghitung, Bapak ingin kalian sudah siap nantinya untuk dilepas ke bangku sekolah. Ini khusus untuk La Iman yang sebentar lagi akan masuk SD. Kalo Wa Zura, ikuti saja untuk bekal ilmunya juga. Angka dan huruf sudah kalian kenali, kan? " Bapak mulai menggebu-gebu..

Lihat selengkapnya