Louisa tidak pernah seberuntung ini. Dia mendapatkan pekerjaan dengan gaji luar biasa besar, cukup tiga atau empat bulan kalau dia bisa mengatur keuangannya baik, utang pada Louise selesai dibayar. Tugasnya hanya mengurus sebuah rumah tua, sesulit apa itu.
Meri Mason bahkan sudah membayar uang bulan pertama. Louisa yang terus mendapatkan desakan dari Louise sepanjang minggu melalui pesan dan telepon mengganggu, akhirnya mampu membayar. Setelah rekeningnya mendapatkan transfer. Dia sisakan untuk makan dan mungkin sebuah coat murah untuk menghadapi musim dingin nanti. Sebelum mendatangi tempat barunya, dia berbelanja.
Dua syarat mudah Meri Mason jabarkan di dalam rumah, pertama tidak boleh ada teh dan kedua, tidak ada televisi di sana. Meri tidak mengatakan apa alasannya, lagi pula Louisa tidak begitu peduli. Semalam dia menginap pada salah satu montel dibayar oleh asisten Meri sebagai ucapan terima kasih atas pertolongan Louisa sebab Wanita kaya itu lari dari pengawasannya dan tekad berjalan sendirian.
Hari ini menjelang sore, di bawah naungan Oktober akhir, Louisa duduk nyaman di dalam taxi dengan kopi panas di tangan menuju alamat yang sudah ditulis Meri Mason pada secarik kertas. Louisa hanya mengamati jalanan, memastikan saat dia membutuhkan sesuatu dia tahu jalur yang benar.
Kompleks perumahan padat berganti menjadi rumah-rumah yang terpisah, kemudian hutan pinus panjang, sampai ban mobil berhenti tepat pada sebuah gerbang hitam tinggi. Louisa menanyakan lagi pada sang sopir, kalau-kalau ini bukan alamat yang mereka tuju, sang sopir dengan yakin menjawab dia tidak salah, dan lagi nomor rumah di sisi gerbang terlihat sangat jelas.
Bukan masalah besar, Louisa meyakinkan dirinya sendiri untuk turun.
Seorang pria dengan wajah pucat, perut mengembung mirip balon dan mata yang terus-menerus berkedip menghampiri Louisa dengan senyuman kaku.
“Ms. Peterson?” sapanya ragu.
Louisa mengangguk dan menerima uluran tangan sang pria. “Louisa.”
“Ah, Terence Stark.” Tangan gemuknya menggengam tangan Louisa erat sesaat.
Meski sebentar, Louisa merasakan tangan gempal Terence begitu dingin menusuk hingga ke dalam tulang jemari.
“Aku tukang kebun di sini. Dan ini ....” Terence merogoh kantong jaketnya dan mengeluarkan setumpuk kunci. Dia menyerahkannya pada Louisa. “Aku sudah menandai setiap kunci dengan nama ruangan masing-masing agar kau tidak mengalami kesulitan.”
Kunci-kunci itu beragam dan berat ketika ditimang. Jika kunci saja sebanyak ini, seberapa besar kira-kira rumah di dalam? Louisa mencuri pandang ke balik punggung Terence di antara cela pagar, rumah di dalam terlihat sekilas, tua dan berlantai dua.
“Di mana Anda tinggal Mr. Strak?”
“Rumahku tidak jauh dari sini, tetapi aku hanya ada di sini selama tiga bulan sekali, memangkas tanaman yang tinggi atau menanam benih … itu sudah aku lakukan dan sisanya aku akan berada sangat jauh dari sini.”
Louisa mengangguk, rasanya sudah cukup mengenai Terence dan berusaha fokus pada rumahnya. “Ini rumah sungguhan?”
“Tentu. Rumah ini dulunya rumah utama keluarga Mason. Setelah keluarga mereka mengalami kemajuan, rumah ini diwariskan pada anak pertama,” jelas Terence terburu-buru seakan ingin segera pergi. Terence merogoh kantong bajunya lagi, mengambil selembar kertas. “Ini adalah daftar nama orang yang bisa kau hubungi jika terjadi kerusakan pada apa pun di dalam, semisal kerusakan pipa atau pemanas ruangan.”
“Terima kasih.” Louisa mengamati kertas cokelat lusuh dengan tulisan menggunakan pensil, dia mungkin harus menyalin ulang semuanya sebelum terhapus.
“Aku rasa Mrs. Mason sudah menjelaskan padamu apa yang tidak boleh kau lakukan di dalam.”
Louisa mengangguk, dia mengingat semuanya dengan sangat jelas.
“Kalau begitu, Silakan!” Terence mendorong gerbang, mempersilahkan Louisa untuk masuk. “Selamat bekerja Louisa, sampai jumpa.” Terence benar-benar berlari pergi begitu Louisa masuk ke dalam rumah. Louisa yang melupakan barang-barangnya kembali keluar dan Terence sudah menghilang.
“Dia pelari hebat,” pikir Louisa selagi menarik koper melewati gerbang. Dua pohon cemara tumbuh di masing-masing tepi gerbang. Di bagian kiri, pohon breach dengan dedaunan mulai menguning berjejer rapi, di depannya petak-petak bunga berbaris. Di bagian kanan, sebuah tempat kosong, yang barang kali tempat parkir dan sebelum tembok, ada pohon cemara tumbuh berjauhan. Jendela bagian kanan dikelilingi oleh ivy rambat dari bawah hingga nyaris mencapai atap lantai kedua. Sedangkan sebelah kiri hanya bagian atas saja yang dirambati.
Kuncup-kuncup bunga musim gugur bertebaran pada petak-petak bunga, Louisa melihat Gamphrena dan verbena mencolok dari yang lain. Cukup baginya mengagumi halaman luas dan model rumah inggris Klasik ini, dia mulai meneliti tumpukan kunci mencari kunci pertama. Beberapa menit sampai dia berhasil menemukan kunci pintu utama. Sampai akhirnya sebuah kunci berwarna emas dengan label pintu didapatkan.
Sebelum memutar gagang pintu, Louisa mengetuk pintu kayu dua kali dan merapatkan telinganya di sana. Gema bersuara di dalam, jika ada sahutan dia akan segera berlari pergi. Kecemasannya tidak terjadi, dia mendorong pintu hingga terbuka sepenuhnya. Angin dingin melintasi pipinya begitu cepat, aroma lembab menusuk hidung, tersangkut di tenggorokan. Louisa berpaling ke arah lain, menghirup udara bersih hingga tenggorokannya lega kembali.
“Should I give up?” Louisa mengelus dada. Dia kembali mendekati pintu, mengamati keadaan di dalam. Kegelapan pekat terkurung di dalam sana. Darah Louisa berdesir, dia tidak memikirkan apa pun mengenai isi rumah ini. Louisa melepaskan kopernya di sisi pintu lalu berlari cepat ke arah jendela menarik tirai hingga terbuka dan cahaya mata hari cerah di luar masuk, lalu dia mencari sakelar lampu dan menyalakannya hingga isi ruangan ini terpampang jelas. Dindingnya dilapisi wallpaper hijau tua dengan motif ivy putih Hanya sebuah ruangan kosong memanjang tanpa perabot kecuali tungku api di depan pintu yang menjadi akses ke ruangan lain.
Louisa menarik kopernya masuk, dan baru menyadari sesuatu, sepatunya tenggelam dalam lapisan debu. Mau tidak mau, dia mengangkat koper, menjunjung di atas kepala.
Kain-kain putih menempeli dinding lorong yang tengah dilewati Louisa. Kain-kain tersebut mungkin melindungi suatu dibaliknya, mungkin foto keluarga Mason, pikir Louisa. Dia menemukan dua pintu. keduanya dalam keadaan terbuka jadi dia tidak perlu mencari kunci.
Sebelah kiri dengan sebuah meja lebar beserta kursi, jelaslah ruangan makan dan sebelah kanan walau pun tertutup kain, pastilah ruangan tamu. Louisa menuju ruangan makan, dia menarik lepas kain penutup meja makan dan meletakan barang-barangnya di sana dan kembali menjelajah. Ruangan keluarga di sebelah ruangan makan terdapat tangga menuju lantai dua. Dari ruangan makan langsung menu pantry dan dapur. Lalu melintasi sebuah ruangan kosong di sisi ruangan tamu, Louisa menemukan sebuah kamar. dia berhenti di pintu, mengamatinya sesaat lalu berputar kembali ke ruangan keluarga.
Setiap langkah Louisa mencetak jejak. Dia hanya menyalakan lampu, tidak ingin membuka tirai jendela. Berbeda dari ruangan di bawah, lantai dua lebih ceria dengan warna dinding biru muda.
“Aku membutuhkan satu kamar untuk tidur malam ini,” kata Louisa sembari mengamati kunci di tangannya lagi. Terence sudah menandai setiap pintu dengan sangat baik, meski nyatanya semua pintu kamar dalam keadaan siap buka. Dia mendorong satu persatu pintu kamar dan mendapati semuanya dalam kondisi serupa, penuh jaring laba-laba, dan bulu-bulu isian batal juga kasur melayang seperti gumpalan salju di dalam ruangan.
Meski berantakan rumah ini tidak akan menangkal betapa kayanya keluarga Mason. Seingat Louisa, mereka memiliki peternakan besar penyuplai daging terbesar di sini, lalu sebuah hotel di tepi laut yang memang sangat jauh dari kota. Mereka juga menyewakan rumah musim panas. Intinya, masing-masing anak dari keluarga Mason memiliki usaha mereka sendiri. Louisa tidak akan mencari tahu lebi dalam lagi, semua hanya membuang waktunya dan lagi, saldo di rekeningnya tidak akan bertambah dengan mengenal keluarga Mason lebih jauh. Toh, perlakuan istimewa untuknya barang kali hanya berlaku di minggu ini dan hilang setelahnya.
Louisa menuruni tangga, kembali ke ruangan bawah mengingat hanya ada satu kamar yang tadi tidak dia buka. Pintu kamarnya bercat putih, dia mengamati pintu itu lebih dekat, ada ukiran terselip di pintu sepasang angsa menyatukan leher mereka hingga membentuk hati sempurna.
“Aku tidak bisa melihat hantu, hantu tidak bisa melukai manusia!” Embusan angin tertiup di leher kanan, tubuhnya bergidik.
Satu dorongan lembut, pintu terbuka. “Kamar ajaib!” kekaguman berlebihan memenuhi kepala Louisa, rahangnya seolah akan jatuh karena terlalu lama menganga.
Ruangan di depannya luar biasa besar dan dalam keadaan super bersih, tanpa kepengapan membaui.