Istana Ratu terletak di sisi barat istana, dengan beberapa pavilion khusus yang di bangun dari batu bata dan batuan andesit khusus yang bisa di ukir, dengan ukiran yang sangat halus dengan atap berundak yang menjulang tinggi, terbuat dari jerami dan genteng-genteng tanah liat. Di kiri kanan gerbang istana ratu terdapat dua patung besar Dwarapala alias patung besar penjaga gerbang yang berbentuk sosok raksasa lengkap dengan gada di tangannya. Patung ini berguna untuk melindungi tempat ini dari berbagai musibah.
Begitu kebo Anabrang masuk ke istana ratu, matanya langsung di manjakan dengan kolam-kolam istana yang berwarna hijau kebiruan dengan air yang terus memercik dari pot-pot yang di pegang oleh patung-patung bidadari. Beberapa kolam dihiasi dengan tanaman teratai yang cantik.
Beberapa orang dayang langsung yang baru keluar dari pura, mereka sepertinya baru selesai beribadah atau mungkin baru saja selesai membersihkan tempat ibadah itu, tapi pertemuan mereka justru membuat Kebo Anabrang makin gusar, karena pakaian para dayang yang sudah berubah, mereka semua sepertinya sudah siap untuk mati mengikuti keputusan sang ratu untuk mati bersama baginda raja.
“Sepertinya aku harus meminta para prajurit menyiapkan banyak kayu bakar, gusti patih.”
Mendengar ucapan maharesi Jalendra, Kebo Anabrang semakin cemberut dan bergegas masuk ke dalam istana ratu. Kepalanya benar terasa penuh, dia bukan hanya harus mempersiapkan penobatan raja, upacara kematian mendiang raja dan sekarang dia harus membujuk rayu sang ratu agar membatalkan keinginanya untuk mati demi jabang bayi yang tengah di kandungnya.
Begitu mereka sampai di depan pavilion ratu, Kebo Anabrang tidak mau menunggu lebih lama lagi. Dia langsung menobros masuk dan menuju kekamar ratu dengan tetap diikuti oleh kedua maharesi. Sesampainya dia di depan pintu kamar Ratu, Kebo Anabrang langsung dihadang oleh pasukan penjaga ratu. Salah seorang perempuan muda berwajah tegas dari pasukan Kembang Kemara langsung mengusungkan keris beracunnya di hadapan Kebo Anabrang.
“Gusti patih, tuanku hanya boleh sampai di sini!” hadangnya dengan tegas.
"Aku harus masuk jika kamu masih menghadang….”
“Tidak pantas untuk seorang lelaki berada di kamar wanita yang merupakan ratunya, tuanku!” ujar prajurit wanita itu lagi lalu dia memberi kode ke beberapa teman-temannya dan langsung saja tiga belas tombak, sebelas parang dua belas keris beracun dan seratus panah beracun terarahkan pada Kebo Anabrang dan rombongannya yakni maharesi Agyasaki dan maharesi Jalendra.
Melihat semua senjata itu terhunus ke arah mereka, kedua tetua penasehat raja itu mundur beberapa langkah tapi tidak dengan Kebo Anabrang, lelaki berusia empat puluh lima tahun itu malah melepaskan mahkota patih yang ada di kepalanya, hiasan melati dari mahkotanya bahkan terputus saat dia melemparkan mahkotanya ke lantai.
Kedua tetua istana hanya bisa melongo melihat kelakuan Kebo Anabrang, begitu juga dengan hampir seluruh pasukan kembang kemara. Beberapa diantara mereka bahkan terlihat mengendurkan pertahanannya sedang prajurit kembang kemara yang pertama kali menghadang Kebo Anabrang sedikitpun tidak bergerak, dia malah tersenyum mengejek.
“Apa pun yang tuanku lakukan, lakukanlah. Tapi aku lebih baik mati dalam tugasku dari pada membiarkan seorang lelaki asing masuk kedalam istana seorang ratu yang juga seorang janda. Jika tuanku menganggap hamba lancang, bunuh saja hamba, tapi hamba akan tetap berada disini untuk membela kehormatan ratu!”
“Terimakasih prajurit, aku hargai kesetiaanmu. Tapi, aku datang tidak untuk menemui ratu, mahkotaku aku lepaskan sebagai tanda jika aku kemari bukan sebagai seorang patih tapi kakak kandung seorang ratu. Seorang kakak yang ingin berbicara pada adiknya.”
Setelah berkata seperti itu, Kebo Anabrang langsung berlutut. Tingkahnya tentu saja mengagetkan semua orang yang ada di sana, tidak terkecuali sang ratu yang baru keluar dari kamarnya karena mendengar semua keributan itu.
Ratu Gayatri terlihat sangat cantik, dia sudah berhias seperti seorang calon pengantin. Hiasan wajahnya, baju kebesarannya dan mahkota ratunya yang dihiasi dengan jalinan bunga melati membuat sang ratu bertambah cantik.
“Kangmas, kenapa kangmas kemari?” tanya Gayatri dengan suara serak yang parau begitu dia melihat Kebo Anabrang yang tengah berlutut.
“Tinggalkan kami berdua!” perintah Kebo Anabrang semua yang ada di sana.