Jakarta, 2009
Rima mengerjapkan matanya perlahan, kepalanya masih terasa sakit. "Tante udah gapapa?"
Rima langsung menoleh ke arah samping terlihat Farel yang begitu khawatir. Ia langsung mengingat bagaimana kondisi anak, mantu dan cucunya
"Gimana anak saya, mantu dan cucu saya?" tanya Rima dengan nada khawatir.
"Nadhira baru saya cek sudah di ruang rawat tante, ada anak buah Nino yang sedang jaga disana," jelas Farel.
"Anak saya?"
"Dinda sedang dalam ruang operasi, semoga operasinya lancar."
Rima mendengar penjelasan dari Farel merasa sesak di dada, ia harus menerima kenyataan menyakitkan anak satu-satunya. "Saya mau ke Dinda."
Suara getaran dari ponsel Farel, ia segera mengambil dari saku celananya langsung mengangkatnya.
"Nino?"
"...."
"Segera kesana."
Farel segera mematikan telpon dan berjalan keluar dari ruangan. Tetapi langsung di jegat oleh Rima.
"Nino kenapa?"
"Nino kritis di ICU, Tante. Saya mau kesana," jelas Farel.
"Saya mau kesana."
Rima dan Farel segera menuju ruang ICU yang sebelumnya di tangani di ruang IGD. Disana sudah ada Mila, sekertaris Nino yang standby disana.
Rima hanya melihat dari kaca ruang ICU saja, ia melihat dokter sedang memainkan alat kejut jantung beberapa kali. Rima kini hanya bisa berdoa untuk kesembuhan anak, mantu dan cucunya.
Rasa sesak di dada, jika saja ia datang ke ulang tahun Nadhira dan tidak mengurus butiknya terlebih dahulu pasti semua tidak akan seperti ini. Ia bisa mencegah Dinda untuk menyetir sendiri saat keadaan sedang panik.
Farel menyuruh Rima untuk duduk saja di ruang tunggu depan ICU, Rima syok berat dan Mila mencoba menenangkan. Sesaat Dokter keluar dari ruang ICU.
"Gimana keadaannya?"
"Mohon maaf, pak Nino sudah tidak bisa di selamatkan."
Seketika Rima langsung lemas dan terduduk di bawah lantai, air matahya pun telah terkuras banyak. Farel langsung sigap memegang tubuh Rima yang mulai tak berdaya. Ia membopong berjalan ke kursi ICU.
Rima berjalan menghampiri Nino yang sudah tebujur kaku di ranjang, perawat yang ingin menutupi wajahnya di cegah oleh Rima.
"Nino, Nak," lirih Rima, ia tidak kuat menahan air matanya ia tidak menyaka akan kejadian seperti ini.
"Gimana dengan Nadhira dan Dinda kalau nggak ada kamu, Nino."
"Bangun, Nak."