Giri, elang yang terbang dari pertapaan Giriwarsa, melayang dengan lembut di bahu Kebo Anabrang, yang sedang melakukan doa. Kebo Anabrang membuka matanya begitu elang kecil itu mematuk telinganya dengan lembut.
"Giri? Begawan Mudarsana, memintamu kesini malam-malam begini?" tanya Kebo Anabrang dengan heran karena tidak biasanya sang Begawan melakukan hal seperti ini. Sepertinya, Begawan Mudarsana mendapatkan petunjuk buruk dari para dewata.
Karenanya, Kebo Anabrang lalu bangun dari duduknya, mengambil secangkir air dan memberikan air itu pada si elang, Giri kembali mematuk jemari Kebo Anabrang tanda protes, dia butuh makanan, setidaknya seekor tikus kecil, ular atau kadal. "Aku minta maaf, Giri. untuk saat ini aku hanya ada buah-buahan, dan jika kamu mau kamu boleh makan," ujar Kebo Anabrang tapi Giri memalingkan wajahnya tanda marah, burung pintar itu menghentakkan kakinya beberapa kali dengan tidak sabar seakan ingin menunjukkan surat dari Begawan Mudarsana pada Kebo Anabrang secepatnya.
Kebo Anabrang tersenyum, dia mengambil surat yang dikirimkan Begawan Mudarsana padanya, setelah Kebo Anabrang mengambil surat untuknya, Giri langsung mengepakkan sayapnya dan kembali menghilang.
“Gusti patih, lintang kemukus sudah terlihat kelihatan. Bencana besar seperti mimpi hamba akan segeradatang dan sampai saat ini kita tidak tahu siapa anak yang akan ditakdirkan oleh dewata untuk menjadi titisan yang akan melindungi maespati dan seluruh nusantara. Harap gusti patih bisa membaca pertanda lain yang mungkin terlihat agar bisa menyalamatkan kerajaan dari marabahaya.”
Hati Kebo Anabrang mencelos, otaknya serasa buntu seketika tapi hanya beberapa saat. Setelah itu Mahapatih Maespati itu langsung membakar surat dari Begawan Mudarsana diatas bara api. Jika hal buuk akan segera terjadi, maka satu-satunya hal yang harus dia lakukan adalah menyelamatkan takta, meskipun harus mengorbakan nyawanya sendiri. Hanya itu jalan satu-satunya yang ada di kepalanya saat ini.
****
Pangeran Swarpakala terbangun dari tidurnya ketika benda sedingin besi menempel tepat di lehernya. Matanya melebar dan terbuka lebar begitu dia melihat seseorang yang menggunakan topeng berukir khusus milik prajurit Baruna, prajurit elit istana pengawal khusus raja telah berada di dekatnya dengan pedang terhunus. Pemuda berusia lima belas tahun itu langsung ketakutan dan pipis begitu dia menyadari apa yang sebenarnya terjadi.
Ketika pangeran yang ketakutan dan terkencing-kencing, si pria bertopeng itu tertawa terbahak-bahak dan berkata dengan nada keras hingga suaranya memantul ke seluruh kamar pangeran di Swarpakala.
"Pangeran yang malang. Saya tahu Anda ketakutan tetapi tenang saja. Aku tidak akan membunuhmu, tetapi jika kamu ingin hidup, jangan dengarkan perintahku ini." "Kamu, Swarpakala, tidak akan mau menjadi raja dan memilih untuk menunjuk saudaramu pangeran Kripala untuk menjadi raja."
“Ta….”
“Aku tidak ingin dibantah pangeran,” ujar pria bertopeng itu. “Bantahan, berarti lehermu akan makin terluka. Jika tidak ingin kepalamu putus dengan urat-urat yang menghamburkan darah seperti seekor kerbau di sembelih, maka ikuti perintahku, pangeran!”
Pangeran Swarpakala makin ketakutan, dia mulai merasakan perih di lehernya karena kulit yang teriris dan darah hangat mengalir dari kulitnya yang terbuka.