Terjaga dari mimpi buruk, Louisa melompat dari sofa menatap keliling was-was jangan sampai sang hantu menampakkan diri lagi. Dari kaca jendela kotor, kegelapan sudah hilang di luar sana. Dia meneliti lantai, berusaha menemukan jejak darah atau sekedar aroma amis dari kejadian semalam. Tidak ada sama sekali. Louisa menekan kepala kuat, semua barang kali hanya mimpi. Mengatasi rasa penasaran, Louisa mendekati pintu kamar dan menemukan semua barang-barangnya berserakan di depan pintu. Dia memasukkan semuanya ke dalam koper terburu-buru dan berhenti sejenak, membenamkan tangan ke dalam helaian rambut, saat ditarik keluar malah tersangkut.
“Rumah ini bukan tempatmu, Lou,” katanya. “Tapi bagaimana caraku mengembalikan uang pada Meri Mason dan kesepakatan jiwa yang tidak aku pahami?” Tubuhnya lemas duduk di atas lantai berdebu.
“Sebulan ini ... untuk uang itu, akan aku lakukan!” Louisa menarik koper dan tasnya berjalan melewati ruangan kosong menuju ruangan keluarga tempat dia tidur semalam. Dia berjalan menuju dapur hendak membasuh wajahnya di wasttafel saja. Gelap sekali di belakang, jadi dia membuka pintu dapur yang mengarah ke taman belakang. Ada pintu lain di sisi dapur, Louisa menemukan sebuah pintu lain, tidak terkunci. Sebuah kamar kecil tidak sebanding dengan ukuran kamar lain di dalam rumah ini. Lantainya memang berlapis debu, tetapi tipis saja hanya sedikit lembab. Penyebabnya jelas daun jendela yang terbuka. Ada lemari pakaian Sebuah meja. Dindingnya bercat abu-abu kusam. Ruangan ini membangkitkan kembali semangat Louisa. dia bergegas mengambil sapu dan kain pel, mulai membersihkan kamar. Dia menemukan tiga pasang pakain pelayan di dalam lemari, dia belum memindahkan pakaiannya sendiri ke dalam sana agar tidak kerepotan kalau-kalau harus berlari pergi.
Dari semua makanan yang mendadak membusuk, papan telur dan isi kotak sereal, susu bubuk dan telur di pantry utuh. Lega rasanya dia bisa sarapan . walaupun tanganya terus bergetar di setiap suapan. Bagaimana kalau mendadak isi mangkuk berubah. Benar saja, setelah isi mangkuk habis setengah, mendadak benda biru polkadot itu terbalik. Isinya tumpah ruah di meja. Serela warna-warni berbentuk lingkaran bertebaran di atas meja membentuk tulisan, “tikus, ruangan bawah tanah.”
Louisa mengigit bibir. Sisa sereal yang tidak terkunyah dengan baik lengser ke tenggorokan serentak. Segera dia mengambil air, dan memukul dada. Misi pertama sudah muncul. Louisa seumur hidupnya jarang sekali menyakiti hewan dan tumbuhan, seekor nyamuk sekali pun. Saat terpaksa harus melakukanya dia akan meminta maaf berulang kali seperti orang sinting.
“Pintu? Di mana aku menemukan pintu masuk?” Louisa menatap keliling teliti. Semenit dia menunggu, tidak ada jawaban. Sudah jelas dia harus menemukan jalan masuk sendiri. Terlebih dahulu sebelum mulai mencari, Louisa membereskan meja dan mencuci semua piring kotor.
Bagian dalam rumah terkecuali dapur, adalah lantai kayu. Mudah ditemukan, pintu itu ada di antara ruangan keluarga dan pantry.
Ada banyak kemungkinan mengenai isi ruangan bawah tanah dengan kejelasan akan adanya ratusan tikus di bawah sana. Louisa mempersiapkan diri sebelum turun ke dalam sampai mengosongkan ransel perlengkapannya. Lututnya juga nyaris copot karena mengebut mengayuh sepeda membeli perlengkapan dan makanan baru untuk dirinya dengan uang yang tersisa. Sekaligus saja dia membeli makanan kaleng dan kering untuk bekalnya selama satu bulan ini.
Louisa mengisi ransel dengan beberapa barang, senter yang kebetulan ada di dalam ransel batery cadangan, selai kacang, sebuah roti tawar, selembar kain putih penutup meja makan. Dia kesusahan menemukan tali jadi melepas tali sepatu. Dan tempat sampah berat dari dapur. Louisa juga merobek lembaran kertas di buku agendanya dan menulis, “hantu dilarang masuk.”
Konyol, Louisa tahu itu tetapi dan mencegah kemungkinan pintu mendadak tertutup dan dia mati terkurung di dalam sana, kehabisan oksigen.
Lampu menyala terang saat Louisa menekan sakelar lampu. Sontak seisi ruangan di bawah tanah terpampang. Hanya rak penyimpanan botol minuman dan beberapa kotak kayu bertebaran di beberapa tempat, Bayangan soal ribuan tikus menyerang tidak terjadi. Louisa menuruni anak tangga perlahan dan mulai menjelajah. Tikus yang dimaksud sang hantu barang kali tersembunyi dan saat dia tidak menemukan mereka artinya di gagal. Sekaligus saja dia turun membawa perangkat kebersihan ke bawah.
Louisa menyapu bersih sudut bagian kanan lalu mengangkat kotak-kotak kayu berat satu persatu ke sana setelah dibersihkan, begitu pula dengan rak botol. Kotak terakhir, punggung Louisa rasanya sudah terlepas di dalam. Saat diangkat, satu ekor tikus besar dan dua anaknya meloncat dari dalam. Kotak kayu terlepas dari pegangan Louisa, jatuh berdentum di lantai, dia tidak bisa membayangkan kalau benda itu malah menimpa kakinya, remuk semua tulang di sana.
Tiga ekor tikus menyebar ke dalam ruangan. “Aku tahu ini akan terjadi.” Louisa menepuk dada. Dia membuka ranselnya mengambilnya kain membentangkannya di lantai lalu mengolesi selembar roti baru dengan selesai kacang. Kemudian dia memiringkan tempat sampah, menahan dengan garpu agar sedikit membuka. Pada pertengahan garpu, diikatkan salah satu ujung tali sepatu dan dia pegang salah satu sisinya.
Selai kacang adalah makanan yang paling mudah menarik perhatian para tikus. Tak berapa lama, ketiga tikus merapat masuk ke dalam naungan tempat sampah. Louisa menarik tali, garpu terlepas, para tikus terperangkap. Ketika masih kecil, Louisa dan Rupert biasa melakukan hal ini untuk menangkap burung pipit untuk kesenangan belaka. Sisanya, Louisa menarik kain, ketika tikus masuk tempat sampah. Dia segera berlari keluar tanpa meninggalkan apa pun di ruangan menakutkan itu.
Tikus di dalam tong sampah terus bergerak dan mencicit. Louisa menyeka keringatnya berjalan menuruni tangga di sisi pintu dapur. Mustahil jika melepaskan mereka di halaman rumah ini, bisa saja masuk lagi ke dalam. Mau tidak mau, dia mengambil sepedanya lagi mengayuh cukup jauh dari rumah dan melepaskan tiga tikus ke dalam hutan pinus. Benar-benar menguras tenaga.
Membersihkan ruangan bawah tanah dan mengayuh sepeda di bawah cahaya matahari membuat tubuh Louisa kepanasan, basah oleh keringat. Rasa tidak nyaman dengan baju menempel di kulit menguar, ia harus mandi.
Louisa memasukkan pakaian kotornya ke dalam keranjang cucian sementara, mencucinya nanti, dia ingin istirahat dulu.
Rasanya seperti ini, semua tulang di balik pungung retak, tengah hari paling melelahkan. Louisa merasa kantuk memenuhi kedua mata, ia akan segera terlelap. Berisiknya suara telepon mengusir kantuknya seketika. Ia melompat turun dari tempat tidur, berlari cepat ke ruangan keluarga tempat suara telepon berasal.
“Kediaman Mason,” Louisa menjawab.
Meri Mason yang berbicara dari seberang, Louisa mendengar sungguh-sungguh.
“Anda akan datang malam ini?” Mata Louisa mengintari ruangan. Rumah ini tetap seperti gua di tempat antah berantah.
“Baik, Mam.” Louisa meletakan gagang telepon. Tidak ada waktu untuk beristirahat, dia harus membersihkan lorong depan dan ruangan tamu secepat mungkin. Kali ini dia mengingatkan kain basa pada ujung sapu mendorong debu keluar melalui pintu depan. Berjam-jam, Louisa memaksakan diri membersihkan dua tempat. Setelahnya dia kembali mandi dan menggunakan gaun birunya menunggu Meri Mason melakukan kunjungan.
“Mungkin aku harus menghubungi Mrs. Mason menanyakan jam berapa tepatnya dia akan berkunjung.” Louisa meninggalkan dapur. Dia mengangkat gagang telepon dan baru menyadari, kabel telepon tersebut putus.
“Sial,” Louisa mengumpat. Baru beberapa hari dan ini yang dia hadapi. “Aku ingin pergi tapi utangku? Oh stupid Lou!” Louisa berjalan menuju kamar, melepaskan gaun menjadi baju biasa mengempaskan diri ke kasur.
Dua minggu pertama rasanya seperti neraka. Banyak sekali kertas-kertas tugas muncul. Seperti membersihkan jendela, memangkas tanaman Ivy di luar, mencuci mobil di garasi, mencari bunga segar dan meletakannya di pintu kamar setiap pagi, mematikan semua lampu dan menggantinya dengan lilin merah dari gudang barang.
Minggu ketiga Louisa ingin membunuh dirinya sendiri, mimpi buruk terus menghantui, malam tak lelap, pagi pun harus bangun terburu-buru mencari bunga. Ini benar-benar gila. Belum lagi sepanjang waktu ini, hanya habis untuk membersihkan lantai satu, bersih hari ini besok hari dia, besok hari ruangan kembali ditempati debu berlapis-lapis tebalnya.
Semua hal gila ini membunuhnya dari dalam. Musim dingin datang, mata hari mulai jarang bersinar dan kengerian di dalam rumah ini makin menjadi. Impian Louisa untuk mengubah diri gagal total nyatanya dia makin kurus menyerupai tengkorak hidup.
Salju di malam kedua turun sangat lebat, seluruh halaman memutih. Dingin menusuk hingga tulang, malang dia mendapatkan selembar kertas terpempel di depan kulkas untuk tugasnya yang baru dan dia harus ke luar.
Kaki Louisa yang berbalut sepasang kaus kaki ganjil dan sandal rumahan terbenam di dalam salju. Napas beku mengembus dari dalam mulut, tubuhnya berbalut sebuah tudung merah, bekas pakaian helowind menjadi Little Riding Hood. Tugas pertama ini sungguh keterlaluan, berburu apel di hutan belakang. Sejauh mata Louisa memandang, hanya ada pinus dan semak mawar kering.
“Berjalan lurus mengikuti jalan setapak yang diapit oleh pohon pinus, belok kanan, lalu ke kiri!” ulang Louisa perlahan mengingat petunjuk sang majikan.
“Tidak ada pohon apel sama sekali di sini!” raung Louisa. “Hantu sialan, apa dia sedang mengandung sampai menginginkan apel di tengah musim dingin begini? Dia bahkan tidak dapat merasakan apa-apa, dia hanya bayangan! Menjadi hantu saja luar bisa merepotkan, apa lagi saat dia masih hidup. Oh, aku tahu, dia sedang menjebakku.” Mata Louisa nyalang meneliti deretan pepohonan. Beginilah skenario sang hantu, tidak ada pohon apel sama sekali sebenarnya, dia hanya membiarkan Louisa berjalan tidak tentu arah, lalu tersesat dan mati beku.
“Terlalu memalukan mati di tangan hantu itu! Kau bisa Louisa Paterson! Hnatu itu bukanlah tandingan … ah, jantungku!” sosok kepala tanpa tubuh kembali melintas.
Louisa mengempaskan dirinya di atas salju, duduk termenung dengan mata memindai sudut demi sudut tempat luas di depannya.
“How?” Takjub sekaligus tidak percaya menghampiri, dari tempatnya duduk, tertangkap titik merah menggantung tidak begitu jauh.
Louisa bangkit tergesa-gesa, dia ingin mempercepat langkah malah tersandung dan jatuh terbenam ke dalam salju. Kembali berdiri, dia memuntahkan salju dingin yang masuk ke dalam mulut, sangat tidak beruntung.
“Begini kira-kira rupa apel dari Ibu Tiri Snowhite,” gumam Louisa menimbang apel merah besar di telapak tangan. “Jelas sekali, dulu dia adalah penyihir, dan jiwanya terkutuk hingga terkurung di dalam rumahnya. Sangat tragis. Oh Lou, kau jauh lebih baik dari dia.”
Apel berpindah ke dalam keranjang rotan cokelat yang menggantung di siku kanan Louisa sedari tadi. Kemudian, dia mulai menggulung benang wol putih yang tersembunyi di balik jubah merahnya tadi. Benang wol putih, satu gumpalan besar hadiah ulang tahun dari Louise setiap tahun selama mereka berpacaran dengan harapan Louisa bisa merajut seperti ibunya. Louisa bukan tipe penyabar yang teliti menghitung jumlah rajutan meski dia tahu bagaimana merajut. Hebat, hadiah itu akhirnya berfungsi meski melenceng dari harapan.
“Aku akan mengucapkan terima kasih pada Louis jika aku bertemunya untuk hadiah ini,” ucap Louisa. Kakinya terus bergerak, membawanya kembali ke gerbang halaman belakang tempat dia mengikat ujung benang.
Tubuh Louisa nyaris tidak merasakan apa-apa setelah dia masuk ke dalam rumah, Indera perasanya mungkin telah ikut beku. Dia berlari ke tungku api, buru-buru memasukkan kayu tambahan di atas bekas-bekas arang sisa semalam, dia berjuang menyalakan korek, tanpa hasil.
“Aku mati, aku mati, aku mati!” Tangan Louisa terus bergetar hebat. “Siapa pun tolong aku!” keluhan tidak tertahan.
Suara aneh terdengar datang dari cerobong asap, makin dekat dan satu entakkan asap hitam ke luar dari cerobong hitam menyembur Louisa hingga dia terjungkal ke belakang.
Susah payah dia kembali duduk, api sudah menyala dan sebuah pesan tertulis di lantai yang menghitam.
“Kau tidak tersesat?”
Mata Louisa terbuka lebar, dadanya membusung, dugaannya benar. “Jadi tujuan awalmu memang membuatku tersesat dan mati beku?”
“Hah, lantas apa artinya, ‘kau tidak tersesat?’Auch!” Louisa memegang telinga kanannya, sakit seperti ditarik oleh tangan Ibunya.
Tulisan lain muncul, “kenapa kau tidak berlari ketakutan sama seperti yang lain?”
“Karena aku bukan mereka!” Louisa tidak sadar volume suaranya sangat besar. “Sudah lah, mungkin memang jiwaku adalah makananmu! Bunuh saja aku!”
“Kenapa?”
“Banyak hal, jika aku lari dan kehilangan pekerjaan ini aku tetap akan mati di luar sana, tanpa keluarga, aku bahkan dicampakkan oleh kekasihku, dia lebih memilih wanita berlipstik hitam dengan rambut mengerikan yang baru dia temui sekali! Bunuh aku!”
Louisa merentangkan tangan dan kepalanya menengadah ke atas. Mungkin akan tercekik, atau ular hitam jatuh menimpanya.
Suara gesekan besi menundukan kepala Louisa, dia melihat ke arah pintu dapur, pisau-pisau dapur melayang dalam kecepatan tinggi ke arahnya.
“Oh, dam!” keluh Louisa. Matanya kemudian terpejam memasrahkan diri. detik berikutnya, benda logam itu jatuh berkelontang di lantai.
“Mengapa?”
Sayup-sayup bisikian terdengar di telinganya. “Kau bukan pertunjukan yang menarik! Sekarang letakan apel itu di kamarku!”
Louisa mendesis, bahkan hantu menilai penampilannya. Tragis.
“Ular hitam piaramu masih di sana, ambil dan bawa sendiri!” balas Louisa gusar. Meski demikian dia tetap berdiri. Setengah berlari dia menuju kamar, menendang pintu melemparkan apel ke atas kasur lalu kabur kembali ke tungku api.
Louisa melepaskan mantel bekunya, lalu mendekat ke tunggu api. Kedua telapak tangan nyaris menyentuh api, seolah jilatan penari merah itu tidak akan melukai kulit.
“Kau tidak berniat membakar diri ‘kan?” bisikan halus kembali mengudara.
Peduli apa hantu itu, pikir Louisa tanpa menyuarkannya. Dia memilih tidak menanggapi. Kehangatan akhirnya membuatnya membaik dia melangkah ke dapur yang sudah kembali bersih menyalakan kompor, merebus air dalam Koper pakaiannya masih di sana, tempat ponselnya tersimpan. Dia merayap meraih ponsel memesan makanan, dia belum makan apa-apa sejak tadi. Terlalu malas untuk memasak.
Bel tua bersuara nyaring memekkan mengejutkan Louisa hingga ponsel jatuh dari tangannya.
“Sebaiknya kau bergegas!” bisikan halus itu kembali.
Louisa menarik napas, menyeret tubuh lemah kelaparannya ke depan.
Merry Mason tersenyum lebar dalam balutan jaket biru berbulu. Terlihat sangat mahal di mata Louisa, dia tidak akan mampu membelinya meski menjual ginjal sekali pun.
Di balik punggung wanita itu, sosok jangkung berjaket hitam berdiri.
“Silakan masuk!” Louisa melebarkan pintu. Dia mencuri pandang melihat ke arah si pemuda jangkung. Mata elangnya menatap Louisa tajam, senyuman di bibirnya langsung surut. Pria itu jelas tampan tetapi terlihat tidak akan mau bersahabat atau melihatnya sama sekali.
“Kau baik-baik saja, Ms. Peterson?” tanya Merry setelah melihat-lihat lukisan anakannya yang mengkilap.
“Yah, Mam. Oh, tolong panggil aku Louisa saja.”
“Kau membutuhkan barang lain selain penyedot debu?”
Louisa menggeleng. Sejauh ini hanya itu yang dia perlukan.
“Julian!” Marry menoleh pada dinding kosong, tersenyum. “Kau tidak boleh mengatakan hal buruk.”
Loisa terperangah, matanya bahkan tidak mau berkedip, sampai pria jangkung tadi menyenggol lengannya.
“Apakah Anda ingin dibuatkan minuman?” tawar Louisa ragu. Dia hanya memiliki kopi dan susu di belakang.
“Air hangat untukku dan kopi untuk Diaval. Aku akan berada di kamar Julian.”
“Baik.”