Sam terlelap di sofa, Louisa ingat dia sudah tertidur dari pukul sebelas sampai sekarang hampir pukul tiga sore. Jejak kelelahan membekas di tubuh remaja itu, paling jelas adalah lingkar hitam di bawah matanya, dia mungkin menghabiskan malam-malamnya untuk bekerja tambahan.
Louisa mengurus pengiriman beberapa pengiriman di jadwal Sam, hanya tersisa dua plastik makanan. Dia mengirim menggunakan taxi. Setelah urusan Sam selesai, dia kembali fokus pada pekerjaannya sendiri. Perubahan lain terjadi di rumah ini, seakan sudah mau menerima kehadiran Louisa, Julian tidak mengembalikan kondisi tempat yang sudah dibersihkan Louisa dalam keadaan buruk lagi. Dia juga menemukan sebuah kamar di bagian belakang. Sempit saja, berisi single bad, selimut yang cukup untuk melewati musim dingin, sebuah lemari kosong dan nakas cokelat. Jelas ini lah kamarnya.
Salju kembali turun di luar. Louisa jadi betah saja duduk di depan tungku api sembari menjahit jaket abu-abu Sam yang sobek pada beberapa bagian. Belum ada rencana melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya.
“Apa yang kau lakukan?” bisikan halus timbul tenggelam terdengar. Louisa bergidik sedikit dan menemukan ketengannya kembali.
“Menolong.” Louisa mengingat simpul pada jahitan terakhir. Gunting tergeletak beberapa kaki dari tempatnya duduk. Malas rasanya mengubah posisi duduknya, Louisa memilih menggigit ujung benang. Malang dia kepayahan. Mendadak saja, gunting bergerak ke arahnya.
Mata Louisa memindai ruangan, sang hantu mendadak jadi baik begini, aneh dan menimbulkan kecurigaan. “Terima kasih,” ucap Louisa pelan. Dia selesai menjahit lalu melipat jaket Sam. Sam menggeliat di sofa, terbangun beberapa menit setelahnya.
Sam menatap Louisa, rona merah mengambil alih wajah yang pesonanya ditutupi rambut berantakan.
Louisa menggelengkan kepala, dia tidak akan membakar wajah Sam lebih merah lagi. “Kau kelelahan, Sam. Tidur membuatmu lebih baik.”
Sam menurunkan kakinya lalu membenamkan kepala di telapak tangan.
“Terima kasih, Lou. Selama ini aku nyaris bekerja tanpa istirahat.”
“Lupakan Sam. Kita senasib ….” Mata Louisa bergerak cepat memindai ruangan, takut mendapatkan jeweran lagi.
Aku sudah menyiapkan kamar mandi jika kau ingin membersihkan diri dengan air hangat dulu.”
Sam mengangguk. Tangan Louisa mengarah ke kamar mandi tamu. Sam mengangguk dan segera berjalan ke sana. Louisa menyisihkan makanan pesannya tadi untuk Sam. Dan makan malam nanti, dia bisa pergi berbelanja setelah membenahi pakaian di kamarnya, dia yakin bisa bertahan satu bulan lagi. Uang di kantong sisa beberapa lembar terakhir.
Sam tidak begitu lama di kamar mandi, dia keluar dengan keadaan lebih segar. Dia pamit pulang dan Louisa mengantarnya sampai ke depan gerbang.
“Kembali kapan pun kau mau,” ucap Louisa pada Sam saat mengatarnya ke luar, “atau hubungi aku kapan pun.”
“Tentu,” balas Sam. Matanya memicing tiba-tiba, lalu air wajahnya menjadi sedikit aneh.
“Ada masalah?” tanya Louisa.
Sam menggelengkan kepala.
“Ah, Majikanku, apa dia menitipkan pesan … maksudku mengatakan sesuatu?”
“Dia mengatakan, ‘katakan pada Peterson jangan bersisik saat kembali bekerja.”
“Yang benar saja!” dengus Louisa. “Aku tidak akan berisik lagi nanti, aku akan berbelanja. Katakana pada Julian, jangan menyentuh makananku lagi, membuat mereka membusuk!”
Sam lagi-lagi tersenyum. “Aku tidak perlu mengatakannya, Lou. Dia sudah mendengar semuanya.”
“Oh!” Louisa terperanjat. “Sungguh di mana pria bercelana ketat itu?”
“Sebelah kananmu, di atas pot bunga,” terang Sam.
“Di sini?” Pot bunga raksasa setinggi bahu Louisa, tertutup salju berwarna kuning gading. “Bagaimana ….” Kalimat Louisa menggantung, pipinya keburu mengembung, gelitikan mengusik kepalanya kala membayangkan sang majikan mengangkat kaki panjang ke atas.
“Kau sadar dia itu hantu bukan?” Sam memutar bola mata.
Tawa Louisa yang hampir meledak tertelan kembali. “Tentu dia melayang, bukan menaikinya.” Merasa lucu dengan kalimatnya sendiri, dia akhirnya tidak mampu menahan tawa.
“Oh, Lou dia benar-benar ingin mencekikmu sekarang.”
“Tidak, tidak!” Louisa melambaikan tangan ke udara. “Sudah lah. Ah, Sam kembali lah untuk makan malam nanti. Bagaimana?”
“Aku harus ….”
“Bekerja benar.” Jujur Louisa kecewa. Dia menyukai keramahan Sam dan memang sangat membantu dia menangani sang majikan, tetapi dia tidak bisa memaksa juga.
Keajaiban terjadi begitu Louisa masuk kembali ke dalam rumah. Ruangan yang berulang-ulang dia bersihkan selama ini dalam keadaan bersih.
Louisa mulai dari toko pakaian membeli jaket dan pakaian nyaman baru dua pasang, piama dan juga seprai baru untuk kamarnya. Kemudian, dia menuju supermarket membeli bahan makanan, sabun, dan perlengkapan kebersihan.
Dua kantong belanja besar akhirnya membuat dia sendiri kepayahan.
“Ah ya!” Louisa teringat sesuatu, dia buru-buru berjalan menyeberangi jalan menuju toko mainan membeli abjad dadu agar mudah berbicara dengan Julian. Lebih baik dibandingkan harus melihat darah dan potongan daging.