Hari itu mendung dengan dingin yang menggigit, kabut tebal menutupi sebagian besar penglihatan Wirasesa. Ajag, anjing hutan belantara yang berukuran sedang, berwarna cokelat kemerahan hingga bagian bawah dagu, leher dan ujung perutnya berwarna putih dengan ekor yang panjang berbulu tebal kehitaman telah menggonggong dengan ricuh.
Wirasesa akhirnya tiba di benteng Gahana, benteng itu berada di daerah selatan Maespati. Benteng itu terbuat dari bebatuan alami dengan ketinggian lebih dari tiga puluh meter berbentuk melengkung seperti ombak dan berwarna hitam. Konon, bebatuan ini diciptakan oleh kesaktian Ajisaka, leluhur para raja Maespati sekaligus inkarnasi dari dewa Wisnu yang datang untuk membunuh dan mengalahkan Dewatacengkar. Konon pula, Dewatacengkar adalah iblis pemakan manusia yang pernah menguasai Aruna Dwipa, dan dan ketujuh pulau terbesar lainnya.
Namun, diantara semua pulau hanya benteng Gahana lah yang mendapat penjagaan ketat, karena menurut prasasti Inggil yang pernah di tulis di zaman Ajisaka, Ajisaka mengatakan jika Dewatacengkar hanya akan masuk melalui benteng Gahana, karena benteng ini adalah jalan untuk menghancurkan seluruh nusantara, karenanya mereka harus terus bersiap pada semua kemungkinan terburuk.
Suara suling, gong, gamelan dan alat musik lainnya terdengar, para prajurit penjaga benteng Gayana yang sering di sebut dengan Jayeng Astra, rupanya tengah bersenang-senang dengan menonton wayang kulit, ada yang tengah menari bersama beberapa penari wanita, dan lainnya asik meminum arak dan tuak yang wanginya tercium hingga jarak yang cukup jauh.
Banuseta, salah seorang prajutit Jayeng Astra menemui Wirasesa. Aroma tuak menyebar dari seluruh tubuhnya, hal itu membuat Wirasesa mengernyit tidak suka.
“Raden mas, kenapa datang tanpa memberi tahu lebih dulu?”
“Mana keponakanku, Banuseta? Aku ingin bertemu dengannya.”
“Pangeran sedang bersenang-senang raden, sudah lama kami tidak bersenang-senang seperti ini.”
Wirasesa langsung menoleh, dia mencari ke segala arah tapi dia tidak menemukan pangeran Kripala.
“Banuseta!”
Banuseta datang tergopoh-gopoh menemui Wirasesa, dia meminum tuaknya lebih dulu sebelum bicara pada Wirasesa.
“Keponakanku Banuseta!”
:Di dalam pondok itu Raden, bersama tiga penari tercantik di daerah ini.”
Mendengar ucapan Banuseta, Wirasesa langsung bergegas menunju pondok yang ditunjuk oleh Banuseta.
****
Pangeran Kripala tertawa melihat kedua perempuan yang bertubuh telanjang itu tengah berciuman dengan liar. Sang pangeran baru akan berciuman dengan perempuan ketiga saat pintu pondok itu terbuka dengan paksa.
Ketiga perempuan itu langsung menutupi tubuh mereka dengan kain seadaanya, pangeran Kripala yang baru akan mengumpat hanya tertawa begitu melihat pamannya.
“Paman Wirasesa, apa paman tidak bisa mengetuk pintu lebih dulu?” tanyanya dengan tangan yang menyusup ke dalam kain salah satu perempuan itu.
Wirasesa menahan geram begitu dia melihat perempuan itu mengerang kenikmatan. “Ayahmu baru saja meninggal, Pangeran dan yang pangeran lakukan adalah bersenag-senang seperti ini?” tanyanya dengan emosi, tapi matanya tak lepas dari ketiga penari yang bersama dengan pangeran Kripala itu.
“Ini caraku untuk berduka, paman!” ucap pangeran Kripala dan kembali berciuman dengan perempuan lainnya. “Jika paman mau, paman bisa meniduri salah seorang penari di luar, asal jangan mereka. Karena mereka bertiga adalah milikku!”
“Pangeran, raja baru akan segera nobatkan.”
“Lalu?”