The Memories of Algebra

Bentang Pustaka
Chapter #2

Sebuah Amplop

Seorang cewek berambut ikal yang diikat satu berlari dengan peluh membasahi tubuh. Ia sama sekali tidak memedulikan teriakan orang-orang di sekitar. Mata sipitnya terus menatap ke depan. Ia tidak berhenti meski kakinya nyaris terasa seperti jelly. “Davia! Semangat! Lari lebih cepat!” kata seorang perempuan berusia akhir 30-an tahun yang memakai kalung peluit di leher.

“Sudah dua putaran, lebih banyak dari minggu lalu!”

Cewek yang dipanggil Davia itu kemudian mengangkat tangan. Ia berhenti dan menarik napas lebih dalam. “Bu, boleh nyerah?” tanyanya terengah.

Bu Ida, perempuan berkalung peluit itu, mengangguk dan mengacungkan jempol ke arahnya. Ia mengerti badan muridnya itu istimewa, berbeda dengan yang lain dan tidak bisa dipaksakan agar memiliki ketahanan seperti teman-temannya.

Davia menjatuhkan tubuh di pinggir lapangan dengan kaki sengaja diluruskan. Ia mengipas-ngipas pelan. Di belakangnya, terdapat dua teman sekelas yang sibuk mengomentari kejadian tadi.

“Davia nggak nyampe lima putaran lagi. Kegendutan, sih,” kata cewek berambut pendek dengan poni menutupi kening.

“Ya gimana lagi, badannya kegedean. Gue heran sama dia, gue aja udah ngerasa gendut, masa dia nggak?” jawab temannya yang berambut lurus sepundak.

“Nggak punya malu kali,” kata si cewek berponi tadi.

Tawa cekikikan terdengar, tapi Davia menutup telinganya rapat. Ia tidak peduli bagaimana orang lain melihatnya karena pada dasarnya pun ia tidak membutuhkan siapa-siapa. Badannya yang besar dan pipi yang lebih tembam ini bukan alasan untuk membuatnya merasa hina atau rendah. Sungguh ia membenci mereka yang hanya sibuk mengomentari ukuran tubuh orang lain tanpa melihat apa yang dimilikinya.

Mata Davia menjelajah dan tanpa sengaja jatuh ke arah lapangan basket yang dipenuhi kelas lain pada jam Olahraga. Pandangannya terpaku kepada seorang cowok berkacamata yang sedang mendribel bola ke arah ring.

“Devan!”

Teriakan riuh terdengar ketika cowok itu berhasil mencetak poin. Davia mengernyit, cowok idola yang jago bermain basket selalu berhasil memikat cewek-cewek di sekolah. Aneh, tapi nyata. Tiba-tiba suara peluit Bu Ida terdengar. Davia pun berdiri dan kembali mengikuti kelas Olahraga yang belum selesai. Meskipun ia tidak jago olahraga, berada di bawah matahari pagi selalu membuatnya bahagia. Paling tidak, jauh lebih menyenangkan daripada mendengar ocehan buruk soal ukuran tubuhnya.

Lihat selengkapnya