Entah mimpi apa ia semalam, ini adalah pagi terburuk yang dialaminya sejak seminggu lalu. Mejanya dipenuhi tumpukan kertas berisi coretan kata-kata kasar yang mengesalkan. Sambil menghela napas, Davia merapikan meja dan membuang semua sampah yang berserakan di mejanya.
Lalu, ia duduk dan mengeluarkan ponsel dari dalam tas. Ia membuka aplikasi percakapan dengan logo warna hijau dan berselancar di dalamnya. Sesekali cewek itu tersenyum dan tertawa kecil. Ia tampak sibuk dan larut dalam dunia di balik ponselnya.
“Ndut, udah ngerjain PR belum?” tanya seorang cowok yang duduk dua bangku di belakangnya. “Nyontek dong gue, jangan pelitlah. Udah gendut, pelit, mau jadi apa coba?”
“Udah ngerjain, tapi gue nggak akan kasih sontekan ke lo. Lo gimana, sih, Ren? Udah bego, males lagi, mau jadi apa coba?” balas Davia tenang. Ia tidak mengalihkan pandangan dari ponsel sedikit pun.
“Lo berani sama gue, Ndut?” tantang Rendi sambil menghampiri cewek itu. Ia menggebrak mejanya. “Mending lo nggak usah nyari ribut sama gue, deh. Lo masih mau hidup damai di sekolah ini, kan?”
Davia mengangkat bahu dan memutar bola matanya. Ia sungguh tidak peduli dengan cowok yang selalu menghinanya ini. Baginya, meladeni cowok sejenis Rendi hanya buang-buang tenaga. Ia pun berdiri dan berjalan menuju pintu kelas, menutup telinga dari kalimat Rendi yang mengancam dan menyakitinya.
Langkah cewek itu semakin cepat. Sesuatu yang ia benci muncul dan mengganggunya. Ia sangat benci dihina atau direndahkan. Meskipun ia bersikap masa bodoh dan mampu membalas semua perkataan mereka, hatinya terluka sangat dalam. Ia berlari ke taman belakang sekolah, duduk di salah satu bangku, lalu memejamkan mata dan berusaha menenangkan diri.
Kadang, ia lelah mendengar ucapan orang lain. Namun, bayangan masa kecilnya yang penuh dengan berbagai jadwal les membuatnya bertahan. Dulu ia pernah dirundung, juga pernah menangis dan mengadu kepada mamanya. Tapi, tidak kali ini, ia harus kuat.
“Bukannya udah bel masuk? Ngapain masih di sini?” Terkejut, Davia menoleh dan menemukan sosok cowok yang
belakangan ini sering muncul di hadapannya. “Ini mau masuk kelas, Kak. Lo juga ngapain masih di sini?”
“Asal lewat,” jawabnya cuek. “Gue mau ngasih tahu lo kalo nanti, pulang sekolah, kita ada kelas tambahan buat olimpiade.”
“Kita?” tanya Davia bingung.
“Iya, lo dan gue. Apa lo nggak tahu kalo olimpiadenya itu satu tim?”
Davia menggeleng. Ia memang tidak tahu soal itu. Lagi pula kakak kelas yang menjadi idola ini sama sekali tidak terlihat punya kemampuan berlebih di bidang matematika.
“Kita sekarang satu tim buat olimpiade. Gue harap, lo nggak nyusahin gue dan ngelakuin hal konyol. Tujuan utama tim ini adalah menang, dan lo harus ngelakuin semuanya demi itu.”
“Bu Eka nanti bakal ngebimbing, kan, Kak? Gue masih belum paham banyak materi kelas XI,” tanya Davia ragu.