Salah seorang prajurit Lestari yang ditugaskan melindungi permaisuri, datang tergopoh-gopoh ke balairung istana. Kedatangannya langsung membuat heboh semua punggawa istana yang ada di sana, karena selama ini tidak pernah ada seorang prajurit istana ratu datang ke balairung istana.
“Prajurit lestari?” Candrasengkala melihat ke arah Kebo Anabrang dan prajurit wanita itu secara bergiliran. Kebo Anabrang menganggukkan kepalanya, tanda mengizinkan prajurit wanita itu masuk ke dalam balairung istana.
Prajurit wanita itu masuk dengan khidmat, semua mata memandang kearahnya dengan pandangan penuh ingin tahu. Mereka penasaran apa yang membawanya ketemtap ini, setelah memberi hormat pada Kebo Anabrang dan Maharesi, prajurit istana ratu itu mulai bicara. “Gusti patih, ampuni kelancangan hamba yang datang tiba-tiba tanpa izin lebih dulu.”
“Tidak masalah, katakan padaku ada masalah apa?” tanya Kebo Anabrang dengan tidak sabar.
“Apa ratu sudah mau melahirkan?” tanya maharesi Agyasaka ikut bicara.
“Bukan itu gusti patih, maharesi.” Jawabnya masih dengan kepala menunduk.
“Lalu?”
“Gusti ratu, ingin melakukan pati obong.”
Semua yang ada di sana serentak berseru kaget. Karena Pati obong adalah ritual kematian yang dilakukan oleh seorang janda untuk mengikuti suaminya dengan mati dibakar hidup-hidup, hal ini sebenarnya sudah biasa di lakukan tapi masalahnya adalah sang ratu tengah hamil besar dan mungkin beberapa hari lagi anak yang dia kandung akan segera di lahirkan.
“Ini gila!” desis Kebo Anabrang dengan menahan geram.
“Bukan gila, gusti patih. Ratu hanya bersikap setia.” Jawab Wirasesa setengah mengejek. “Gusti ratu bahkan tidak perduli dengan kehamilannya, bukankah itu hal yang bagus?”