Terompet majupati terdengar hampir dari seluruh sudut istana kerajan Maespati, mengabarkan tanda duka ke seluruh negeri.
Kebo Anabrang, mahapati Maespati menundukkan kepalanya. Dia masih tidak menyangka jika raja yang bertahta selama lima belas tahun terakhir ini harus mati muda di usianya yang baru empat puluh tahun karena penyakit aneh yang belum ada obatnya. Puluhan tabib istana, dukun hingga para begawan datang dari segala penjuru negeri hanya untuk mengobati raja tapi penyakit yang raja derita bukannya sembuh malah bertambah parah dan kini merenggut nyawanya.
Gayatri, permaisuri raja Alam Braja Sukma terlihat tertunduk dengan perut yang makin membesar dalam busana gagampangnya. Rasa iba menggelayuti hati Kebo Anabrang. Kenapa tidak, itu semua karena si jabang bayi yang ada dalam perut Gayatri sudah di tinggal oleh ayahnya jauh sebelum dia di lahirkan.
“Gusti Patih, kita perlu bicara tentang pemakaman mendiang Baginda Raja dan semua upacaranya,” ucap Candrasengkala penesahat kerajaan. “Tidak baik membuat seorang Maharesi menunggu lebih lama lagi dari ini.”
Kebo Anabrang mengangguk, dia memanggil salah satu dayang istana. “Tolong jaga permaisuri.”
Kebo Anabrang keluar dari tempat persemaian tubuh mendiang raja Alam Braja Sukma diikuti oleh Candrasengkala tapi sebelum benar-benar pergi dia menyempatkan diri meminta tolong pada salah seorang pendekar wanita dari pasukan Kembang Kemara juga lebih dari selusin pasukan Lestari untuk menjaga sang permaisuri Gayatri.
“Kembang Kemara dan sekelompok Lestari?” tanya Candrasengkala dengan kening berkerut heran karena tidak biasa-biasanya melihat Kebo Anabrang bersikap sewaspada ini. “Gusti patih, apa yang sebenarnya gusti khawatirkan?”
“Semuanya Candrasengkala,” jawab Kebo Anabrang pendek. Setelah memastikan Gayatri, aman dan di jaga, barulah Kebo Anabrang mengajak Candrasengkala benar-benar pergi menuju ke balairung istana.
****
Balairung istana telah ramai oleh wajah-wajah sedih dan sendu dari semua punggawa istana namun hal itu sedikitpun tidak berhasil membuat Kebo Anabrang merasa tenang. Ada sesuatu di balik kematian sang raja terasa mengkhawatirkannya, meskipun pangeran Swarpakala sang putra mahkota di rasa sudah cukup siap untuk menjadi seorang raja tapi tetap saja sebagai seorang Mahapatih, dia memiliki kekhawatirannya sendiri. Baginya semua kekhawatiran yang ada dalam hatinya merupakan petunjuk Dewata jika sesuatu yang besar dan mengerikan akan segera terjadi.
Kebo Anabrang duduk di manik merta. Manik merta adalah singgasana khusus untuk seorang patih. Manik merta singgasana milik Kebo Anabrang tidak memiliki ukiran naga dan burung garuda melainkan kepala harimau dan tetaka yakni seekor ular melata besar.
Selain berbeda ukuran dan ukiran, kedua singgasana ini jelas memiliki arti yang berbeda. manik maya memiliki arti jika seorang mahapatih akan menjadi seseorang yang paling dipercaya oleh raja yang harus membantunya memikirkan rakyat, melindungi rakyat dan tunduk patuh dan melindungi raja dan keluarga raja dalam keadaan apapun, termasuk jika harus mengorbankan nyawanya sendiri Singgasana ini lebih kecil dari pada singgasana raja yang di sebut dengan indralaya.
Dan singgasana raja atau indralaya berbentuk seekor naga besar yang memiliki dua kepala, dan diatas naga itu ada patung seekor burung garuda besar dengan sayap yang sedikit melengkung seakan si garuda siap memeluk melindungi siapapun yang menduduki singgasana yang terbuat dari emas itu, sedang naga berkepala dua merupakan perlambang sang penjaga arah mata angin, karena raja harus menjadi kekuatan untuk menangkal dan memberi perlindungan pada rakyatnya dari segala hal yang buruk.
Semua punggawa istana telah duduk di tempatnya masing-masing, yakni sebuah tilam berwarna merah. Letak dan ketinggian tilam itu tergantung dari pangkat masing-masing punggawa, mulai dari para patih, adipati, penasehat kerajaan, panglima hingga para pendekar dan cerdik cendikiawan yang bebas bersuara memberi nasehat pada raja, namun diantara semuanya yang paling terhormat adalah dua resi agung istana.