THE LIGHT OF TEARS

Indy Nurliza Zulfianti
Chapter #7

Hujan Membawa Arti Ketulusan

Usiaku tepat memasuki angka 6 tahun. Angka 6 itu bisa kugambarkan seperti seorang ibu yang sedang mengayun bayi di lengannya sambil setengah menunduk. Menemui usia 6 tahun harusnya aku sudah dapat menginjakkan kaki di bangku SD. Namun, karena keluarga sedang berduka, Mama sampai lupa mendaftarkan namaku ke SD Negeri tempat ke-3 kakakku bersekolah. Syukur saja tanteku, adik dari Bapak membantu proses pendaftaran namaku. Akhirnya, bisa bersekolah seperti anak lainnya, menjadi kebahagiaan tersendiri untukku. Menginjakkan kaki di bangku sekolah adalah impianku sejak dulu. Walau tidak sehebat dan sepintar kakakku yang sebelum masuk sekolah sudah bisa membaca, menghitung dan, menulis, aku tidak merasa minder.

Aku memang telat membaca dan menulis karena sebelumnya tidak pernah diajari oleh Bapak. Berbeda dengan ketiga kakakku. Mereka sudah bisa membaca, menghitung, dan menulis sebelum masuk sekolah karena sempat mendapat didikan dari Bapak sebelum Almarhum menghembuskan nafas terakhirnya. Aku tidak bisa seperti kakakku yang mendapat banyak bekal ilmu sebelum masuk sekolah karena Bapak sudah sakit parah dan sering dirawat di RS. Tidak sempat mencicipi ilmu yang diberikannya, belum sempat merasakan les private yang diajarkan Bapak seperti ketiga kakakku. Ternyata saat aku diantarkan pertama kali ke TK bersama Bapak, itu adalah saat pertama dan terakhir Bapak membawaku untuk belajar menggapai cita-citaku kelak. Aku berharap bisa didaftarkan SD oleh Bapak dan ternyata itu tidak mungkin lagi terjadi, karena Bapak meninggalkanku sebelum aku bisa duduk di bangku SD. Walau singkat pertemuan kami, namun ia akan selalu hidup dalam hatiku.

Senin pagi di tahun 1995. Aku resmi menjadi bagian dari SD Negeri 1 Lamangga. Hari pertamaku masuk sekolah dan menjadi siswi. Dengan bangganya memikul titel sebagai seorang murid di salah satu SD Negeri di Baubau. Hari yang selalu aku rindukan dan aku nantikan sebagai seorang anak yang memiliki angan untuk menimbah ilmu di sekolah. Hari-hari kujalani penuh kobaran semangat layaknya sang pahlawan yang rela berkorban untuk bangsa dan negaranya demi mempertahankan kemerdekaan. Semangat 45 yang aku tanamkan dalam jiwaku untuk mencari ilmu di tempat anak-anak seusiaku berkumpul dalam satu kelas dengan tujuan yang sama.

Pagi itu aku diantar Mama ke sekolah.Pertama kali kuinjakkan kakiku di bangunan sekolah yang lumayan cukup tua di kawasan Betoambari, Kota Baubau, Sulawesi Tenggara. Sekolah yang memiliki 6 ruang kelas, 1 ruang guru, 1 gudang, dan 2 toilet yang baunya menyengat sekali, lebih dari sekedar bau amis. Sekolah yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku itu memakan waktu beberapa menit dengan berjalan kaki. Kupandangi tiap sisi bangunan yang tidak memiliki pohon sama sekali di sekitar sekolah itu. Keadaan yang cukup gersang membuat bangunan itu sangat panas ketika matahari mulai memancarkan cahaya teriknya. Tidak bisa berlindung di rindangan pepohonan. Tidak bisa merasakan dinginnya angin sepoi-sepoi yang meniupkan ke sekujur tubuh. Tapi walau keadaan seperti itu, tidak menurunkan semangatku untuk tetap berjuang bersaing dengan anak-anak yang lain dalam meraih ilmu. "Penghargaan terbaik bagi manusia adalah ilmu yang bermanfaat," kata Almarhum bapakku demikian.

Hari pertama di sekolah kujalani dengan sangat baik dan penuh keceriaan. Banyak bertemu teman-teman baru yang kala itu belum kukenali namanya satu per satu. Hari keduapun demikian. Berjalan dengan sangat baik. Namun, sangat berbeda dengan hari ketiga. Hari itu kami disambut hujan deras. Pagi sudah menyambut, namun sinar mentari belum kunjung menampakkan dirinya. Pagi itu hanya ada gemuruh guntur, angin kencang, serta awan yang menghitam. Hujan tak kunjung reda. Menunggu sampai pukul 06.50, namun hujan masih tetap sangat nyaman membasahi bumi. Aku tidak ingin hujan menjadi penghalangku untuk tidak bersekolah hari itu. Aku dan ketiga kakakku sudah siap berseragam lengkap untuk ke sekolah. Bingung harus bagaimana. Kebetulan di rumah kami hanya ada rongsokan payung rusak yang kini sudah berubah fungsi menjadi tongkat pengusir bebek kalau si bebek ingin masuk ke dalam rumah. Saat Bapak tak ada lagi, bebek Bapak sudah tak terurus, hingga akhirnya hilang satu persatu.

Tidak mungkin pergi ke sekolah dengan seragam basah kuyup. Pikir kami demikian. Namun, kami pun tak mau kalau harus bolos sekolah. Mama yang hari itu sudah siap dengan seragam berwarna coklat kebangsaan PNS yang biasa dipakainya, menjadi ikutan terjebak karena hujan. Waktu sudah menunjukkan pukul 07.04. Kami mulai panik karena jam masuk kelas sudah lewat. Zura, Salim, dan Iman pun mulai tidak bersemangat karena hujan menghalangi perjalanan kami untuk bisa sampai ke sekolah. Melihat muka kami sudah patah semangat, Mama langsung masuk kamar, mengganti seragam kantornya dengan baju rumah biasa. Ia mengambil sebuah parang yang sedikit berkarat di dapur. Aku mengikuti Mama dari belakang.

"Mama tidak jadi mengajar?" tanyaku menghampiri Mama di dapur.

"Jadi, Nak," jawab Mama yang di tangannya sudah menggenggam parang yang biasa dipakai Bapak saat memotong ranting pohon mangga yang sudah mulai lebat yang berada tepat di belakang rumah kami. Di belakang rumah kami memang ditumbuhi pohon mangga yang subur serta pohon pisang yang ditanam oleh Almarhum bapakku.

"Kenapa Mama sudah ganti baju? Parang itu untuk apakah, Ma?" aku keheranan melihat lagak mamaku seperti preman kampung.

"Ini buat potong daun pisang untuk kalian ke sekolah. Lumayan bisa untuk neduh dari hujan," kata mama yang kemudian membuka pintu belakang dapur dan langsung menuju arah pohon pisang di belakang rumahku.

Kuperhatikan pengorbanan yang ditampilkan oleh Mama. Rasa bangga dan salutku makin besar padanya. Hujan yang begitu deras beserta angin yang menghadang tidak menggoyahkan Mama untuk tetap menebang batangan daun pisang itu. Menerobos derasnya hujan dengan butiran air yang jatuh dari langit tidak membuat Mama gentar. Kusaksikan dengan cermat Mama memotong tangkai demi tangkai dedaunan pisang dengan menengadahkan wajahnya ke atas karena pohon pisang itu lumayan cukup tinggi. Postur tubuh Mama yang hanya setinggi 150cm sangat jomplang dengan tinggi pohon pisang yang mengharuskannya lebih keras untuk dapat memotong tangkai dedaunan pisang yang ditanam tepat di halaman belakang rumahku. Basah kuyup dengan baju kaos serta celana selutut yang dikenakan Mama. Terus berusaha memotong batangan daun pisang yang menjulang tinggi itu. Dengan semangat yang berkobar, akhirnya 4 batang daun pisang itu bisa Mama dapatkan. Tinggal kurang satu lagi daun pisang yang harus Mama tebang. Namun, ternyata hanya 4 daun pisang yang layak pakai untuk berteduh. Selebihnya daunnya masih sangat kecil.

Mama tersenyum menoleh ke arahku dan berkata.

"Semoga ini bisa bermanfaat untuk kalian ke sekolah," dengan baju basah kuyup dan tetesan air yang jatuh dari wajah Mama ke bajunya. Kutatap dalam-dalam wajah malaikat berwujud manusia itu. Tersirat harapan besar untuk kami anak-anaknya. Harapan yang diinginkan semua ibu untuk tetap melihat keceriaan di wajah anaknya. Harapan besar dari seorang ibu yang sedang berjuang sendiri menghidupi dan membesarkan anak-anaknya hingga mencapai titik kesuksesan. Mulai hari itu aku berniat dalam hatiku bahwa semua pengorbanan Mama ini tidak akan sia-sia. Suatu saat nanti aku akan membuat Mama tersenyum bangga melihat kesuksesan kami.

Dengan baju kuyupnya, Mama memberikan kami satu per satu daun pisang yang dipotongnya di belakang rumah.

"Ambillah ini, Nak. Anggap saja seperti payung," dengan senyum ketulusan Mama memberikan daun pisangnya pada kami satu per satu.

"Saya tidak usah, Ma. Saya bisa pake daun pisang ini berdua sama wa Zura. Ini buat Mama saja," Kuberikan daun itu ke tangan Mama, namun Mama tak ingin menerimanya.

"Mama tidak apa-apa. Yang terpenting bagi Mama adalah kalian. Kalau Mama yang sakit, Mama gak masalah. Tapi, kalau kalian yang sakit, Mama akan sangat berdosa. Kewajiban Mama adalah menjaga dan merawat kalian," mendengar jawaban Mama seperti itu, aku tak tau lagi harus membalas seperti apa perjuangannya, ketulusannya, serta kebaikan dari seorang wanita luar biasa ini.

Kami yang tadinya sudah putus asa dan pasrah kalau hari ini tidak ke sekolah, akhirnya bisa dibangkitkan dengan daun pisang pemberian Mama. Dengan sergap kamipun siap-siap ke sekolah dengan berlindung pada helaan daun pisang.

"Ide Mama ini cemerlang sekali. Daun pisang bisa jadi payung ajaib," kata kakakku, Salim. Kami pun tertawa mencairkan suasana dan berpamit mencium tangan Mama.

Di tengah derasnya hujan kami berjalan beriringan dengan memegang daun pisang yang berada tepat di atas kepala kami masing-masing. Berjalan menuju sekolah di tengah derasnya hujan dan angin yang bertiup kencang tidak memudarkan keinginan kami untuk ke sekolah. Terus melangkahkan kaki dengan mengikuti arah jalan. Berjalan beriringan dengan sangat rapi seperti para Paskibraka yang membawa bendera sang saka merah putih dengan sangat mengagumkan.

Hujan yang tak kunjung reda. Angin yang makin bertiup kencang seakan-akan tiap butiran airnya menampar wajah kecil kami, membuat kami berhati-hati sepanjang jalan menuju sekolah. Melambatkan tiap langkah kaki agar daun pisangnya tidak tertiup angin. Biasanya hanya ±5-10 menit dengan berjalan kaki kami bisa tempuh untuk ke sekolah. Namun, karena hujan 15 menit perjalanan kami butuhkan untuk bisa sampai ke sekolah walau dengan sedikit basah pada seragam sekolah kami.

Pengalaman yang tidak akan pernah bisa tergantikan dengan apapun juga. Pengorbanan ke sekolah di tengah derasnya hujan tidak meruntuhkan semangat kami untuk berjuang melewati badai. Setibanya di sekolah, aku dan ketiga kakakku berpencar. Kami memasuki kelas masing-masing. Aku masuk di ruangan kelas 1, Salim masuk di ruangan kelas 3, Zura masuk di ruangan kelas 4, dan Iman masuk di ruangan kelas 5. Saat masuk kelas aku kaget melihat kelas yang hanya dihuni oleh 4 orang siswa dan 1 guru. Harusnya jumlah murid kelas 1 ada 30 orang. Namun, hari itu hanya 5 orang siswa termasuk aku yang datang memenuhi kewajiban dan menuntut hakku untuk mendapat ilmu dari sekolah. Walaupun hanya 5 orang yang hadir, namun Ibu Guru tetap semangat membagikan ilmunya kepada kami.

Di rumah, Mama yang basah kuyup bergegas mengenakan kembali seragam kantor berwarna coklat yang dikenakannya tadi untuk pergi mengajar. Dengan bermodalkan tenaga untuk lari sampai depan jalan raya, Mama berhasil menaiki angkot untuk sampai ke sekolah. Mama tetap bersemangat. Tidak menggunakan payung maupun daun pisang, Mama tetap pergi memenuhi kewajibannya untuk mengajar. Hujan sederas apapun tidak akan membuat Mama mundur kebelakang. Bagi mama, kewajiban tetap harus dijalankan apapun penghalangnya, karena ia percaya bahwa kewajiban itu pertanggung jawabannya sama Tuhan. Sosok ibu yang seperti inilah yang selalu membuat kami selalu bangga memanggilnya "Mama".

Saat tiba di sekolah tempat ia mengajar, Mama disapa oleh temannya yang sama-sama berprofesi sebagai seorang guru. Namanya Sina. Kami biasa memanggilnya Ibu Sina. Kami juga sering bertemu dengannya karena Ibu Sina sering berkunjung ke rumah kami setelah Bapak meninggal. Ibu Sina sangat baik pada kami. Kami sering dibawakan buku bacaan maupun mainan. Ibu Sina adalah guru Sejarah di SMK Negeri 1 Baubau, namun beda usia Mama dan Bu Sina cukup jauh. Diusia 33 tahun Mama sudah menyandang status single parent dan Ibu Sina baru berusia 26 tahun. Dia masih single dan belum punya pacar. Bu Sina adalah wanita yang sangat lembut. Dia keturunan Jawa campur Buton. Wajahnya sudah pasti cantik dan body bagai gitar Spanyol. Siapapun yang mendapatkannya pasti sangat beruntung.

"Mba Sari, kok basah-basahan? Ntar sakit, loh," kata Bu Sina pada Mama.

"Gak apa-apa, Sin. Kalau masih hujan air, masih aman. Kalau hujan batu, tuh, baru deh sakit," jawab Mama sembari bergurau. Bu Sina pun menawarkan diri untuk membuatkan secangkir teh hangat manis untuk Mama. Walaupun Mama sudah menolak karena tak ingin merepotkannya, Bu Sina tetap membuatkannya.

Tidak sampai 3 menit, sampailah teh manis hangat buatan Bu Sina untuk Mama.

"Ini diminum dulu. Lagian Mba kan masuk dijam ke-2, kan? Masih setengah jam lagi untuk mengajar," Bu Sina menyodorkan teh buatannya untuk Mama. Mama pun menerimanya dengan ucapan terima kasih. Sekitar 20 detik Mama memandangi cangkir berisi teh itu.

"Heiii, Mba... Kok, malah ngelamun? Mikirin apa, sih?" suara Bu Sina mengagetkan Mama dari lamunannya.

"Mikirin Almarhum bapaknya anak-anak. Tidak terasa sudah 2 bulan kepergiannya. Dulu bapaknya anak-anak sangat suka dengan teh yang saya buat. Tapi, kalau teh buatan orang lain malah dia gak mau. Padahal, harusnya sama aja, ya, rasanya? Dia laki-laki teraneh namun saya cinta tanpa syarat padanya," Mama mulai terbawa suasana lamunannya. Ia memang sangat susah move on dari suami yang takkan pernah digantikan posisinya oleh siapapun juga.

"Mungkin rasa sama, tapi kenikmatan buatan teh yang suami Mba rasakan kan beda," kata Bu Sina.

"Sepertinya begitu. Ehh, kamu kapan nikahnya? Sudah ada pasangannya belum? Lama kamu gak cerita. Terakhir kan sama mantan SMA kamu yang mulai dekatin lagi, kan, ya? Terus gimana kelanjutannya," kata Mama penasaran dengan calon Bu Sina. Bu Sina memang wanita yang cantik. Jadi, wajar saja kalau banyak laki-laki yang menyukainya tak terkecuali mantan SMA-nya yang ingin kembali merajut kasih dengannya. Namun, wanita bermata indah itu tak ingin lagi kembali pada mantannya.

Bu Sina dan Mama memang berteman dengan baik. Ia sudah menganggap mamaku sebagai kakaknya begitupun sebaliknya. Mama menganggap Bu Sina sudah seperti adiknya sendiri. Tiap minggu sekali Bu Sina datang mengunjungi kami di rumah. Jadi, kamipun sudah akrab dengannya, sahabat baik mamaku.

"Tung...Tung..." pentungan bel pergantian jam ke-2 sudah berbunyi.

Mamapun bergegas sambil membawa tasnya dan menuju ke kelas 2 untuk menunaikan tugasnya.

Mama adalah salah satu guru Sastra Bahasa Indonesia yang sangat disenangi oleh murid-muridnya. Mama sangat sabar dalam mendidik. Begitu juga yang diterapkan pada anak-anaknya di rumah. Hari itu Mama mengajar tentang materi "Deklamasi Puisi". Tujuan pembelajarannya tak lain agar murid dapat mendeklamasikan puisi dengan menggunakan volume suara dan irama yang sesuai. Mama memang jagonya dalam membuat puisi indah dengan irama yang begitu menjiwai. Menafsirkan puisi harus tepat. Apakah berunsur kepahlawanan, keberanian, kesedihan, kemarahan, kesenangan, atau yang lainnya. Kalau puisi yang kita pilih itu mengandung kepahlawanan, maka kitapun harus mendeklamasikan puisi tersebut dengan perasaan yang menunjukkan seorang pahlawan, seorang yang gagah berani. Sebaliknya, kalau puisi yang kita pilih itu mengadung kesedihan, sewaktu kita berdeklamasi haruslah betul-betul dalam suasana yang sedih, bahkan harus bisa membuat orang lain terbawa dalam suasana puisi yang kita bacakan. Begitu pula sebaliknya. Ketika dideklamasikan menjadi sebuah puisi yang gembira, maka harus bisa membawa orang lain yang mendengarnya juga harus bahagia. Karena itu, harus berhati-hati, teliti, tenang, dan sungguh-sungguh dalam menafsir sebuah puisi. Begitulah penjelasan Mama kepada semua murid-muridnya yang hadir pada saat itu. Anak-anak murid kelas 2 SMK Baubau itu diajak untuk mendeklamasikan puisi pahlawan.

"Pahlawan Tak Dikenal" karya Toto Sudarto Bachtiar

Sepuluh tahun yang lalu dia terbaring

Tetapi bukan tidur, sayang

Sebuah lubang peluru bundar di dadanya

Senyum bekunya mau berkata, kita sedang perang

Dia tidak ingat bilamana dia datang

Kedua lengannya memeluk senapang

Dia tidak tahu untuk siapa dia datang

Kemudian dia terbaring, tapi bukan tidur sayang

Wajah sunyi setengah tengadah

Menangkap sepi padang senja

Dunia tambah beku di tengah derap dan suara merdu

Dia masih sangat muda

Lihat selengkapnya