Begawan Mintarga membuka matanya secara berlahan. Seperti yang sudah di tebak, bintang kejora bersinar paling terang diantara semua rasi yang ada, matanya lalu beralih ke pemandangan yang ada di bawahnya, lampu-lampu teplok rumah penduduk terlihat samar dan remang-remang jika dilihat dari batu besar tempatnya bertapa dari puncak bukit.
Suara desau angin, percikan air terjun yang turun terdengar mengisi sunyi. Begawan Mintarga menghela nafasnya panjang, petunjuk Dewata kali ini terasa aneh dari sebelumnya. Jika biasanya yang datang menemuinya cahaya Dewata maka kali ini, yang dia temui oleh sosok berwarna putih keperakan yang mirip dengan seekor ular besar.
Sosok itu memiliki tanduk panjang bercabang di atas kepalanya. Sisiknya yang berwarna putih keperakan membuat Begawan Mintarga melihatnya dengan mata setengah terpejam karena silau, dia memiliki sejenis bulu surai panjang hampir di seluruh tubuhnya memiliki sepasang surai mirip kumis dan empat kaki yang salah satu kaki depannya membawa sebuah benda bulat bercahaya.
Makluk mengerikan itu mengaku jika dia bernama Sang Hyang Antaboga. Dia adalah penguasa dasar bumi dan samudra. Dia baru saja pulang dari perjalanannya dari swargaloka dan dimintai tolong oleh para Dewata untuk menemuinya. Sang Hyang Antaboga akan menyampaikan pesan Dewata padanya.
“Kiranya, pesan apakah yang ingin disampaikan oleh para dewa pada hamba yang hina ini, Sang Hyang Antaboga?” tanya Begawan Mintarga dengan suara berat, karena menahan getar ketakutan yang melanda jiwanya. Dia sudah pernah bertemu dengan banyak makhluk selain manusia, mulai dari setan, jin, siluman bahkan para raksasa tapi baru kali ini dia merasa bulu kuduknya merinding begitu melihat makluk menyeramkan di depan matanya.
Dia juga ragu jika makhluk di hadapannya ini adalah utusan Dewata. Karena cahaya Dewata yang dia tahu, begitu terang tapi tidak menyilaukan, sejuk, lembut dan menenangkan jiwa. Tidak kasar dan menyeramkan seperti makluk yang sekarang muncul di hadapannya.
Rupanya keraguan-raguan itu terbaca oleh Sang Naga.
“Mintarga, keragu-raguan bisa membuat cilaka!” ujarnya dengan suara parau tak menyenangkan.
“Mohon ampuni hamba Sang Hyang Antaboga, hamba hanya khawatir yang akan hamba temui bukanlah utusan para Dewa tapi iblis yang menyamar untuk melemahkan iman hamba.”
Mendengar penjelasan dari Begawan Mintarga, Sang Hyang Antaboga tertawa terbahak-bahak, surainya melayang-layang terlihat mengerikan. “Para Dewata sudah tahu akan jawabanmu, karenanya mereka memberikan aku ini, Mintarga!” tiba tiba saja salah satu kaki Sang Hyang Antaboga yang awalnya tidak membawa apa-apa telah memegang sebuah padma. Bunga teratai itu terlihat bercahaya, cahayanya begitu meneduhkan seperti yang pernah di lihatnya dalam mimpi saat dia mendatangi swargaloka.
“Apa ini sudah cukup Mintarga? Iblis, setan, jin, raksasa dan sejeisnya tidak akan bisa memegang dan memetik Padma yang ada di taman sari Swargaloka!”
Resi Mintarga mengangguk, sejak melihat padma yang di bawah oleh Sang Hyang Antaboga keragu-raguan di dalam hatinya lenyap dan langsung pupus, terhapus.
“Begawan Mintarga putra angkat dari abdi kerajaan Maespati, Djatiwalu. Apakah kau sudah siap menengar pesan Dewata untukmu?”