THE LIGHT OF TEARS

Indy Nurliza Zulfianti
Chapter #11

He is The Winner

Besok seluruh sekolah di BauBau akan mengadakan Ujian Nasional untuk tingkat SD. Tak terkecuali Salim. Namun, Salim tak pernah nampak belajar. Megang buku saja hampir tak pernah terlihat. Jadwal mainnya masih sama, namun ia sudah tidak pernah lagi ke tempat pencucian mobil setelah malam kejadian suram yang menyangka bahwa ia adalah maling. Salim biasa bermain sampai sore menjelang Maghrib. Selebihnya ia habiskan waktunya di dalam kamarnya. Semacam ritual yang ia jalani, namun entahlah apa yang ia lakukan di dalam kamar sempitnya itu. Perubahan sikap Salim mulai kearah positif. Seminggu ini sepertinya rumah kami adem ayem. Salim menjadi lebih sabar dan lebih slow tiap menghadapi sesuatu. Memang terlihat aneh, tapi kami senang atas perubahan Salim.

"Nak, jangan lupa belajarnya," Mama menegur Salim saat melihat ia baru pulang bermain.

"Sudah, Mama tenang saja," jawab Salim dan langsung masuk kamar. Seperti biasa anak itu selalu memandang enteng apa saja yang sedang ia jalani.

Senin, November 1999. Tibalah waktu Ujian Nasional Salim dilaksanakan. Bukan Salim yang tegang, tapi Mama. Saat Ujian Nasional tiba, biasanya kelas 1-5 diliburkan karena kelas lain dipakai untuk ujian. Hari itu kebetulan Mama tidak ada jadwal untuk mengajar.

"Duuhhh, kira-kira La Bau bisa jawab tidak, ya, soal-soalnya?" Mama bolak balik seperti kucekan pakaian yang sedang dicuci.

"Sudahlah, Ma. Sini duduk nonton TV. Tidak usah terlalu dipikirkan. Dia pasti bisa, Ma," jawabku menenangkan Mama.

"Gimana bisa jawab, belajar saja tidak pernah?" hatiku menggerutu nyinyir. Namun, usahaku tak membuahkan hasil. Mama tetap tak bisa tenang.

Kreeekkk.. Bunyi pintu kurang olesan minyak dari arah ruang tamu berbunyi.

Mama berlari ke arah pintu.

"Gimana hasilnya, Nak? Kamu bisa jawab gak? Ada kesulitan gak?" tanya Mama beruntun seperti kereta api yang sedang berjalan.

"Tenang saja, Ma. 1 minggu kedepan baru ada pengumuman. Seluruh orangtua harus datang kata Kepala Sekolah," Salim menjelaskan ke Mama sambil berjalan menuju kamarnya. Belakangan ini ia sangat suka mengurung dirinya dalam kamar.

"Ohhh gitu, ya, Nak. Iya, Mama pasti datang, kok. Pasti," muka Mama masih was-was namun berusaha tersenyum.

***

3 hari ujian Salim berlangsung. 3 hari pula Mama tak tenang. Ia sangat amat khawatir. Mama terlihat begitu ketakutan jika Salim tak bisa menyelesaikan sekolahnya karena kendala tak lulus ujian. 3 hari Salim menghadapi penentu nasibnya untuk melanjutkan ke bangku SMP. Sikap Salim di mataku masih saja aneh. Dia masih tetap misterius dimalam hari.

Gubraaakkk... tukkk... taaakkk... Bunyi itu selalu menghiasi rumah kami dimalam hari. Suara itu bersumber dari dalam kamar Salim. Sangat mengganggu pendengaranku. Malam itu adalah malam di mana keesokan harinya ia akan menerima pengumuman hasil Ujian Nasionalnya. Disaat semua orang sudah tertidur lelap, Salim tetap terjaga. Malam itu sudah pukul 00.45. Aku terbangun karena ingin buang air kecil. Saat aku membuka pintu kamarku dengan pelan, Salim terlihat dari kamar mandi dan membawa baskom berisi air.

"Baskom lagi? Ada apa, sih, sebenarnya? Dia lagi ngapain, ya? Apa sekarang lagi trand minum air menggunakan baskom?" rasa penasaranku mulai muncul lagi. Ahhh., padahal aku sudah berniat tak ingin terlalu kepo pada sikap misteriusnya tiap malam.

Salim masuk kedalam kamar, tapi kali ini dia tidak menutup rapat pintunya. Inilah saat yang tepat, pikirku. Aku harus tahu apa yang dia lakukan. Rasa ingin pipis pun hilang seketika. Seakan kuperintahkan otakku untuk mengesampingkan reflek berkemih oleh serabut saraf para simpatisku saat itu karena rasa penasaranku lebih besar dari apapun malam itu.

Kuintip dari sela-sela pintu kamar Salim. Sangat sulit rasanya menjamah apa yang terjadi di dalam kamarnya. Malam itu aku bagai ditektif yang sedang mencari kebenaran.

Ummi yaa lahnan a'syaqohu

Wanasyidan dauman ansyuduhu

Fikulli makanin adzkhu

Wa-azhollu azhollu uroddiduhu.

Suara ini terdengar jelas dari dalam kamar Salim. Telingaku di suguhkan lagu Ummi- Haddad Alwi. Kaset radio yang pernah Mama belikan untuk kami saat radio kami masih bisa berfungsi dengan normal. Aku tidak percaya dengan apa yang kulihat dan ku dengar malam itu. Itu radio yang sudah rusak. Kini berbunyi kembali. Aku melihat Salim menyetel kaset kumpulan lagu Haddad Alwi. Aku tidak pernah menyangka kalau Salim bisa kembali membunyikan radio yang sudah tidak berfungsi itu. Ini luar biasa. Aku seakan tak percaya dengan apa yang kusaksikan malam itu. Aku takjub dibuatnya.

Dari sela-sela pintu yang tidak tertutup rapat itu, terlihat wajah Salim tersenyum bangga. Tidak terasa aku pun ikut tersenyum. Aku meneteskan air mata. Lagi-lagi aku menangis karenanya. Tapi, kali ini bukan air mata sedih yang selalu kukeluarkan karena ia selalu membentak dan mendorong kepalaku. Kali ini kuakui kalau air mata yang keluar malam itu adalah rasa banggaku punya kakak seperti dia. Aku menyesal sempat tidak percaya dengan kemampuan yang dia miliki.

Lagi-lagi Salim membuyarkan pikiranku. Dia tiba-tiba duduk di kursi dan memegang buku untuk dibaca. Bukan karena bukunya yang membuat aku terpanah, tapi ini tentang baskom berisi air itu. Air itu direndamkan ke kakinya. Dan dia membaca buku-buku pelajarannya. Oh my God, this is dream. Salim melakukan itu semua. Ternyata selama ini dia memang diam-diam belajar disaat semua orang sudah terlelap. Ini tidak bisa dipercaya.

Lihat selengkapnya