SESUDAH MENJALANI PAGI YANG PENUH dengan roh badai, manusia kambing, dan pacar terbang, Piper semestinya hilang akal. Alih-alih, yang dia rasakan hanyalah ngeri.
Sudah dimulai, pikirnya. Seperti kata mimpi itu.
Piper berdiri di bagian belakang kereta perang bersama Leo dan Jason, sementara si cowok plontos, Butch, memegang tali kekang, sedangkan si cewek pirang, Annabeth, menyesuaikan alat navigasi perunggu. Mereka membubung di atas Grand Canyon dan menuju timur, angin sedingin es menampar-nampar jaket Piper. Di belakang mereka, awan badai yang mengumpul kian banyak saja.
Kereta perang itu menukik dan terguncang-guncang. Kereta perang tersebut tidak memiliki sabuk keselamatan dan bagian belakangnya terbuka lebar, alhasil Piper bertanya-tanya akankah Jason menangkapnya lagi jika dia jatuh. Itu adalah hal yang paling menggelisahkan sepagian itu bukan karena Jason bisa terbang, melainkan karena Jason mau memeluk Piper meskipun dia tidak kenal cewek itu.
Sepanjang semester ini Piper berupaya menjalin hubungan, mengusahakan supaya Jason menganggapnya lebih dari sekadar teman. Akhirnya Piper berhasil membuat si besar bego itu menciumnya. Beberapa minggu terakhir ini merupakan saat-saat terbaik seumur hidup Piper. Kemudian, tiga malam lalu, mimpi tersebut menghancurkan segalanya suara mengerikan itu, memberi Piper kabar mengerikan. Piper belum memberitahukannya kepada siapa-siapa, bahkan Jason pun tidak.
Kini Piper bahkan tak memiliki Jason. Rasanya seolah seseorang telah menghapus ingatan cowok itu, dan Piper terjebak dalam situasi “ulangi lagi dari awal” yang terburuk sepanjang masa. Dia ingin menjerit. Jason berdiri tepat di sebelahnya: mata biru langit itu, rambut pirang cepak, bekas luka yang menggemaskan di bibir atasnya. Wajah Jason ramah dan lembut, tapi selalu agak sedih. Dan Jason terus saja menatap cakrawala, bahkan tidak memperhatikan Piper.
Sementara itu, Leo bersikap menyebalkan, seperti biasa. “Ini keren banget!” Dia meludahkan bulu pegasus dari mulutnya. “Kita mau ke mana?”
“Tempat yang aman,” ujar Annabeth. “Satu-satunya tempat yang aman untuk anak-anak seperti kita. Perkemahan Blasteran.
Blasteran?” Piper seketika jadi waspada. Dia benci kata itu. Dia sudah terlalu sering dipanggil blasteran setengah Cherokee, setengah kulit putih dan panggilan itu tak pernah merupakan pujian. “Apa itu semacam lelucon payah?”
“Maksudnya kita ini demigod,” kata Jason. “Setengah dewa, setengah manusia fana.”
Annabeth menoleh ke belakang. “Kau sepertinya tahu banyak, Jason. Tapi, ya, kita ini demigod. Ibuku Athena, Dewi Kebijaksanaan. Kalau Butch, dia putra Iris, Dewi Pelangi.”
Leo tersedak. “Ibumu Dewi Pelangi?”
“Ada masalah?” ujar Butch.
“Tidak, tidak,” kata Leo. “Pelangi. Sangat macho.”
“Butch penunggang kuda kami yang terbaik,” kata Annabeth. “Dia pandai bergaul dengan pegasus.”
“Pelangi, poni,” gumam Leo.
“Kulempar kau dari kereta ini,” Butch memperingatkan. “Demigod,” kata Piper. “Maksudnya, kalian kira kalian ... kalian kira kami ini ”
Petir menyambar. Kereta perang bergoyang-goyang, dan Jason berteriak, “Roda kiri terbakar!”
Piper melangkah mundur. Memang benar, roda tersebut terbakar, bunga api putih melalap bagian samping kereta perang.
Angin menderu. Piper melirik ke belakang mereka dan melihat sosok-sosok gelap terbentuk di awan, para roh badai lagi- lagi berputar-putar menuju kereta perang hanya saja, kali ini mereka lebih mirip kuda daripada malaikat.
Piper mulai berkata, “Kenapa mereka ”
“Bentuk anemoi bermacam-macam,” kata Annabeth. “Terkadang manusia, terkadang kuda, tergantung seberapa kacau mereka. Pegangan. Ini bakalan kasar.”
Butch menyentakkan tali kekang. Kedua pegasus mempercepat laju mereka hingga secepat kilat, dan kereta perang itu pun melejit. Perut Piper serasa merangkak ke kerongkongan. Penglihatannya jadi hitam kelam, dan ketika penglihatannya kembali normal, mereka sudah berada di tempat yang betul-betul berbeda.
Samudra kelabu dingin terbentang di sebelah kiri. Ladang, jalanan, dan hutan berselimut salju terhampar di kanan. Tepat di bawah mereka terdapat lembah hijau, bagaikan pulau terpencil saat musim semi, dikelilingi oleh perbukitan bersalju di ketiga sisinya serta perairan di utara. Piper melihat sekumpulan bangunan yang mirip seperti kuil Yunani kuno, griya besar, lapangan bola, danau, dan tembok panjat yang sepertinya sedang terbakar. Tapi sebelum dia dapat mencerna semua yang dilihatnya, roda kereta mereka copot dan kereta perang itu pun jatuh dari langit.
Annabeth dan Butch berusaha mempertahankan kendali. Kedua pegasus susah payah menahan kereta perang agar tetap melayang, namun mereka tampaknya kelelahan setelah melaju secepat kilat; dan menanggung beban kereta perang serta bobot lima orang, tampaknya terlalu berat buat mereka.
“Danau!” teriak Annabeth. “Arahkan ke danau!”
Piper teringat sesuatu yang pernah diberitahukan ayahnya kepadanya, bahwa menabrak air sesudah jatuh dari lokasi yang tinggi sama menyakitkannya seperti menabrak semen.