Semenjak kejadian di café itu Kayla masih merasa aneh, jika lelaki yang memiliki nama Veen itu yang membawanya ke UKS dan memberinya minum berarti dia satu sekolah dengan Kayla bukan? Tapi mengapa Kayla seolah tak pernah melihat wujudnya? Apa dia hantu? Karena memang Kayla sama sekali tidak pernah melihatnya.
Hari minggu, hari yang mengharuskan Kayla berada dirumah. Hari minggu adalah hari yang dibencinya, pasalnya ia pasti bertemu sang ibu, Kayla sudah bosan dengan omelan sang ibu, dan seringkali juga Kayla mendapat pukulan dari sang ibu padahal ia tak membuat kesalahan apapun. Pukulan-pukulan itu yang membuat tubuh Kayla merasa sakit, tubuh Kayla sebenarnya banyak terdapat tanda biru lebam, namun tidak ada yang mengetahuinya, sekalipun itu ayahnya. Kayla mampu menutupi semuanya dengan rapat.
Kayla keluar dari kamarnya, dan menuju ke ruang makan. Disana sudah ada ibunya yang sedang memakan nasi goreng. Namun ingat, ibunya hanya memasak untuk dirinya sendiri, bukan untuk Kayla.
“Pagi bu” Sapa Kayla. Namun ibunya hanya diam membisu
“Kayla boleh makan masakan ibu?” Tanya Kayla menundukkan kepalanya, pasalnya ia taku dengan sang ibu.
“Masak sendiri” Jawab sang ibu seperti biasanya dan berlalu meninggalkan Kayla.
Jawaban seperti itu sudah biasa Kayla terima, mungkin hampir setiap hari Kayla mendengarnya. Padahal Kayla ingin sekali memakan masakan ibunya, walaupun itu hanya sekali tak apa, namun semua itu hanya angan-angan Kayla semata.
Daripada harus kelaparan, Kayla memutuskan untuk memasak mie yang sudah ia stock. Karena didapur ataupun di kulkas tidak ada telor, ayam, sayuran dan semacamnya, hanya ada bumbu-bumu dan itu saja tidak lengkap, Dan karena itu Kayla sudah menyetok berbagai macam mie dan aneka snack.
Kayla mulai meracik bumbu dan merebus mienya, hingga beberapa menit kemudian mie tersebut siap untuk dimakan. Kayla duduk dikursi yang tadi diduduki oleh sang ibu, dia sangat menikmati mienya, padahal hanya mie biasa, mungkin karena Kayla sangat lapar jadi mie itu terasa sangat nikmat.
Setelah aktivitas makan paginya selesai, Kayla kembali ke kamar. Dia merebahkan dirinya menatap atap-atap langit. Pikirannya terus saja tertuju pada ibunya, hampir setiap hari ia melamun memikirkan ibunya, padahal dalam angannya dia ingin seperti anak-anak yang lain. Seperti berbelanja bersama, bisa curhat ke orang tua, bahkan menangis dipelukannya. Namun semuanya hanya angan-angan semata yang tidak akan pernah terwujud, dia hanya bisa mencurahkan semua keluh kesahnya ke diary kesayangannya dan Tuhan.
TING…
Suara notifikasi dari hpnya terpaksa membuat Kayla harus menghentikan aktivitas melamunnya itu.
“Kayla”