THE LIGHT OF TEARS

Indy Nurliza Zulfianti
Chapter #4

Batu Karang Batulo

Hari pertama Salim sekolah berjalan dengan baik. Ia bisa menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Salim termasuk murid yang cerdas di dalam kelasnya karena sudah bisa membaca, menghitung, dan menulis walaupun belum begitu lancar. Namun, untuk ukuran anak yang baru menyicipi bangku sekolah, itu sudah jauh dari kata biasa. Kini setiap ke sekolah, ia berbarengan bersama kakakku, Iman dan Zura. Saat itu usiaku masih 5 tahun.

Setiap libur sekolah tiba, kami selalu mengunjungi rumah nenek dan rumah tante (adik dari Bapak) di Batulo (salah satu nama jalan di Kota Baubau) yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah nenek, namun sedikit jauh dari rumah kami. Jarak Betoambari ke Batulo ± 7,5km. Saat ke rumah tante, kami selalu bermain bersama para sepupu yang usianya tidak berbeda jauh dari kami. Jarak rumah Tante ke rumah Nenek hanya butuh 5 menit dengan berjalan kaki.

Tempat bermain favorit yang sering kami kunjungi adalah laut yang berada tepat di belakang rumah tanteku. Kira-kira berkisar 100 meter jarak antara laut dan rumah beliau. Laut batulo sangat jernih, dengan batu karang yang menjulang dari permukaan pesisir laut bisa kami nikmati. Panorama alam yang begitu sempurna membuat mata kami tidak henti-hentinya menatap dengan penuh senyuman, dengan pancaran alam yang begitu indah membuat kami sangat betah berlama-lama main di laut. Laut ini memang sepi, tak seramai pantai wisata lainnya. Walaupun demikian, kami selalu sabar menanti hingga air mulai surut, agar kami bisa turun ketepian laut. Bermain air. Kami seperti menemukan kebahagiaan dari setiap butir air yang menyentuh manja kulit kami. Pinggiran Laut Batulo memang sering dijadikan sebagai tempat bersandarnya perahu-perahu para nelayan. Namun, walaupun demikian, laut ini sangat bersih dan tidak mengurangi keindahannya. Para nelayan selalu menjaga kebersihan pesisir laut ini, karena laut sudah menjadi tempat mereka mencari nafkah untuk makan sehari-hari. Kota Baubau mempunyai wilayah daratan seluas 221,00 km² serta luas laut yang mencapai 30 km² hingga potensial untuk pengembangan sarana dan prasarana transportasi laut.

Kebiasaan kami selain mandi di laut, kami pun sering memancing. Membawa jala istilah yang kami pakai untuk menyebut jaring-jaring kecil untuk menangkap ikan sering kami siapkan terlebih dahulu sebelum bermain. Saat air laut mulai surut, kami baru bisa beraksi. Biasanya air mulai surut sekitar jam setengah 4 sore. Pasang surut air laut terjadi karena adanya pergerakan naik atau turunnya posisi permukaan perairan laut secara berkala yang disebabkan oleh gaya gravitasi dan gaya tarik menarik benda astronomi oleh matahari.

Disaat air sudah mulai surut, kami dengan sigap lari ketepian laut. Rutinitas yang kami lakukan berbeda-beda. Ada yang mencari keong di pinggiran laut, ada yang menebarkan jalanya untuk menangkap ikan, adapula yang bermain dengan pasir laut yang memiliki banyak batu karang. Melihat pemandangan laut yang sangat indah, hanya dengan berjalan ke belakang rumah Tante, kaki kami sudah bisa menapaki pasir putih dan kami bisa memanjakan mata untuk menikmati indahnya panorama alam laut yang sangat luar biasa itu. Sungguh indah ciptaan Allah, "Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS ar-Rahman: 55)

Laut yang menjadi tempat kami bermain memiliki banyak batu karang serta sisa-sisa besi berkarat yang tertinggal dan sudah tak berbentuk lagi. Entah berapa usia peninggalan besi berkarat yang kini telah menjadi rongsokan tak berfungsi. Sebenarnya apa yang sudah pernah terjadi di sini. Laut ini seakan menjadi saksi bisu kejadian dimasa lampau.

Siang menjelang sore kala itu laut sedang surut. Aku, ketiga kakakku, Salim, Iman, dan Zura serta ketiga sepupuku, Mane, Eka, dan Ape memutuskan untuk bermain di laut belakang rumah mereka. Mengumpulkan keong-keong dan kerang, memilah batu yang unik seperti batu kerikil, menangkap ikan dengan jala yang sudah kami siapkan menjadi aktivitas yang sangat tidak membosankan. Mengguyur badan kami dengan air laut, berlari-lari di tepian laut hingga batu karang yang keras dan sedikit tajam itu sudah tak berasa di kaki kami.

Sibuk dengan main air, mencari keong untuk dijadikan permainan "Pekatende" semacam permainan bola bekel serta mencari kerang, mencari batu-batu unik, dan menangkap ikan membuat kami terhanyut dengan permainan kami. Satu persatu kami mulai berpencar mencari kesenangan masing-masing. Saking sibuknya, hingga kami tak memperhatikan satu sama lain. Tak terkecuali Salim yang lagi berjalan menuju besi berkarat nan tajam yang sudah tak karuan bentuknya. Entah apa yang dicari Salim sehingga mendekati besi tua itu. Anak ini memang selalu penasaran dengan apapun yang dilihatnya. Ia mendekati dan tanpa ia sadari betisnya robek terkena besi tua karatan yang bertengger di sebelah perahu para nelayan. Darah bercucuran deras. Luka robekan sekitar 3cm. Salim yang belum sadar akan hal itu, menunduk ke bawah kakinya dan melihat cucuran darah sudah mengalir deras di betisnya. Kami semua panik melihat kejadian itu. Rasa tegang tiba-tiba menggetarkan dada kami. Ketakutan menghantui pikiran kami melihat darah yang tidak berhenti keluar dari betis Salim. Warna merah jernih seperti pewarna kesumba (Kesumba merupakan tanaman perdu yang dikenal sebagai penghasil pigmen merah (bixin) dan penghasil norbixin atau pewarna alami untuk makanan dan kosmetik) yang sering kami gunakan untuk mewarnai baju. Salim dengan tenang dan santainya tidak mengeluh sama sekali. Seakan-akan hanya rekayasa belaka yang dibuatnya agar kami semua panik.

"Kakimu berdarah. Kena apa itu, Bau?" sapa kakakku, Iman dengan paniknya.

"Da kena besi itu kayanya. Tapi, tidak sakit, kok. Tenang saja." da = "dia" yang ditujukan pada betisnya." jawabnya santai sambil menunjuk besi yang ada di belakangnya. Salim mencuci betisnya yang penuh darah dengan air laut.

Kami yang melihat kejadian itu seakan tersihir. Kami berhenti bermain dan langsung buru-buru menuju kerumah nenek. Dengan baju basah yang masih melekat di badan, sepanjang jalan dari laut ke rumah nenek, aku, Iman, dan Zura ketakutan, namun Salim malah hanya tersenyum seakan tak terjadi apa-apa padanya. Kami mempercepat gerakan kaki untuk melangkah. Cucuran darah yang mengalir dari betis Salim tak kunjung berhenti. Untuk sampai ke rumah Nenek, kami harus melewati hutan kecil yang jaraknya sepanjang 150meter. Hutan kecil ini memang sedikit rada angker bagi kami. Bagaimana tidak, tiap kami melewatinya, kami selalu dibuat merinding sebab harus melihat biji-biji merah berbintik hitam mengkilat licin yang bertebaran di bawah tanah. Kami menyebutnya biji mata setan. Pohon saga penghasil biji yang menyeramkan untuk kami, tertancap dengan sangat kokoh.

Pada era 1990-an mata setan ini sangat tenar kisahnya di kalangan kami. Saat kami kecil, biji mata setan ini konon adalah mata setan yang berjatuhan di hutan yang biasa kami lalui. Setan semacam drakula yang katanya memangsa anak bayi dan janin yang masih dalam kandungan. Sadis sekali. Jadi, saat isu tak berdasar itu muncul ke permukaan, banyak ibu-ibu hamil dan ibu yang baru melahirkan, menggantungkan bawang putih ke baju mereka dan baju bayinya. Mereka berkeyakinan bahwa dengan bawang putih akan mengusir setan jahat yang mengganggu.

Kami terus berjalan beriringan. Kami sudah tidak peduli dengan hutan yang kami lalui di sepanjang jalan. Kami hanya fokus pada luka betis Salim. Kami tak pernah membayangkan kemarahan Bapak pada kami nantinya. Kami sangat tau persis kalau di antara kami ada yang terluka, suara oktaf Bapak sudah pasti menggelegar di dalam rumah detik itu juga.

"Sudah, santai saja Mi jalannya. Capek saya ikut gerakan kalian," kata Salim yang mulai ngos-ngosan mengikuti langkah kami yang makin cepat seakan sedang berlomba untuk jalan cepat. Darah Salim mulai membuat jejak di sepanjang jalan kami. "Mi= kata tambahan sebagai penghias kalimat, biasanya terletak di belakang kata. Tak memiliki makna yang berarti."

"Santai... santai... santai!!! Bagaimana bisa santai. Ko tidak liatkah itu darah kakimu tidak berhenti-henti. Sudah kaya pancoran keran," kata Zura yang menarik tangan Salim agar tak berhenti berjalan.

"Tenang saja. Tidak sakit ini. Saya saja heran kenapa berdarah, padahal tidak sakit sama sekali. Serius saya ini! Tidak bohong. Sebentar, kita berhenti dulu! Mungkin tadi itu ada cat warna merah di besinya itu," kata Salim dengan wajah serius yang tiba-tiba menghentikan langkahnya.

"Kau serius itu, Bau?" langkah kaki Iman pun terhenti. Ternyata ia juga penasaran. Kami berempat pun berhenti sejenak.

"Seriuslah saya. Sebentar saya raba dulu. Ada lukanya apa tidak," kata Salim yang tangannya mulai meraba luka di betisnya. "Aduuuhhh!" Salim menarik tangannya, seperti terkena setruman listrik.

Lihat selengkapnya