THE LIGHT OF TEARS

Indy Nurliza Zulfianti
Chapter #10

Segudang Kisah di Oktober

Malam haru itu membuat hubungan kami sekeluarga makin erat. Tak jauh berbeda dengan hubungan persahabatan yang terjalin antara Bu Sina, Mama, dan pak Arman. Mereka bersahabat dengan sangat baik. Pak Arman dan Bu Sina selalu berkunjung ke rumah kami. Mereka selalu datang bersama, karena Mama tak ingin menerima tamu laki-laki seorang diri agar tak menimbulkan fitnah dan omongan miring dari para tetangga. Pak Arman pun selalu membantu kami jika ada PR yang kami tak bisa pecahkan. Ia laki-laki yang baik dan bijak. Jadi, tidak heran kalau Bu Sina tetap teguh memendam rasa pada Pak Arman, walaupun ia tak pernah tahu seberapa spesialkah dia di mata Pak Arman. Sikap Pak Arman yang selalu baik terhadap semua orang memang bikin penasaran. Ia begitu baik pada Mama, begitu pula pada Bu Sina dan yang lainnya.

Tak ada satupun yang paham dengan sikap tertutup Pak Arman. Ia memang orang yang cool dan introvent untuk urusan hati. Diusianya yg sudah menginjak usia 33 tahun, Pak Arman belum ada omongan ingin melepas masa lajangnya, sedangkan usia 29 tahun untuk Bu Sina sudah menjadi alarm dari orangtuanya. Hampir tiap harinya Bu Sina disuguhi pertanyaan yang sama "Kapan akan menikah?" oleh orang tuanya dan jawaban yang selalu sama pun diberikannya, "Tunggulah. Akan ada waktunya pernikahan itu digelar." Berhubung Bu Sina adalah anak tunggal, jadi tidak heran jika orangtua Bu Sina harap-harap cemas dengan kondisi anaknya yang masih belum punya pasangan di usianya yang sudah matang untuk berumahtangga. Pak Arman memang sesekali mampir saat mengantar Bu Sina kerumahnya. Namun, orangtua Bu Sina tak pernah mengetahui tentang perasaan anaknya pada Pak Arman. Bu Sina pun selalu menolak jika orangtuanya ingin mengenalkannya pada seorang laki-laki.

Bu Sina memang tak pernah terbuka ke orangtuanya tentang rasa cintanya pada laki-laki yang membuatnya masih bertahan pada satu cinta. Hanya pada Mama tempat Bu Sina dapat dengan leluasa bercerita tentang perasaannya pada Pak Arman. Mama selalu menyarankan agar Bu Sina jujur pada Pak Arman, karena Mama pun tak diizinkan untuk memberi tahu isi hati Bu Sina pada Pak Arman. Ini sudah hampir 3 tahun perasaan itu terpendam.

Bu Sina memang kekeh tak ingin duluan mengungkapkan isi hatinya pada laki-laki yang ia cintai. Baginya, wanita adalah makhluk terhormat. Jika ia mengungkapkan duluan perasaannya, itu hanya akan menurunkan harga dirinya di depan sang lelaki. Sedikit primitif memang, namun jika sudah berbicara tentang prinsip, memang sedikit susah.

"Tak ada salahnya jika kau duluan yang mengungkapkan isi hatimu. Ini sudah terlalu lama, Sin. Jangan hidup dengan rasa penasaranmu," Mama sering sekali menasehatinya.

Hingga akhirnya diusianya 29 tahun, prinsip ini pun harus dilanggar karena memang hidup dengan rasa penasaran itu menyiksa batin. Hingga pada waktu yang tepat. Hari Sabtu pulang mengajar di parkiran motor. Bu Sina memberanikan diri untuk bertanya langsung pada Pak Arman. Pertanyaan yang bertahun-tahun menghantuinya. Bagaimana perasaan Pak Arman padanya?

Hari itu Bu Sina terlibat pembicaraan serius dengan Pak Arman.

"Sebenarnya ini selalu jadi pertanyaan dalam hati saya sejak beberapa tahun silam," Ia berhenti sejenak menarik napas panjang sebelum mengungkapkan pertanyaan utamanya. Jantung Bu Sina berdegup kencang. Suaranya terdengar terbata-bata. Ia menyusun kata per kata dengan sangat baik agar tak terlihat grogi.

"Bagaimana perasaan Pak Arman terhadap saya? Apa saya hanya dianggap sebagai seorang sahabat atau lebih dari itu?" kata Bu Sina memberanikan diri untuk bertanya perihal "rasa" pada Pak Arman. Hal yang tak bisa ia ucapkan bertahun-tahun lamanya karena menunggu pernyataan itu di mulai duluan oleh Pak Arman, namun itu tak terjadi juga, hingga Bu Sina kini yang memulai percakapan serius itu.

"Besok datanglah ke rumahku. Kebetulan orangtuaku merayakan ulang tahun pernikahan mereka. Jika kau ingin tahu jawabannya, datanglah besok jam 4 sore."

Pak Arman adalah anak ke-2 dari 2 bersaudara. Ia memiliki 1 kakak laki-laki yang tinggal di Argentina. Sebuah negara berbahasa Spanyol yang terletak di Amerika Selatan. Setelah menikah 7 tahun silam, kakak Pak Arman menetap di tempat kelahiran pesepakbola hebat Lionel Andres Messi. Dua tahun sekali kakak Pak Arman berkunjung ke Indonesia, jadi sangat wajar jika orangtua Pak Arman selalu mendesak anaknya untuk segera menikah. Mereka sangat merindukan cucu di tengah keluarganya. Begitu pula dengan orangtua Bu Sina. Bu Sina adalah anak tunggal dari pasangan kedua orangtua yang bekerja sebagai angkatan darat.

Minggu, 17 Oktober adalah annivesary pernikahan orangtua Pak Arman. Tiap tahun orangtua Pak Arman memang mengadakan doa syukuran hanya dengan anak-anaknya. Namun, kali ini dihadiri oleh Mama juga Bu Sina.

"Eh, Mba Sari di sini juga, ya?" tanya Bu Sina saat melihat Mama memasuki pagar rumah Pak Arman. Kebetulan Bu Sina baru sampai di rumah Pak Arman dengan mengendarai mobil Honda Grand Civic yang diparkir di samping rumah Pak Arman.

"Iya, Sin. Saya juga diundang ke acara doa syukuran pernikahan orangtua Pak Arman. Tapi ngomong-ngomong, kok rumahnya sepi, ya? Ini benaran rumah Pak Arman, kan?" Mama menolah-nolehkan kepalanya, memastikan kalau benar itu adalah rumah sahabat almarhum suaminya yang kini menjadi sahabatnya juga. Bu Sina pun mengikuti Mama dengan menolah-nolehkan kepalanya. Ia pun bingung. Jika ada acara, kenapa rumah Pak Arman begitu sepi?

Bu Sina dan Mama memang sudah 3 tahun mengenal Pak Arman. Namun, belum ada satupun di antara mereka yang pernah berkunjung ke rumahnya. Ini adalah kali pertama mereka ke sini.

"Kok di luar saja? Ayo masuk," sapa Pak Arman dari depan pintu rumah yang sudah terbuka lebar. Mama dan Bu Sina pun dikagetkan oleh suara Pak Arman. Di dalam rumah sudah ada orangtua Pak Arman yang telah menunggu mereka agar acara segera dimulai.

"Ohh, jadi dua wanita cantik ini yang kita tunggu dari tadi, ya, Nak?" kata Ibu dari Pak Arman yang sangat ramah kepada Mama dan Bu Sina. Pak Arman pun tersenyum. Mama dan Bu Sina memberikan selamat atas ulang tahun pernikahan kepada orangtua Pak Arman.

"Jadi, kapan, Nak, kamu ingin meminangnya untuk menjadi menantu Mama? Mama sudah ingin mendapakan cucu lagi," Ibu dari Pak Arman mulai menggoda anaknya.

Bu Sina pun tersenyum, tersipu malu."Akhirnya aku akan dilamar di depan orangtuanya. Jadi, ini maksudnya selama ini," dalam hati Bu Sina pun berucap. Ia sumringah tak menentu.

Mama pun melirik melihat Bu Sina yang sudah tersipu malu. Melihat itu semua, Mama jadi ikutan bahagia.

"Pada kesempatan ini, saya ingin mengucapkan selamat hari pernikahan untuk orangtua saya. Semoga selalu bahagia dan cinta yang sudah tertanam sejak diikrarkannya ijab kabul 38 tahun yang lalu, menambah rasa cinta yang takkan pernah padam. Dan hari ini saya akan menjawab semua pertanyaan orangtua saya tentang siapa wanita yang saya cintai dan akan saya nikahi sebagai pendamping hidup saya sampai akhir nanti."

Semua pun diam. Sunyi senyap. Seakan sedang berlangsung pidato kepresidenan.

"Ibu, Bapak. Saya mencintai seorang wanita. Dia 1 kantor denganku. Dia wanita yang sangat sabar," lanjut Pak Arman menyampaikan pembicaraannya.

Bu Sina Pun makin tegang dan senyum-senyum tak jelas. Bu sina merangkul tangan Mama yang berada tepat di sampingnya. Tangan Bu Sina sangat dingin. Dia seperti sedang berada di kutub Antartika yang mencapai -60 derajat Celcius saat musim dingin tiba.

Lihat selengkapnya