Sepupuku yang paling baik,
Terima kasih untuk buku-surat yang baru beberapa menit lalu kuterima dalam kotak suratku, dan aku lang-sung membukanya. Untuk kali ini, aku tidak akan bercerita tentang keadaanku di sini karena sore ini ada kejadian yang kualami dan tak bisa kulupakan. Makanya aku harus segera menulis kepadamu meskipun tanganku gemetar. Tapi, kamu masih tetap bisa membacanya, kan?
Ini tentang perempuan misterius itu, yang kau jumpai di Sogndal. Sungguh! Ya ampun, bagaimana aku harus memulainya?
Aku sedang berdiri di dermaga, saat kapal jam dua tiba. Kami di sini baru mulai sekolah pada hari Senin dan tak terlalu banyak yang dilakukan. Lalu ia datang, kamu ngerti kan maksudku, ia yang pertama turun ke darat. Saat berpapasan denganku, ia memandangku dengan tatapan “aku tahu siapa kamu”. Aku belum membaca suratmu, tapi aku teringat pada pertemuan kita dengannya di Pondok Flatbre dan memutuskan untuk mengikutinya—dalam jarak yang aman. Aku tak mengerti, mengapa aku berani melakukannya. Tapi, aku seolah terhipnotis olehnya agar mengikutinya. (Sekarang, pasti kamu tahu betapa gemetarnya tanganku!) Saat melintasi gereja, ia menengok ke belakang. Aku sampai harus menjatuhkan diri ke selokan. Dan, saat kami melewati Mundalsdalen, beberapa kali ia menengok lagi, tapi kurasa ia tak memperhatikanku.
Ingatkah kamu pada tembok bergerbang itu? Di sana ia belok ke kanan, masuk ke rumah kuning yang benarbenar terpencil di pinggir hutan. Aku bersembunyi di balik tembok dan sekaranglah inti ceritanya: saat ia membuka pintu rumah, tiba-tiba ada sesuatu melayang jatuh dari tas tangannya. Dan, saat itu pula ia lenyap ke dalam rumah.
Aku begitu gelisah hingga tak sanggup lagi berpikir. Pasti begitulah perasaan orang saat pertama kali menangkap basah sebuah kejahatan. Sedetik kemudian, aku sudah berdiri di depan pintu rumah itu, laksana perampok bank bertopeng yang tiba-tiba muncul di de-pan loket dan berteriak, “Ini perampokan!” Ini memang bukan sebuah perampokan, aku pun tak berteriak apaapa dan sama sekali tak bertopeng, tapi aku memegang sebuah amplop robek di tanganku lalu melompat kembali ke balik tembok. Di dalam amplop itu ada sepucuk surat yang berbunyi:
Bibbi yang baik,
Sepagian aku jalan-jalan di kota, tetapi toko barang antik yang unik itu tak bisa kutemukan. Apa mungkin sudah tutup sejak kemarin? Yang kutahu, ia terletak di salah satu gang sempit di dekat Piazza Navona. Di sanalah aku berkeliling-keliling ....
Waktu itu, aku tengah berburu Peer Gynt edisi bahasa Italia. Tapi, saat mendengar bahwa aku orang Norwegia, pemilik toko membawaku ke sebuah lemari buku tua dan memperlihatkan kepadaku sebuah buku yang sampulnya tampak sangat berbeda dari sampul buku-buku lainnya. Yang itu masih sangat baru.