Waktu demi waktu telah berlalu. Kini 4 tahun sudah Bapak tidak bersama kami. Salim kini sudah menginjak kelas 6. Di sekolah, Salim dikenal sebagai anak yang nakal. Ia selalu mengganggu teman-temannya jika sedang bermain. Ia sering membuat teman-teman perempuan di sekolahnya menangis karena diledekin olehnya. Di rumah pun demikian. Ia sangat sulit diatur. Tiap Mama menasehatinya, selalu saja ada bantahan darinya. Walaupun sebenarnya dia adalah anak yang pintar. Sejak kelas 1 sampai kelas 2 SD Salim masih menduduki peringkat pertama di kelasnya. Namun, setelah Bapak tiada, prestasinya di sekolah menurun drastis. Hingga Guru-guru di sekolahnya kini meragukan kecerdasannya. Salim hampir tidak pernah terlihat belajar dan serius saat ibu guru mengajar. Jadi, tidak heran kalau guru-guru sering dibuat marah olehnya.
Salim memang tidak pernah terlihat belajar. Jika ada PR pun ia jarang sekali mengumpulkannya. Namun, saat ulangan tiba Salim selalu mendapat nilai terbaik. Semua guru yang mengajar Salim selalu berparsangka kalau Salim selalu mencontek dalam mengerjakan soal. Namun, ada 1 guru yang percaya kalau Salim memang anak yang cerdas. Dia adalah wali kelas Salim dari kelas 3-6 SD.
Tiap sekolah memang tidak terlepas dari Ibu Killer. Begitu juga sekolah kami. Kebetulan Salim adalah anak didik dari Bu Susan. Bu Susan merupakan sosok guru yang ditakuti oleh semua murid karena ia termasuk guru yang keras dan disiplin. Bu Susan sangat berteman akrab dengan lemak yang menggumpal padat di tubuhnya. Badan bu Susan memang sedikit obesitas di usianya yang tak begitu terlalu tua. 38 Tahun. Ia mengajar pelajaran Matematika di kelas Salim. Aku juga sempat merasakan bagaimana tegasnya Bu Susan dalam mengajar kami.
"Hari ini ulangan, ya. Di atas meja hanya ada pulpen dan kertas," kata Bu Susan sambil menulis soal di papan tulis. Ibu kasih waktu kalian 45 menit. Jangan ada yang mencontek. Kalau ketahuan, kalian Ibu keluarkan dan tidak boleh ikut ulangan mata pelajaran Matematika lagi. Kalian mengerti?"
"Huhhh... uuu..." anak-anak kelas bersorak kompak layaknya paduan suara namun tidak merdu sama sekali.
"Yang tidak mau ikut ulangan silahkan keluar. Kalian tau to pintu keluarnya," Bu Susan menaikkan nada suaranya sambil menunjuk pintu keluar yang masih terbuka lebar. Suasana kelas yang tadinya bersorak ria kini menjadi suasana upacara saat mengheningkan cipta berlangsung. Semua menunduk tanpa kata.
"Ibu hitung sampai 3, ya. Kalau tidak ada yang mau keluar, saya tutup pintunya.
1... 2... 3," Bu Susan bergegas menutup pintu kelas. Ternyata tidak ada yang berani keluar satupun dari anak muridnya.
Bangku ternyaman untuk Salim adalah tempat duduk paling belakang. Dari kelas 1, ia memang hobi memilih bangku paling belakang. Baginya tempat duduk belakang tak berarti otak terbelakang.
"Silakan kalian jawab 10 soal ulangan ini. Ibu kasih waktu, 45 menit. Kalian sudah mengerti?" kata Bu Susan tegas.
"Sudah, Bu..." serempak seluruh murid menjawab dengan muka ala-ala jeruk purut. Mengkerut dan asam sekali. Waktu terus berjalan. 30 menit telah berlalu, Salim bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan menuju meja Bu Susan.
Semua mata tertuju pada Salim.
"Cepat sekali kau kerjakan. Kau bisa jawabkah soal susah seperti ini? Atau, jangan-jangan kau mencotekkah?" terdengar keras suara Sam sambil tertawa meledek saat Salim melewati bangku Sam.
"Anak nakal kayak kamu itu tidak mungkin bisa kerjakan soal-soal ini dengan benar," Sam makin meremehkan kemampuan Salim. Salim menoleh kearah Sam dengan muka kesel.
Semua anak-anak kelas serempak tertawa terbahak-bahak.
"Diam semuanya. Jawab tugas kalian dengan benar!" Bu Susan memperingati semua murid. Tertawa mereka semua tertahan di perut setelah mendengar suara Ibu Susan yang menggelegar. Semua murid kini berkonsentrasi kembali pada jawaban mereka masing-masing.
"Kau isi jawabanmu itu. Waktumu tinggal 15 menit. Jangan sampe kau isi cara permainan kelerengmu di situ. Saya memang nakal, tapi otakku encer. Kalau saya nakal sekarang wajar, tapi kalau saya nakal sampe tua, itu baru kurang ajar namanya," Salim membalas perkataan Sam dan terus berjalan kemeja bu Susan.
"Hahahahahahaha..." semua malah berbalik menertawakan Sam. Sam tertunduk malu.
"Kamu sudah selesai, Salim?" tanya Bu Susan sambil melihat jawaban Salim yang baru saja diterimanya.
"Sudah, Bu. Coba ibu periksa saja," Salim kembali duduk di bangkunya.
Ibu Susan mulai memeriksa lembar jawaban Salim. Ia tak menyangka kalau Salim bisa dengan sempurna mengerjakan soal yang diberikannya.
"Ini soal tersulit yang pernah saya kasih, tapi benar-benar bisa dilahap seorang anak yang terkenal nakal ini," Ibu Susan menggerutu dalam hati.
"Sempurna. Hebat kamu, Salim. Kamu bisa menaklukan soal-soal yang Ibu kasih ini dengan sangat baik," Ibu Susan takjub melihat jawaban Salim yang tanpa ada kesalahan sama sekali.
"Prokkk... prokk... prokkk..." tepuk tangan yang keras untuk Salim didapatkan hari itu dari teman-temannya kecuali Sam.
"Waktunya sudah habis. Kumpulkan kertas ulangan kalian!", seru Bu Susan.
Sam berusaha menolehkan kepalanya kiri, kanan, belakang mencari jawaban. Sam duduk di bangku paling depan. Sam panik karena semua teman-temannya sudah bergegas mengumpulkan jawabannya.
"Sam, mana lembar jawabanmu? Selesai tidak selesai, sini dikumpul!" Bu Susan mulai mengeluarkan taringnya.
"Iya, Bu. Sebentar lagi. Saya masih isi, kasihan ini, Bu," sahut Sam mulai panik.
Ibu hitung sampai 3. Kalau kamu tidak kumpulkan juga, Ibu anggap kamu tidak ikut ulangan.
Satuuuuu... Duaaaaaa... Tii........
"Ihhh, Ibu ini da suka sekali menghitung. Heran saya," sahut Sam dalam hati. Sam dengan terpaksa menyerahkan lembar jawabannya. Dari 10 soal tidak ada satu pun yang bisa Sam kerjakan. Hanya 3 soal yang terisi. Itu pun salah semua. Entahlah, angka-angka yang menjadi jawaban Sam ini berasal dari mana.
"Apa yang ko isi ini, Sam? Masa hanya ini yang kamu bisa. Ini juga asal-asalan sekali jawabanmu e. Rajin-rajin belajarmu. Rumahmu dekat to dengan La Salim? Ko rajin-rajin belajar sama La Salim," Ibu Susan kaget melihat hasil jawaban dari Sam. Sangat bertolak belakang dengan jawaban yang Salim kerjakan.
"Ibu ini e, salah pilih orang. Masa Ibu suruh saya belajar sama anak paling nakal di sekolah ini. Anak yang tidak pernah kerjakan PR-nya. Syukur-syukur dia naik kelas itu anak. Saya liat dia belajar saja tidak pernah. Paling juga dia mencontek itu. Saya tidak percaya kalau dia bisa isi soal-soal yang Ibu kasih. Mustahil itu!!," Sam mulai membantah.