The Maid of Ghost

Springkel9
Chapter #1

Wanita Malang

Ini adalah akhir dunia bagi Louisa Peterson. Matanya bahkan tidak dapat membedakan warna hitam jalanan dan terangnya warna kuning dan oranye dari pepohonan maple yang berbaris rapi mengapit jalanan. Langkahnya terseok sembari menarik koper pakaian, dia jadi seperti zombi putus asa yang sudah cukup lama tidak mendapatkan makanan dan memutuskan menjadi vegetarian. 

Pakaian berantakan yang melekat di tubuh Louisa memberikan kesan dia adalah bagian dari jalanan. Secara resmi, dia memang akan segera menjadi tunawisma.

Jaket kulit hitam yang mengelupas di beberapa bagian, barang murahan yang dibelinya beberapa tahun lalu, baju kaos mencekik perut bergambar Jack O Latern, meski Hellowin sudah berlalu dan hanya meninggalkan sampah labu-labu oranye di tempat pembuangan. Dan celana jeans biru pudar dengan sayatan di beberapa bagian, dia pernah menganggap celana itu sangat modis dan mengoleksi beberapa, sampai semuanya terlihat tidak memiliki arti. 

Angin beraroma lembab mengelus wajah Louisa, ia hafal betul aroma ini, hujan akan turun sebentar lagi. Angin melewati kepalanya juga, tetapi tidak sehelai pun yang melambai, rambut merah itu terlalu kaku. Wajahnya pun pucat dengan lelehan maskara di kedua pipi, dia sudah pantas menjadi Mad Hatter di dunia nyata. Louisa mewarnai rambutnya dengan tujuan kekasihnya, Louise yang sudah menghadiri hubungan mereka secara tidak menyenangkan, menyesali keputusannya. Hasilnya dia gagal dan makin terpuruk. Louisa berjanji dia akan mengubah penuh penampilannya dari sosok penyihir menjadi peri negeri dongeng dan membalas perbuatan Louise, meski sekarang semua jelas hanya mimpi belaka.

Louisa menghela napas kesal, langkahnya terhenti, roda kopernya tersangkut. Dia mengangkatnya sedikit lalu kembali berjalan. Selain kopernya, Louisa juga menggendong ransel tua yang isinya mengintip keluar karena resleting tua mengajukan pensiun. Isinya adalah barang-barang random yang bisa dia dapatkan sebelum terusir keluar dari rumah. 

Cupid adalah satu-satunya yang Louisa salahkan, kepalanya barang kali terbentur sesuatu saat menembakkan panah asmara hingga dia tergila-gila pada Louise, pria berkacamata, mata kelabu dan senyuman lebar. Konyol memang, mereka jatuh hati karena kesamaan nama dan harapan bisa mengukir L kuadrat pada undangan pernikahan. Hubungan mereka berjalan hampir tiga tahun, sebelum akhirnya Louise memilih Amy Waren, Puteri pemilik hotel tempat Louisa bekerja. Semua orang di sana tahu betapa indahnya hubungan Louisa dan Louise lalu mulai mengujing berbagai hal tidak jelas membunuh dirinya perlahan, dia tahu semua atas tekanan dari Amy. Louisa mengalah dan pergi, dengan kecewa dan utang pada Louise. Dia pulang ke rumah setelah tinggal selama empat tahun di mess karyawan, sebulan cukup nyaman sampai badai lain datang.

Orang Tua Louisa, Mr. Mrs Peterson yang terhormat sangat menayangi Rupert, si tupai pirang, kakak Louisa dari Rahim yang sama. Mereka memanggilnya permata berharga, meski wajahnya tidak berkelas sama sekali. Setelah menamatkan Pendidikan terakhir di jenjang SMA, dia memutuskan untuk merantau ke kota lain dengan harapan pulang membawa uang. Malangnya, dia malah menumpuk utang dan membuat Louisa bekerja keras untuk melunasi semuanya, bahkan dia harus meminjam Sebagian dari Louise. Dia kira mereka akan menikah, utang terhapus.

Kenyataannya, tidak. Dan hari ini, Rupert kembali membawa seorang gadis cantik dan bayi mungil dalam gendongan. Louisa meminta uangnya dikembalikan dan dia bisa membayar utang pada Louise, justru dia ditendang keluar dari rumahnya. 

“Kau bukan anak kecil lagi, Louisa,” kata terakhir sang Ibu sebelum menutup pintu, “hidupi dirimu sendiri!” 

“Aku memang bukan anak kecil!” desah Louisa, dia menoleh kopernya tersangkut lagi. Dia menengadahkan kepala ke angkasa, titik hujan jatuh tepat mengenai ujung hidungnya. “Sungguh?” teriakan pecah bersama tetes hujan yang makin banyak. 

Louisa kalang kabut mencari tempat berteduh, dia tidak ingin membah sakit sebagai bebannya hari ini. Mata hijau pudarnya bergerak ke sana kemari sebentar lalu berhenti tepat pada sebuah halte bus. Louisa mempercepat langkah dan mendapatkan tempat untuk duduk dan melemaskan kakinya yang kelelahan setelah berjalan tak tentu arah selama berjam-jam.  Dia meletakan koper dan tasnya di sebelah kanan lalu bersandar pada ujung tiang pembatas, mengarahkan tatapannya pada jalanan sepi. 

Seorang tampak kabur diterpa air hujan, berjalan tertatih melintasi jalanan. Louisa menegakkan kepala memfokuskan pandangan. Jelas terlihat seorang wanita dalam terusan merah muda membawa tongkat berusaha menyeberangi jalan. Louisa menatap orang di sekiranya bergantian. Wanita muda berisik yang sibuk menelepon, pria tua bertongkat tampak acuh dan pria lain berjas sama sekali tidak peduli. 

Louisa jarang berpikir, menyadari semua orang memilih diam, dia bangkit menyambar ponsel dari saku tas, satu-satunya barang berharga yang dia miliki berlari menerobos hujan. Wanita yang dia temui memakai terusan merah muda dengan topi di kepala, wajah keriputnya pucat pasi dan sekujur tubuh bergetar hebat.  

“Mam, biarkan aku membatumu!” ucap Louisa sembari meraih tangan sang Wanita. 

Wanita itu mengangguk, pelan. Mendadak matanya terbuka lebar, dia menghela napas panjang, pegangannya pada Louisa tergelincir dan dia jatuh lemas. Louisa sempat melingkarkan tenaganya pada pinggang sang wanita tua, hingga dia bisa menahan sedikit sebelum terbentur pada aspal keras. 

“Mam!” Louisa menepuk pipi bulat Wanita itu secara kurang ajar. Dia takut sekaligus panik, bagaimana kalau dia malah di salahkan? 

“Stupid Lou!” Louisa menepuk jidatnya sediri lalu meraih ponsel menghubungi nomor darurat, dia perlu ambulance. 

Sembari menunggu ambulance dengan orang-orang yang masih tidak peduli, Louisa melepaskan jaketnya menutupi kepala Wanita di pangkuannya, dia tidak tahu lagi harus berbuat apa, dia payah dalam hal-hal berbau medis begini.

Kelegaan terpancar setelah raungan keras sirene datang menghampiri. Dua petugas medis, satu Wanita dan seorang pria sigap membawa pasien ke tandu, Louisa ikut membatu untuk terakhir kali, sebentar lagi semua selesai. Namun, telapak tanganya digenggam erat. 

“Kau harus ikut bersama kami,” ucap petugas Wanita. 

Lihat selengkapnya