THE LIGHT OF TEARS

Indy Nurliza Zulfianti
Chapter #6

Takdir yang Harus Diterima

Aku bocah polos yang belum banyak mengerti tentang perjalanan kehidupan. Usiaku hampir menginjak 6 tahun. Belum cukup pandai untuk mencerna setiap perkataan dan apa yang aku saksikan dengan mataku dengan tepat. Beda dengan Iman yang sudah mulai paham. Begitu juga Zura dan Salim. Mereka memang masih kecil, tapi setidaknya mereka lebih paham membaca keadaan dibanding aku. Nenek yang mulai menetralkan keadaan pun masih tidak bisa menyembunyikan rasa khwatirnya akan kondisi bapak. Dan mulai malam itulah kami semua baru tau kalau Bapak sakit keras. Penyakit yang sudah hampir 5 tahun ini bersarang di tubuh Bapak.

Ternyata disaat usiaku akan menginjak 1 tahun, Bapak sudah mulai sakit-sakitan. Namun, kami tidak pernah diberitahu tentang kondisi kesehatan Bapak yang sebenarnya. Mama dan Bapak sengaja tidak ingin memberi tahu kami agar kami tidak ikutan sedih.

Bapak dan Mama hanya ingin melihat senyum di wajah kami. Mereka hanya ingin kami fokus sekolah dan belajar. Tidak boleh memikirkan beban yang belum pantas dipikirkan untuk anak seusia kami. Pantas saja belakangan ini Bapak dan Mama seperti menyembunyikan rahasia besar. Dan ternyata itu adalah penyakit Bapak.

Terbongkar sudah rahasia besar dimalam itu. Satu tahun belakangan ini memang kondisi keceriaan di rumah kami memang sudah sedikit berubah. Namun, setelah Bapak mulai akrab dengan RS, perubahan itu makin sangat kental. Canda tawa di rumah seakan lenyap. Keluar masuk RS dan kontrol ke dokter merupakan rutinitas yang dijalani Bapak selama sakit. Hampir 4 hari bapakku dirawat di RS setelah keadaan kritis beliau malam itu. Kemudian keluar dan dirawat di rumah karena keadaaan Bapak yang mulai baikan. Bapak mulai ceria lagi walau tidak seceria biasanya.

Pagi itu Bapak bangun setelah kumandang azan Subuh. Seperti biasa, Bapak membangunkan Mama untuk sholat bersama. Kebetulan pagi itu adalah hari Minggu dan aku sudah bangun. Kamarku memang berseberangan dengan kamar orangtuaku. Subuh itu kulihat cahaya lampu keluar dari sela rongga pintu kamar mereka. Sangat kontras karena ruangan yang lain masih senyap. Pintu kamar pengantin 10 tahun silam itu tak tertutup rapat. Terdengar dari celah pintu suara Mama dan Bapak setelah melaksanakan sholat Subuh. Aku mengintip menyorot mataku. Terlihat Mama masih menggunakan mukena katun berwarna putih bercorak bunga tenunan dan Bapak menggunakan baju koko putih kesayangannya. Baju yang warnanya kini sudah sedikit berubah menjadi warna kekuningan. Mungkin karena sudah sering bercengkrama dengan sabun dan air.

"Maaf, sayang, untuk waktumu yang terbuang demi saya," tiba-tiba Bapak mengungkapkan itu setelah sholat Subuh berjamaah dengan Mama.

"Apa yang kau bicarakan, Pak? Saya adalah istrimu. Kewajibanku tidak lain adalah melayani segala keperluanmu," kata Mama yang menjelaskan kodratnya.

"Iya, saya paham. Namun, saya sudah mengingkari janjiku sendiri untuk bisa membahagiakanmu. Saya mengkhitbahmu pada Abah dan berjanji karena keyakinanku bahwa saya mampu membahagiakanmu. Kamu menikah denganku, namun kamu menghabiskan waktumu bertahun-tahun hanya untuk mengurusi sakitku. Maafkan untuk janji yang tak bisa kutepati," mata Bapak mulai berkaca-kaca saat mengutarakan itu.

"Saya tidak pernah merasa kalau waktuku terbuang sia-sia denganmu, Pa. Apa yang sudah kau lakukan untukku juga anak-anak adalah kebahagiaan yang takkan pernah tergantikan oleh apapun." Mama mulai menatap dalam wajah suaminya itu.

"Bapak sudah membahagiakanku juga anak-anak dan sudah saatnya saya melakukan tugasku sebagai istrimu. Saya menikah denganmu bukan semata-mata hanya karena cintaku padamu. Namun, karena restu orangtua dan Allah ada bersamaku. Bisa saja disaat setelah menikah denganmu, rasa cintaku pudar. Namun, sudah kukatakan dari awal, restu dan doa orangtuaku akan selalu menjaga cintaku untukmu dan Allah mengokohkan hatiku untuk tetap memilihmu menjadi imamku. Restu Allah akan selalu menerangi hatiku untuk selalu mengingat kodratku sebagai istrimu," kata Mama, kekasih laki-laki yang kini tak sebugar dulu. Mama berusaha menguatkan hatinya. Ia menahan agar tak menangis.

"Terimakasih, sayang. Nikmat terbesar yang Allah berikan padaku adalah memilihmu menjadi pendamping hidupku. Jika Allah memanggilku dalam waktu dekat ini, tolong jaga anak-anak kita. Jangan pernah larut dalam kesedihan atas kepergianku. Tenanglah, Allah akan menjaga kalian lebih dari penjagaanku padamu," Bapak tersenyum namun matanya seakan penuh dengan genangan air mata. Ia tetap tak bisa menahan rasa harunya.

"Bawalah anak-anak kita pada kesuksesan yang telah mereka pilih. Jadikan mereka sebagai manusia yang berguna untuk orang lain. Tolong ingatkanlah mereka saat mereka dewasa nanti bahwa Bapaknya selalu mencintai mereka. Walau saya tak di samping kalian lagi, percayalah bahwa saya akan selalu ada di hati kalian," kata Bapak yang mulai terbata-bata saat bicara. Ia tetap nampak menahan air mata yang sudah ingin tumpah.

"Apa yang Bapak bicarakan? Yakinlah, Pa... Bapak akan sembuh! Bapak pasti sembuh. Doaku dan juga anak-anak akan selalu terucap untuk kesembuhanmu, Pa. Saya mohon, berjuanglah untuk sembuh demi kami," linangan air mata Mama menetes membasahi mukena yang dikenakannya. Mama menunduk sambil berderai airmata. Bapak memeluk erat istri yang dicintainya itu.

"Saya akan selalu berjuang, sayang. Namun, takdir Allah tidak akan pernah bisa diubah. Kita serahkan saja semuanya pada Allah. Namun, ingatlah bahwa sampai detik ini saya masih berjuang untuk sembuh walau dokterpun mungkin sudah hampir menyerah dengan penyakitku ini," kata Bapak berusaha menenangkan Mama. Bapak pun tak bisa menahan air matanya yang kini sudah tumpah ruah.

"Tetaplah bersama kami, Pa... Saya ingin menyaksikan buah hati kita tumbuh dan menjadi orang sukses nantinya denganmu. Hanya denganmu..." Mama tidak henti-hentinya menangis dalam pelukan suaminya.

"Iya, Sayang. Inshaa Allah. Semoga Allah pun meridhoinya. Berjanjilah untuk tidak menangisiku lagi. Saya hanya ingin melihat senyumanmu, juga anak-anak. Saya tahu, anak-anak kita pasti sudah tahu bagaimana kondisi kesehatan Bapaknya ini. Mereka pasti terguncang. Namun, saya tidak ingin melihat jiwa mereka rapuh karena melihat orangtuanya yang selalu sedih," Bapak melepas pelukannya dan menatap mata Mama dalam-dalam sambil menghapus air mata istrinya.

"Berjanjilah mulai hari ini, kita akan kembalikan suasana rumah kita lagi dengan kebahagiaan seperti dulu. Tidak ada tangisan kecuali kebahagiaan," Bapak memegang kedua lengan istrinya sambil tersenyum. Seperti ada amanat yang sangat berat yang dipesankan untuk Mama. Mamapun hanya mengangguk. Mengiyakan ucapan Bapak namun sudah tak mampu untuk bersua.

"Jangan menangis lagi, peri indahku. Air mata itu rasanya asin. Tidak enak untuk dirasakan. Karena hanya teh asinmu yang bikin saya makin mencintaimu," Bapak tersenyum sambil menghapus kembali air mata istrinya. Berusaha menggoda agar istrinya bisa tersenyum kembali. Mama pun menepuk manja lengan Bapak sambil tersenyum.

Lihat selengkapnya