Moritas dikurung di Alam Kematian oleh dewa-dewa lainnya.
Namun Amore, sang Dewa Cinta, mengasihani dewi berhati gelap yang masih muda itu. Amore membawakan sang Dewi hadiah-hadiah dari alam kehidupan, sekumpulan matahari yang ditampung di dalam keranjang-keranjang, air hujan segar di guci dari kaca. Amore jatuh cinta—seperti yang selalu terjadi padanya—dan kunjungan-kunjungannya berujung pada kelahiran Formidite dan Caldora.
—Eksplorasi Mitos-Mitos Kuno dan Modern, oleh Mordove Senia
Adelina Amouteru
Mimpi burukku selama sebulan terakhir selalu sama. Setiap malam, tanpa terkecuali.
Aku tidur di kamar kerajaan di istana Estenzia, ketika terdengar suara geraman yang membangunkanku. Aku duduk di tempat tidur, memandang sekeliling. Air hujan jatuh di langkan jendela. Violetta tidur di sampingku, baru menyelinap ke kamarku gara-gara mendengar suara petir. Tubuhnya meringkuk dekat denganku di balik selimut. Geraman itu kembali terdengar. Pintu kamar perlahan terbuka. Di baliknya, terdapat sesuatu yang mengerikan, kegelapan penuh cakar dan taring, sesuatu yang tidak pernah kulihat tapi kutahu selalu ada. Sutra yang kukenakan terasa dingin tak tertahankan, seolah-olah tubuhku tercelup hingga leher di dalam lautan musim dingin, dan aku tak bisa berhenti gemetar. Aku mengguncang tubuh Violetta, tetapi dia bergeming.
Lalu, aku melompat turun dari tempat tidur dan bergegas menutup pintu, tetapi tidak bisa—apa pun yang berada di balik pintu ini terlalu kuat. Aku menoleh pada adikku.
“Bantu aku!” panggilku putus asa. Dia masih tidak bergerak, dan aku sadar bahwa adikku bukannya tidur, melainkan mati.
Aku bangun dengan sentakan, di tempat tidur dan kamar yang sama, dengan Violetta tidur di sampingku. Hanya mimpi, kuyakinkan diriku. Aku berbaring sesaat, gemetar. Kemudian, kudengar geraman itu lagi, dan pintu kamar mulai terbuka sekali lagi. Aku kembali melompat dari tempat tidur dan bergegas menutupnya, sembari memanggil Violetta. Lagi-lagi, aku menyadari bahwa adikku telah mati. Lagi-lagi, aku akan bangun dengan sentakan dan melihat pintu itu terbuka.
Aku akan bangun ratusan kali, tersesat dalam kegilaan mimpi ini, sampai sinar matahari yang menerobos jendela- jendela kamarku mengenyahkannya. Bahkan, berjam-jam kemudian pun, aku tidak yakin apakah aku tidak lagi bermimpi.
Aku takut kalau-kalau, suatu malam nanti, aku tidak akan pernah bangun lagi. Bahwa aku akan dikutuk untuk berlari ke pintu itu lagi dan lagi, dari mimpi buruk yang menyesatkanku, selamanya.
***
Setahun lalu, yang menunggang kuda di sebelahku adalah Violetta. Namun, hari ini adalah Sergio dan Inkuisisi. Para Inkuisitor itu masih prajurit kejam berjubah putih yang sama yang dikenal Kenettra—kecuali, tentu saja, sekarang mereka melayaniku. Saat aku menoleh pada mereka, aku seolah-olah melihat sungai berwarna putih, jubah-jubah para Inkuisitor yang bertolak belakang dengan langit muram. Aku berputar di sadel dan kembali memandang rumah-rumah terbakar yang kami lewati.
Sosokku terlihat berbeda dengan sewaktu merebut takhta kerajaan dulu. Rambutku sudah panjang, perak bagaikan selembar baja berubah-ubah warna, dan aku tidak lagi memakai topeng atau ilusi untuk menyembunyikan sisi cacat wajahku. Alih-alih, rambutku terkepang dan digelung di belakang kepala, dengan permata-permata yang dijalin dalam helai-helainya. Jubah panjang dan gelapku melambai di belakang, menyelimuti kudaku. Wajahku tersingkap seutuhnya.
Aku ingin orang-orang Dumor melihat ratu mereka.
Akhirnya, ketika kami menyusuri halaman kuil yang terbengkalai, aku menemukan orang yang kucari. Magiano telah sengaja meninggalkanku beserta semua pasukan Kenettra tepat setelah kami memasuki Kota Tarannen. Tak diragukan lagi, dia mencari-cari sisa harta di rumah-rumah milik warga yang telah kabur. Kebiasaan yang dia lakukan segera setelah aku menjadi ratu, ketika aku pertama kalinya mengarahkan pandanganku ke negara-negara di sekitar Kenettra.
Selagi kami menghampiri pemuda itu, dia berkuda menyusuri alun-alun kosong, lalu memelankan kudanya untuk berkendara di sampingku. Sergio memandang Magiano dengan kesal meskipun tidak berkata apa-apa. Magiano hanya membalasnya dengan kedipan. Kepang-kepang panjangnya terikat tinggi di atas kepalanya, lapis- lapis pakaiannya yang tak serasi telah digantikan perisai dada berwarna emas serta jubah yang berat. Baju besinya mewah, bertatahkan permata, dan kalau orang tidak tahu yang sebenarnya, mereka sekilas akan menyangka bahwa dialah pemimpin di sini. Pupil matanya menyipit, ekspresinya tampak malas-malasan di tengah-tengah matahari pada siang hari. Bermacam-macam alat musik melingkar di bahunya. Tas-tas berat berdenting di kedua sisi tubuh kudanya.
“Kalian semua tampak luar biasa pagi ini!” serunya ceria pada para Inkuisitorku. Mereka hanya menundukkan kepala. Semua orang tahu, kalau mereka menunjukkan rasa tidak hormat secara terang-terangan pada Magiano, mereka akan seketika mati di tanganku.
Aku menaikkan sebelah alis. “Berburu harta karun?” kataku.
Dia mengangguk jail. “Butuh sepagian untuk menelusuri satu distrik di kota ini,” ujarnya, suaranya santai, jari-jarinya mengawang memetik senar-senar kecapi miliknya. Bahkan, petikan sesederhana itu pun bernada begitu sempurna. “Sepertinya kita harus menginap di sini selama berminggu-minggu supaya aku bisa mengumpulkan semua benda berharga yang mereka tinggalkan. Lihat saja ini. Kau tak pernah menemukan apa pun yang sebagus ini di Merroutas, bukan?”
Dia menggiring kudanya untuk mendekat. Sekarang, aku bisa melihat apa yang dibawanya. Terbungkus di depan sadelnya adalah seikat tanaman. Thistle kuning. Bunga daisy berwarna biru. Akar hitam kecil yang meliuk-liuk. Aku segera mengenali tanaman itu dan menahan senyum kecil. Tanpa kata, aku mengambil botol dari sisi sadelku dan diam-diam mengulurkannya pada Magiano. Hanya Sergio yang memperhatikan, tetapi dia hanya memalingkan wajah dan meneguk air dari botolnya sendiri. Sergio sudah berminggu-minggu ini mengeluh kehausan.
“Tidurmu semalam tidak nyenyak,” kata Magiano selagi dia meremukkan tanaman itu dan mencampurnya dengan minumanku.
Padahal, pagi ini aku sudah menenun ilusi di atas lingkaran hitam di bawah mata. Tapi, Magiano selalu bisa mengetahui kalau aku bermimpi buruk. “Aku akan tidur dengan lebih nyenyak nanti malam, setelah meminumnya.” Aku menunjuk minuman yang dia siapkan.
“Menemukan beberapa akar hitam,” katanya, mengembalikan botolku. “Mereka tumbuh seperti ganja di Dumor sini. Kau harus meminumnya lagi nanti malam, kalau kau ingin … yah, mereka tetap jinak.”
Suara-suara. Aku rutin mendengar mereka sekarang. Ocehan mereka terdengar seperti sekepul awan bising di balik telingaku, selalu ada, dan tak pernah diam. Mereka berbisik-bisik ketika aku bangun pada pagi hari dan sebelum tidur. Terkadang, mereka mengucapkan hal-hal tak masuk akal. Sering kali mereka menceritakan kisah-kisah kejam. Dan sekarang, mereka mengejekku.
Betapa manisnya, seringai mereka selagi Magiano menggiring kudanya menjauh dan kembali memetik kecapinya. Dia tidak terlalu menyukai kami, bukan? Selalu berusaha untuk menjauhkan kami darimu. Tetapi, kau tidak ingin kami pergi, bukan, Adelina? Kami adalah bagian dari dirimu, terlahir dalam benakmu. Dan, mengapa pula seorang pemuda semanis itu mencintaimu? Tidak bisakah kau lihat? Dia ingin mengubahmu. Seperti adikmu.
Apakah kau bahkan masih mengingat adikmu?
Aku mengertakkan gigi dan meneguk ramuan tersebut. Tanaman-tanaman herbal itu terasa pahit di lidah, tetapi aku menyambut rasa pahitnya. Aku seorang ratu yang menjajah sebuah negara—aku tidak bisa membiarkan ilusi-ilusi tersebut bergulung-gulung tanpa kendali di hadapan rakyat baruku. Ramuan itu bekerja dengan cepat—suara-suara itu teredam, seolah-olah terdorong jauh ke belakang—dan dunia di hadapanku menajam.
Magiano memetik nada lain. “Aku sudah berpikir, mi Adelinatta,” dia bersikap ringan seperti biasa, “bahwa aku mengumpulkan terlalu banyak kecapi dan jimat serta koin- koin berwarna biru safir yang cantik.” Dia terdiam sejenak untuk berbalik di sadelnya dan merogoh emas dari salah satu karungnya yang berat. Dia mengulurkan beberapa keping emas dengan permata biru kecil yang tersemat di tengah-tengahnya, masing-masing bernilai sepuluh emas Kenettra.