Kami masih menunggu Salim dan Mama keluar dari ruang kelas. Betapa makin bangganya kami saat melihat Salim benar-benar memegang piala serta piagam yang ada di tangannya. Terlihat jelas semua orang yang berada di dalam ruangan itu memberikan selamat kepada Salim dan Mama.
"Waaahhh, hebatnya La Bau," kataku yang langsung menghampiri Mama dan Salim yang sedang berada di kerumunan orang.
"Kami bangga punya saudara sepertimu," Iman pun menimpali ucapanku sambil merangkul adiknya itu.
"Kenapa kalian ada di sini?" tanya Mama saat melihat kami datang bersama-sama.
"Iya, Ma. Kita sengaja datang ke sini. Kami benar-benar takjub hari ini karena Salim dinobatkan jadi murid terbaik," jawab Zura sambil ikut merangkul bangga adiknya Salim.
"Iya, dong. Kan saya sudah pernah bilang kalau saya pasti bisa dapat yang terbaik," kata Salim yang mulai membanggakan dirinya. Kepercayaan diri Salim memang sudah tidak diragukan lagi. Rasanya ingin sekali kutarik kembali ucapanku barusan agar aku tak perlu lihat gaya bicara yang bangganya setinggi langit itu.
"Ya sudah, ayo kita pulang. Kalian pasti belum makan, kan? Habis ini Mama mau ke pasar untuk beli ayam. Nanti Mama masakan kalian makanan enak," Mama tersenyum mengangkat imut kedua alisnya. Terlihat senyuman Mama yang sangat bahagia. Senyuman yang belum pernah lagi kulihat saat Bapak sudah tidak bersama kami. Garis halus kerutan Mama kini sudah mulai nampak saat kuperhatikan dengan jelas. Kami pun pulang dengan muka yang sumringah. Mama memasakkan makanan kesukaan kami. Sop ayam dan kari ayam. Kami biasanya makan ini saat lebaran saja. Maklum saja, makanan ayam itu mahalnya nauzubillah, hingga kami tak mampu membelinya. Hari itu kami semua benar-benar sangat bahagia. Beban hidup kami hilang. Sudah lama kami tidak merasakan kumpul bersama seplong ini. Sejak kepergian Bapak, rasanya rumah kami seperti rumah hantu. Tidak ada canda tawa lepas seperti yang kami jalani dulu bersama Bapak. Akhirnya, keluarga kami kembali lagi walau tanpa adanya Bapak di tengah keluarga kami.
***
Didalam sepertiga malam itu, aku mendengar suara merdu Mama yang sedang mengaji setelah melaksanakan sholat Malam. Biasanya aku terbangun karena suara berisik dari kamar Salim. Namun, kali ini suara merdu Mama yang membangunkanku. Mama melantunkan asma Allah dengan sangat indahnya. Aku membuka mata dan berusaha mengumpulkan separuh nyawaku yang belum terkumpul rapi malam itu. Dengan suara yang mulai gemetar, Mama menangis setelah membaca Alquran. Entah apa yang ada dipikiran mamaku saat itu. Aku tak kuasa beranjak dari tempat tidurku. Kebetulan hari itu aku tidur di kamar mama. Setelah bapak meninggal, hampir tiap hari aku menemani mama tidur.
Tetesan air mata yang hanya akan selalu diperlihatkannya untuk Allah, tetesan keringat yang hanya dirinya yang tahu. Senyuman yang selalu ditebar untuk kami anak-anaknya, canda tawa, dan ilmu yang selalu dibagi untuk para muridnya. Itulah mamaku sang pejuang untuk keluarga. Tidak pernah mengeluh akan segala yang sudah ia lakukan untuk kami.
Tidak mempedulikan kesehatannya, tidak mempedulikan rasa lelahnya, Mama selalu berjuang untuk bisa mencapai semua targetnya. Yang dipedulikannya adalah bagaimana bisa membesarkan dan mengantarkan anak-anaknya sukses seperti permintaan Almarhum Bapak. Semangat Mama selalu berkobar tanpa rasa lelah demi menabung untuk membiayai seluruh biaya pendidikan anak-anaknya hingga kejenjang yang lebih atas. Semangat kerja keras Mama, keringat Mama, dan pengorbanan Mama tidak akan pernah dilupakan oleh kami.