Help from an Evil Friend
Hakim belum dapat memutuskan apapun dan jaksa sedari tadi menunjuk-nunjuk wajahku kemarah-marahan. Dia bahkan bersumpah serapah demi semesta bahwa aku tentulah penjahat, seorang bedebah kotor, dan harus dihukum minimal buat mati. Aku menatap Brain (ya namanya benar-benar Brain, bukan Brian atau Brand), pengacaraku yang tak banyak bicara. Brain tampak tenang namun aku tau dia gelisah. Nuraninya lemah. Mayer, laki-laki paruh baya gendut, penasihat dari agensinya tersenyum-senyum kecil sambil melihat padaku. Dia mungkin mengira kami punya kemungkinan lolos.
Satu-satunya yang tak kusukai adalah kerumunan orang banyak yang akan melontarkan ratusan pertanyaan (tentu saja jurnalis-jurnalis ganas yang sama hausnya dengan pemangsa itu yang ku maksud) atau, ya, orang-orang lain yang berusaha meludah di wajahku di depan pilar utama ruang persidangan. Seorang saksi, yang sebelumnya berada di kursiku sekarang ini, dituduh sebagai pembunuh gila dan dicap bejad oleh seluruh masyarakat, Solemn Remis, menatapku nanar dari balik tirai pintu keluar saksi. Beberapa orang masih menuduhnya sedang sebagian lagi berubah menjadi pembenciku sekarang. Sungguh ketenaran yang tidak baik.
Tentu, bebas sekalipun aku tetap tidak akan diterima mengajar di universitas lagi, dan tidak ada restoran yang berani menerima resepku. Tapi disini aku, terlihat seperti psikopat benaran, tersenyum tenang-tenang saja saat Jaksa muda itu tajam menudingku dan sisanya menunjukkan ragu-ragu dengan fakta. "Jangan terlihat seperti psikopat" itulah saran Brain yang kutahu meluncur dari lidahnya sungguh semata-mata karena begitulah perasaannya yg sebenarnya.
Fakta-fakta sampai sekarang masih begitu ambigu tapi orang-orang mulai menuduhku karena gaya dan rautku. "Anda tau saya juga penulis watak" kataku, yang di protes Brain karena dia melarangku keras untuk sekedar bersuara. "Jadi, saya kira ini memang karakter saya atau bawaan sedikit karakter tokoh skenario saya (menyelami terlalu dalam, bukankah seharusnya? Kan aku penulisnya), anda tentu tahu saya menulis untuk opera 3 juga (saya menulis terlalu banyak)" kataku santai, dan luwes. Brain sudah putus asa padaku, ia dari tadi mengeram-ngeram tapi sekarang sisa mendesah saja. "Maksud saya, saya sungguh tidak dapat mengerti lagi kalau tuduhan ini semata-mata dilandaskan karakter seseorang. (sehingga apalah beda kasus saya ini dengan tuduhan yang sebelumnya ditujukan kepada Mr. Remis) Jadi kalau saya penuh luka atau punya tato jadi lantaskah saya penjahat juga?" Hakim menatapku dengan pertimbangan, sedang jaksa, sama seperti ekspresi yang kerap ku terima akhir-akhir ini, muak dengan kata-kataku. "Tuan Hakim, kami pun tentu dapat berbicara tentang fakta supaya semua terlihat jelas. Itulah mengapa Mr. Brain dan saya butuh izin untuk melihat barang dan TKP" Brain terperanjat atas usahaku melangkahi perannya sebagai pengacara, aku tak perlu sampai ikut meyakinkan hakim, tapi tampaknya, seperti yang sudah ku duga, tuan hakim itu berpikir dalam kebijaksanaannya dan mengangguk "Tentu saja. Terduga pun relevan membicarakan fakta-fakta." dan keputusan diambil untuk kami boleh menyentuh barang-barang kotor itu, James Droge, si jaksa tampak membara di ujung sana. Dia merah padam, bahkan urat-uratnya terlihat jelas dari kursi kami, seperti hampir meletup. Brain bingung berekspresi senang atau sedih, tapi jelas-jelas Mayer menyalamiku. "Selamat Sir" katanya lalu di antara sepersekian detik mataku bertatap dengan anak korban, Aeleni Minhalf.
Aeleni Minhalf, anak Manester Minhalf, sejak lahir kaya setengah mampus. Aku tidak cukup peka untuk tahu dia tergolong manja atau tidak, tapi dapat dipastikan, dia hidup enak. Perawakannya tampan dan amat rapi, namun wajahnya memancarkan kepolosan sungguh-sungguh yang jarang kutemukan pada pemuda-pemuda sekitarku pada umumnya. Mungkin karena hidupnya tak 'seberat' anak tukang roti, atau sebagai contoh di lain tangan, mahasiswa kesukaanku Robert Cuan. Atau apabila dibandingkan dengan atlet tenis kebanggan kami, wanita tangguh, Abeta McNaggal. Tapi, bahkan jika dibandingkan dengan anak orang kaya lain yang berlatar kurang lebih sepertinya, si kembar Janice & Joyce Davies. Aeleni amat terpukul karena kepergian ayahnya, tapi linglung, bingung untuk berprasangka pada siapapun. Ia duduk rapi dan mendengarkan. Ia berkali-kali memegangi telinganya, yang kuyakin berdengung, akibat terlalu pusing akan meluapnya banyak informasi di kanan kiri. Seminggu pertama ia tampak begitu sedih, begitu hancur hati. Namun sekarang, ia lebih kepada sangsi akan apapun. Ia menatapku dalam seperti bertanya, benarkah kau itu? Tolonglah, selesaikan ini secepatnya.
_______
Kami memanggilnya kutu loncat, Marco Albertus, rekan sekerja, seorang yang cerdas, lincah, dan menariknya lagi ... jahat. Marco adalah penjilat yang ulung, aku tidak pernah melihat orang yang seterang-terangan itu menjilati orang lain, namun, tetap disukai. Aku bahkan, tanpa tahu atas dorongan apa, karena kerelaan hati saja, berkali-kali memberikannya access free trial menu-menu baruku di restoran-restoran, yang mana, kau perlu tahu, mahal. Aku bukan pemasak hidangan sehari-hari, tetapi karyaku adalah suatu tawaran baru, mereka dapat menikmatinya dalam balutan bahan-bahan eksklusif atau teknologi makanan yang tidak umum digunakan. Hanya ada di restoran-restoran tertentu, atau pada season tertentu. Dan jamuan mewah inilah yang kuberikan cuma-cuma kepada sebagian kecil orang, termasuk orang licik ini.
Sebuah kontradiktif bahwa aku pun menjadi terlena, bahkan ketika aku juga seorang penjilat, sejauh yg kutahu. Marco bukanlah penjilat biasa, ia menjilat bahkan kepada orang yang dianggap manusia-manusia lain, tidak penting. Ia bersalaman dan berbicara berjongkok dengan pengemis. Ia disukai oleh banyak kalangan, yang dipakainya untuk menaklukkan kalangan lain. Satu saja kelemahan Marco, bahwa ia tidak sepintar yang seharusnya, ia licik namun tidak jenius. Sehingga tajam tapi tidak signifikan. Tapi karena kelicikannya, ia mempekerjakan para jenius-jenius itu, tanpa upah. Kalau saja ia tampan, mungkin dia sudah melambung jauh. Untung saja dunia ini kadang-kadang, bisa adil.
Ia sekarang menemuiku, aku si tersangka penjahat ulung yang wajahnya sudah ada di TV dan surat kabar. Sedikit tambahan, sebentar lagi kemungkinan akan ditahan.
"Kekonyolan yang kutemui belakangan ini, adalah diriku sendiri" katanya sambil bersandar pada pintu "Kenapa harus juga kutemui kau, satu jendela saja terbuka dan orang akan bilang aku penjahat juga.”