The Light Within Your Heart

Raihan Hilmy
Chapter #2

Pertemuan Denganmu #2

Melihat wajah serius Haruto, Airi sedikit membereskan makanannya agar dapat lebih menyimak perkataan kekasihnya itu. “Silakan. Apa ada sesuatu?” balasnya. Haruto mengatur kata-katanya terlebih dahulu. 

“Aku mau bilang terima kasih untuk satu tahun ini. Rasanya nggak pernah kubayangkan bisa sebahagia ini. Aku harap kita bisa seperti ini terus... selamanya.” Airi tersenyum hangat mendengarnya, merasa betapa bahagianya ia bisa bersama orang yang ia cintai. 

“Airi!” Haruto meraih tangan mungil kekasihnya itu. “Aku rasa kita sudah cukup mengenal dan percaya satu sama lain. Aku ingin hubungan ini menjadi hubungan yang lebih serius. Oleh karena itu, aku pikir, mungkin akan lebih baik jika kita bisa tinggal bersama kedepannya,” ucap Haruto. 

Senyum yang tadinya Airi tunjukkan seketika berubah, menampakkan wajah terkejut yang jelas. Airi mengalihkan pandangannya, mencoba meredakan kekacauan pikirannya. Permintaan Haruto seolah menariknya kembali ke kenangan masa kecilnya. Kenangan dimana ibunya pergi meninggalkan ia dan ayahnya tanpa berpamitan.

Airi lahir di keluarga yang cukup hangat. Pada saat ia kecil, ayah dan ibunya selalu mengutamakan kebahagiaannya. Namun semua berubah ketika Airi mulai masuk sekolah dasar. Perusahaan tempat ayah Airi bekerja mengalami kerugian yang membuatnya akhirnya dipecat.

Sekitar 4 bulan menganggur, ayah Airi belum mendapat pekerjaan sama sekali. Uang tabungan kian menipis. Ibu Airi yang saat itu adalah seorang ibu rumah tangga mendapatkan tawaran kerja di perusahaan tempat temannya bekerja. Ia memang terkenal mahir di bidang akuntansi saat SMA dan pernah mengambil sertifikasi keahlian. Namun ego sang ayah tidak mengizinkannya. Jika keduanya bekerja, siapa yang akan bersama Airi nantinya?

Pertengkaran antara mereka pun terjadi. Sebuah teriakkan dari sang ibu yang mengatakan, “Kamu kan yang menginginkan anak itu?” membangunkan Airi yang sedang tertidur. Ia pun menangis kecil saat melihat orangtuanya saling beradu argumen di balik pintu.

Entah apa yang menghentikan pertengkaran malam itu, akhirnya sang ayah mengizinkan ibunya bekerja dengan syarat harus berhenti saat sang ayah mendapat pekerjaan penggantinya. 

Saat itu sang ibu setuju. Namun setelah tiga bulan bekerja, sepucuk surat dan selembar surat cerai terletak di meja makan. Sepucuk surat itu berisi permintaan maaf dari sang ibu yang terpaksa meninggalkan mereka dan memilih pria lain. Isak tangis ayah tak tertahankan. Airi yang saat itu belum mengerti pun terus bertanya, “Ayah kenapa nangis?” lalu, “Ibu dimana Ayah?” berulang-ulang. Kejadian ini meninggalkan luka yang mendalam, membuat Airi selalu berhati-hati dalam menjalin hubungan.

“Hm?” Hanya itu yang keluar dari mulut Airi.

“Hm? Kenapa ‘Hm’? Apa kamu nggak mau?” tanya Haruto.

“Bukannya nggak mau, tapi bukankah ini terlalu cepat?” balas Airi.

“Aku rasa tidak. Kita sudah sama sama dewasa. Justru aku rasa ini waktu yang tepat. Apakah kamu nggak mau mengenalku lebih dalam?” tanya Haruto.

“Mengenalmu lebih dalam? Bukannya aku sudah tahu banyak tentang kamu? Aku tahu kamu nggak bisa makan pedas, kamu lebih suka renang daripada berlari, bahkan aku juga tahu kamu pernah mengompol saat SMP. Bukankah kita bisa lebih banyak mengenal tanpa harus tinggal bersama?” tegas Airi.

“Iya, betul. Tapi akan berbeda jika kita tinggal di satu atap yang sama, bukan? Kita nggak perlu ketemu sepekan hanya dua kali. Kita bisa sarapan dan makan malam bersama. Dan tentunya kita bisa ….” Haruto terhenti dari kalimatnya ketika melihat mata Airi melirik tajam padanya dengan penuh keheranan.

Lihat selengkapnya