Suara ombak di luar mengingatkan Raffaele akan malam- malam berbadai di pelabuhan Estenzia. Namun, di negara Tamoura di Sunland ini, tak ada kanal, tak ada gondola yang mengapung menjauh dari teluk untuk ditambatkan di sisi dinding-dinding batu. Hanya ada pantai dengan pasir berwarna merah dan emas, dan dataran yang dipenuhi semak-semak rendah dan pohon-pohon kurus. Di bukit, sebuah istana megah menjulang di atas lautan, siluetnya hitam dinaungi malam, gerbangnya yang tersohor diterangi kilauan lentera.
Malam ini, embusan angin awal musim semi yang hangat bertiup ke dalam salah satu jendelanya, dan lilin-lilin menyala dengan temaram. Enzo Valenciano duduk di kursi berlapis emas, tubuhnya condong ke depan, kedua tangannya rebah di lutut. Rambut gelapnya yang bergelombang jatuh di wajahnya, dan rahangnya tampak kaku. Matanya terus terpejam oleh rasa sakit, kedua pipinya basah oleh air mata.
Raffaele berlutut di depannya, dengan hati-hati melepas perban putih yang membungkus tangan sang Pangeran hingga sikunya. Aroma daging terbakar dan bau salep yang memualkan memenuhi ruangan. Setiap kali Raffaele melepas perban dari lengan Enzo, yang menyebabkan tarikan di kulitnya yang terluka, rahang Enzo mengencang. Pakaiannya terlepas, lengket oleh keringat. Raffaele melepas perban itu dalam gerakan melingkar. Dia bisa merasakan penderitaan yang menguasai sang Pangeran, dan rasa itu menggores hati Raffaele seburuk kalau dia sendirilah yang sedang terluka.
Di balik perban, tangan Enzo berupa onggokan daging terbakar yang sepertinya tidak akan pernah sembuh. Luka di kedua tangan sang Pangeran sekarang menyebar, dikompori oleh pertunjukan hebatnya sewaktu perang melawan Adelina di pelabuhan Estenzia dulu. Menghancurkan hampir seluruh angkatan laut Beldain Ratu Maeve dengan api telah mengacaukan segalanya.
Sepotong kulit tercerabut bersamaan dengan perban. Enzo mengerang.
Raffaele berjengit melihat daging hangus itu. “Kau ingin beristirahat sebentar?” tanyanya.
“Tidak,” jawab Enzo di antara gigi-giginya yang terkatup. Raffaele menurut. Dengan pelan dan hati-hati, dia melepas perban terakhir dari tangan kanan Enzo. Kedua lengan sang Pangeran sekarang tersingkap.
Raffaele mendesah, kemudian meraih mangkuk berisi air dingin dan bersih di sebelahnya. Dia meletakkan mangkuk itu di pangkuan Enzo. “Ini,” katanya. “Celupkan.”
Enzo merebahkan kedua lengannya ke dalam air dingin itu. Dia perlahan mengembuskan napas. Mereka duduk dalam keheningan untuk beberapa saat, membiarkan menit-menit bergulir. Semakin hari, sang Pangeran semakin menarik diri, matanya rutin memandang lautan dengan rindu. Ada energi baru di udara yang tidak terlalu bisa dipahami oleh Raffaele.
“Kau masih merasakan tarikan Adelina?” tanya Raffaele akhirnya.
Enzo mengangguk. Dia naluriah menoleh ke arah jendela lagi, ke arah lautan. Sunyi beberapa lama sebelum dia menjawab. “Kadang-kadang, rasanya tenang,” ujarnya. “Tidak malam ini.”
Raffaele menunggunya kembali bicara, tapi Enzo tenggelam dalam kebisuannya lagi, perhatiannya masih terarah pada lautan di luar. Raffaele bertanya-tanya siapa yang sedang Enzo pikirkan. Bukan Adelina, melainkan seorang gadis yang sudah lama pergi, dari masa-masa yang lebih membahagiakan di masa lalunya.
Beberapa saat kemudian, Raffaele menyingkirkan mangkuk itu dan dengan lembut mengeringkan lengan Enzo, kemudian melapisi kulit terbakar itu dengan salep. Itu salep lama yang dulu dipesan Raffaele di Fortunata Court, saat Enzo biasa mengunjunginya pada malam hari dan memintanya untuk membalut lengannya. Sekarang, Fortunata Court telah hancur. Ratu Maeve kembali ke Beldain untuk menyembuhkan lukanya dan memulihkan angkatan lautnya. Dan para Belati datang kemari, ke Tamoura—yang tersisa dari Tamoura, tepatnya. Inkuisitor-Inkuisitor Adelina telah tersebar di bukit-bukit di Tamoura utara, begitu kuat.
“Ada kabar tentang Adelina?” tanya Enzo saat Raffaele mengambil perban baru.
“Ibu kota Dumor telah jatuh ke tangannya,” jawab Raffaele. “Dia sekarang memimpin seluruh Sealand.”
Enzo kembali memandang laut, seolah-olah ingin merasakan lagi tarikan abadi di antara dirinya dan sang Serigala Putih. Tatapannya tampak begitu jauh. “Tak terlalu lama lagi sampai perhatiannya kembali kemari, ke seantero Tamoura,” ujarnya akhirnya.
“Aku tidak akan terkejut kalau kapal-kapalnya selanjutnya muncul di perbatasan-perbatasan kita,” Raffaele setuju.
“Apakah Triad Emas akan bertemu kita besok?”
“Ya.” Raffaele mendongak sekilas pada sang Pangeran. “Para anggota kerajaan Tamoura bilang, pasukan mereka masih lemah akibat perlawanan terakhir Adelina. Mereka ingin bernegosiasi dengannya lagi.”
Enzo dengan hati-hati menggerakkan jari-jari kirinya, lalu memicingkan mata. “Dan bagaimana menurutmu?”
“Itu akan buang-buang waktu,” Raffaele menggeleng.
“Adelina mematahkan usaha terakhir mereka tanpa ragu sedikit pun. Tak ada sesuatu yang bisa mereka tukarkan apa yang bisa ditawarkan oleh para anggota kerajaan yang tidak bisa diambil dengan paksa oleh Adelina?”
Keheningan menaungi mereka lagi, yang barangkali merupakan satu-satunya jawaban untuk pertanyaan Raffaele. Selagi Raffaele meneruskan membalut lengan Enzo dengan perban bersih, dia berusaha mengabaikan ombak di luar sana. Suara lautan di balik jendela. Sepasang lilin yang menyala terang dalam gelap. Sebuah ketukan di pintu. Kenangan itu datang tanpa diundang dan dengan mantap, menyelinap di sela-sela dinding yang telah dibangun Raffaele di hatinya sejak kematian dan pembangkitan Enzo dulu. Dia tidak lagi mengobati luka sang Pangeran, melainkan berdiri, menunggu, ketakutan di kamarnya di Fortunata Court bertahun-tahun silam, memandang lautan manusia bertopeng.
Sepertinya seolah-olah seantero kota telah keluar rumah demi menonton penampilan perdana Raffaele. Para pria dan wanita terpandang, dengan jubah sutra Tamoura dan renda-renda Kenettra mereka yang berkibar di seluruh penjuru ruangan. Sebagian wajah mereka tersembunyi di balik topeng berwarna-warni. Tawa mereka melebur dengan suara dentingan gelas dan terompah-terompah yang menggesek lantai. Pramuria-pramuria lain berjalan di tengah-tengah mereka, tenang dan anggun, menyajikan mi-numan dan buah anggur dingin.
Raffaele berdiri di pusat ruangan, seorang pemuda pemalu yang berdandan dan berpakaian dengan sempurna. Rambutnya serupa tirai satin hitam, jubah putih emasnya tampak begitu lembut. Bubuk berwarna hitam membingkai garis matanya yang sewarna permata, yang memandang lautan para penawar yang penasaran. Dia ingat bagaimana kedua tangannya gemetar, bagaimana dia meremas-remasnya untuk menenangkan diri. Dia telah dilatih untuk menunjukkan berbagai macam ekspresi—seribu gerakan samar yang berbeda di bibir, alis, pipi, dan matanya, meskipun terkadang itu tidak mencerminkan perasaannya yang sesungguhnya. Kali ini, ekspresinya tampak damai, malu secara memikat, tampak senang dalam kelembutannya, tenang bagaikan salju, tanpa rasa takut.
Sesekali, sebuah energi berdesir dalam ruangan itu. Raffaele otomatis menoleh ke arah energi tersebut, tak terlalu yakin akan apa yang dia rasakan. Awalnya, dia mengira itu hanya permainan pikirannya—sampai dia sadar bahwa energi itu terpusat pada seorang pemuda asing yang melangkah di tengah keramaian. Mata Raffaele mengikutinya, terpana oleh kekuatan yang seolah berkelana di ruangan itu.
Penawaran orang-orang semakin tinggi dan telak. Semakin melonjak, sampai-sampai Raffaele tidak bisa memahami jumlah angkanya lagi. Pemandangan dan suara-suara di sekelilingnya mulai kabur. Pramuria-pramuria lain saling berbisik. Raffaele tidak pernah mendengar jumlah sebanyak itu diimbal-imbalkan di acara lelang, dan kejanggalan tersebut membuat jantungnya berdebar lebih kencang, membuat tangannya semakin gemetar. Pada titik ini, dia tidak akan mungkin mampu memenuhi kebutuhan siapa pun yang menang lelang nanti.