THE LIGHT OF TEARS

Indy Nurliza Zulfianti
Chapter #5

Kesuraman Mulai Berhembus

Hari demi hari perubahan sangat terasa dalam keluarga kami. Suasana senyap kian menyapa rumah yang biasa dihiasi dengan canda tawa. Bapak mulai tidak bersemangat saat kumpul bersama kami. Tidak seceria seperti dulu. Beliau lebih sering diam dan mengurung diri di kamar. Mamapun selalu termenung seakan-akan banyak beban pikiran yang sedang dipikulnya.

"Tidak ada apa-apa. Tidak usah dipikirkan. Kalian fokus belajar saja," itulah jawaban Mama dari setiap pertanyaan yang kami lontarkan saat menanyakan kondisi perubahan yang mulai tidak mengasyikkan itu.

Sangat jelas terlihat kepalsuan maupun kepura-puraan yang diperankan Mama dan Bapak. Mereka selalu bilang tak terjadi apa-apa, namun kenyataannya menjawab bahwa sudah terjadi apa-apa di rumah kami. Namun, kami tak tahu. Ada apa dengan ini semua?

Setiap hari kami jalani aktivitas seperti biasa, walau perubahan telah begitu sangat mengganggu, namun kami tidak ingin terlalu memikirkannya. Kami jalani seakan-akan tidak ada yang berubah pada kondisi keadaan keluargaku. Seperti biasa rutinitas pagi Mama dan Bapak pergi mengajar dan ketiga kakakku ke sekolah.

Kini usiaku sudah 5 setengah tahun. Aku sudah dimasukkan TK oleh Bapak. 6 bulan lagi harusnya aku sudah bisa mengubah statusku menjadi pelajar SD. Hari itu aku pergi ke TK Mutiara. Aku sudah tak diantar untuk ke TK Mutiara yang lokasinya dekat dari rumah kami, sebab aku sudah bisa menopang kakiku sendiri walau tanpa pengawasan. Aku tahu kesibukan orangtuaku. Kami di didik untuk mandiri sejak kecil.

Seperti biasa, aku yang selalu pulang lebih awal dari pada ke-3 kakakku. Aku pulang jam 10 pagi. Mama selalu menaruh kunci di tempat persembunyiannya. Di bawah pot bunga matahari, dekat dengan pintu ruang tamu. Jadi, saat aku pulang aku bisa langsung masuk rumah. Jika sudah berada sendirian dalam rumah, aku tidak berani membuka pintu. Ada rasa cemas dan was-was jika sendirian di dalam rumah. Entahlah, aku terlalu parno dengan pikiranku sendiri.

Berharap tidak ada tamu yang datang, berharap tidak ada seorangpun yang tak kukenali mengetuk pintu rumahku, sebelum kakakku dan orangtuaku datang. Waktu terus berjalan. Pukul 12.15 berdetak. Kecemasanku pun berakhir setelah ketiga kakakku pulang berbarengan. 10 menit kemudian disusul Mama yang pulang. Tidak biasanya Mama pulang cepat. Biasanya mama pulang jam 1 siang. Namun, hari ini entah kenapa lebih cepat dari biasanya. Keanehan mulai terjadi lagi setelah Mama pulang dengan muka yang cemas dan langsung menyuruh kami siap-siap ganti baju untuk ke rumah Nenek.

"Mama dan Bapak ada urusan di Kendari. Kalian Mama tinggal di rumah Nenek dulu. Besok kalian tidak usah sekolah dulu," kata Mama yang sedang membereskan pakaian kami ke dalam 1 tas. Mama terlihat sangat tergesa-gesa, seperti ada orang yang memburunya.

"Ada apa ini, Mama? Masa kita tidak masuk sekolah besok? Kan tidak boleh bolos. Bukankah itu pesanmu, Ma?" Salim menyambar perkataan Mama dengan menekukkan wajahnya sambil melipat kedua lengannya ke dada. Mama tetap tak mengindahkan omongan Salim. Ia tetap membereskan pakaian kami dan memasukkannya ke dalam 1 tas. Ada kepanikan di wajah Mama yang berusaha ditutup-tutupi dari kami. Iman menawarkan diri untuk menjaga kami di rumah tanpa harus pergi ke rumah Nenek. Zura pun demikian. Ia berusaha merayu Mama agar kami di rumah saja. Mereka masih banyak PR yang harus dikumpulkan besok. Namun, Mama berjanji akan meminta izin ke guru-guru mereka sehingga mereka tak perlu risau lagi.

"Ikutin saja perintah Mama. Selama Mama di luar kota sama Bapak, kalian tetap di rumah Nenek. Kalian tenang saja. Nanti Mama hubungi guru sekolahmu," Mama berusaha memberikan penjelasan kepada kami. Kebetulan besok adalah hari Sabtu dan Minggunya kami libur.

Kami pun mengangguk dengan wajah yang murung. Kami berusaha memahami keadaan yang terjadi. Namun, kami tak bisa berpura-pura kalau kami memang tak tau apa-apa dengan keadaan rumah kami yang sudah tidak asyik itu. Kami masih sangat belia. Jadi, otak kami belum nyampe untuk menduga-duga hal buruk apa yang telah terjadi. Setelah membereskan pakaian, rumah dikunci dan kami menaiki angkot yang mengarah ke rumah Nenek. Sesampainya di rumah Nenek, kami langsung menyerobot masuk kegirangan. Kebetulan pintu rumah Nenek kala itu terbuka lebar sehingga tanpa harus membuka pintu lagi kami bisa masuk dengan sangat leluasa. Anak kecil seperti kami memang sangat cepat merubah mood menjadi ceria kembali.

"Assalamualaikum," salam kami kompak memasuki rumah Nenek sambil berlarian.

"Nenek, kami datang," kata Salim yang mencari-cari nenek di kamarnya.

Nenek tinggal seorang diri setelah kakek kami tiada. Namun, setiap seminggu sekali kami mengunjunginya. Yang paling sering mengunjungi Nenek adalah tanteku serta anak-anaknya karena rumah mereka berdekatan. Walau usia nenek sudah menginjak angka 68 tahun, namun Nenek tak ingin tinggal di rumah anak-anaknya, karena dia merasa nyaman jika tinggal di rumahnya sendiri.

Nenek masih sangat kuat beraktifitas dan hobi masak. Jadi, saat kami ke rumahnya, Nenek selalu menyediakan makanan untuk kami cucunya. Nenek mengambil dua piring enamel ukuran besar (piring kaleng tebal berdiameter 26 cm yang dihiasi dengan gambar bunga berwarna orange) untuk kami. Piring ini paling aman untuk kami. Walau jatuh puluhan kali tak akan pecah. Palingan peot seperti wajah nenekku, namun sisa kecantikannya masa mudanya tetap tertinggal walau sedikit. Piring enamel ini jika sudah jatuh bunyinya sangat menggelegar hingga 1 rumah bisa bangun karena suara nyaringnya. Gelaspun demikian adanya. Semua terbuat dari kaleng tebal. Nenek memang suka benda-benda antik ini berada menghiasi rumahnya. Padahal, saat itu piring dan gelas kaca sudah masuk ke daerah kami. Entahlah kenapa orang tua zaman dulu masih saja mengoleksi barang-barang antik seperti itu. Seperti biasa, Nenek menyediakan dua piring yang akan kami gunakan berempat. Satu piring dipakai berdua. Biasanya aku dan Zura satu piring, Salim dan Iman satu piring. Ini tradisi atau memang nenekku tak ingin mengeluarkan piringnya yang lain karena takut musnah di tangan kami. Sampai saat ini pun aku tak pernah tahu jawabannya. Saat kami sedang menikmati santapan masakan Nenek, Mama dan Nenek masuk dalam kamar dengan tergesa-gesa. Entah apa yang sedang mereka bicarakan. Sepertinya masalah besar yang kami tidak boleh tahu. "Urusan orang dewasa," demikianlah pikiranku saat itu. Tak ingin menduga-duga, aku dan ke tiga kakakku pun terus menyantap makanan yang ada di depan mata. Ada ikan pindang, sayur lode, nasi, dan sambal bikinan Nenek yang enaknya bikin ketagihan.

Mama dan Nenek keluar dari kamar dengan muka cemas dan sembab. Tidak ingin membuat kami makin banyak bertanya, Mama pun menebarkan senyumannya untuk kami yang telah selesai makan. Lagi-lagi senyum yang sangat bisa tertebak. Senyum kepura-puraan Mama.

"Kami memang masih anak kecil, tapi kami mengenalmu, Mama. Kami tahu raut wajah sedih dan bahagiamu," ujarku dalam hati.

"Kalian baik-baik di sini, ya. Jangan nakal. Jangan bikin repot nenekmu. Nanti sore Mama balik ke sini lagi, sebelum Mama berangkat ke luar kota sama bapakmu," kata mamaku seperti ada gumpalan rahasia besar yang disembunyikan dari kami.

"Iya, Mama," jawab Zura diiringi sahutan "iya" oleh kami bertiga.

Nenek pun mengunci pintu rumah agar kami tidak main keluar. Nenek memang sangat takut kalau kami ke Laut Batulo lagi dan mengulang kejadian yang pernah menimpa Salim. Nenek mengunci pintu rumah dan masuk kamar. Sepertinya Nenek akan tidur karena tidak ada suara apapun yang terdengar dari dalam kamarnya.

***

Kejenuhan dan rasa bosan menghampiri. Kami yang biasanya berkeliaran bermain, kini tembok rumah menjadi penghalang terbesar kami. Bagai burung dalam sangkar. Itulah istilah yang tepat untuk kami kala itu. Memutar otak, mencari jalan keluar dari semua kegalauan kami. Salim tidak kehabisan akal untuk menghabiskan waktu di dalam kejenuhan yang menyerang.

"Kita ini tidak bisa keluar dari rumah untuk main di laut. Bagaimana kalau kita buat kolam renang saja di dalam kamar mandi? Kalian maukah? Nanti kita kerja sama," tiba-tiba muncul ide dari kakak ketigaku itu. Entah ini ide cemerlang atau ide yang akan menjerumuskan kami lagi kedalam masalah. Ide sedikit bereksperimen yang ditawarkan kepada kami. Ide gila kocak yang muncul dalam pikiran anak usia 7 setengah tahun itu. Aku akui, ia emang punya berbagai macam cara untuk membuat rasa nyamannya timbul.

"Ah, kau ini ada-ada saja e. Bagaimana bisa kau buat kolam renang di kamar mandi? Bisa putus urat nadimu kalau sampe ketahuan Nenek," jawab Iman, yang berpikiran kalau adiknya ini mulai mengada-ngada.

"Aiiihhh... kau ini benar-benar tidak keren sama sekali. Masa kau ragukan kemampuanku. Kau tidak taukah kalau saya dewasa nanti, saya bisa jadi professor?" Salim nyengir membanggakan dirinya.

"Masalah Nenek, itu bisa diatur. Yang penting kalian bisa jaga rahasia besar kita ini! Bagaimana? Setujukah?" Salim masih menunggu persetujuan kami.

"Tidak usah banyak tingkahmu, Bau e.. Ko tidak dengarkah tadi Mama bilang apa? Jangan nakal!" sahut Zura.

"Ini lagi mi satu perempuan yang tidak bisa bedakan nakal sama mau hilangkan suntuk. Kau ikuti saja makanya cara permainanku. Biar otakmu pintar sedikit," jawab Salim yang tetap berharap ada salah satu di antara kami yang mengikuti tingkah konyolnya itu.

Zura, Iman, dan aku terdiam. Kami berpikir sejenak. Apa harus kami ikuti ide aneh dari Salim? Jika kami hanya berdiam diri,kejenuhan ini tak akan hilang bila kami tak segera meniadakannya. Kami tentu tak ingin menjadi mayat hidup di rumah Nenek.

"Eh... Bontot..." panggilan Salim padaku.

"Siapa yang kau panggil?" tanyaku menoleh kanan kini. Namun, tak ada yang merasa namanya Bontot.

Lihat selengkapnya