The Mint Heart

Bentang Pustaka
Chapter #2

Raja Es dan Ratu Drama

Mencairkan hatinya bukan untuk kumiliki sendiri.

Aku ingin ia bisa merasakan cinta yang hangat dari orang-orang di sekelilingnya.

Sejak tadi malam, aku sudah mulai tidak suka dengan suara telepon. Suaranya seperti hantu yang menerorku. Pagi ini hantu itu menjerit lagi. Sebenarnya …, agak tidak adil, sih. Setelah aku lihat record panggilan masuk tadi malam, yang meneleponku berkali-kali adalah Bu Patricia. Lula, baru sekali itu menghubungiku dan langsung kudamprat karena kupikir ia yang sudah meneleponku tanpa henti. Hahaha! Sial sekali dia, sekalinya nelepon, kena marah. Tapi, kok …, aneh juga, kenapa dering yang sekali itu langsung aku angkat? Padahal, yang sebelumnya aku cuekin saja.

Ponselku berbunyi lagi, sepagi ini. Sambil mengoles selai di roti sarapanku, aku menjawab panggilan dengan malas.

“Leon! Ya, ampun, kenapa nggak diangkat-angkat? Gue nelepon dari tadi!” Suara Lula kencang, sarapan apa, sih, dia? “Lu di mana sekarang? Gue sudah di bandara nih. Kita check-in bareng, ya, biar kita dapat seat samping-sampingan, he … he … he …,” Lula terkekeh di seberang sana.

“Check-in bareng? Samping-sampingan? Apa-apaan, sih, lu?”

“Leon, jangan bilang lu masih di rumah dan nggak tahu kita harus ke Padang, sekarang juga!”

“Gue … emang nggak tahu ... dan gue emang masih di rumah!” jawabku polos.

“Serius lu!” Lula histeris.

“Serius.” Aku mulai merasa tidak tenang. Ya, ampun! “Wherever You Want” sialan itu! “La! Flight pukul berapa?”

“Satu setengah jam lagi ...,” Lula menjawabnya dengan lemas.

“Gue berangkat sekarang!” Aku langsung terbang ke kamarku. Mengambil kameraku dan segala perlengkapannya. Dalam beberapa detik saja kameraku beres karena aku selalu meletakkan di tempatnya. Kemudian …, ah …, travel bag. Aku menurunkan travel bag dari atas lemari, tapi kemudian bingung, baju apa yang akan kubawa berpetualang ke beberapa tempat yang destinasinya tidak jelas?

Tidak sempat berpikir lagi, kumasukkan semua pakaianku dan perlengkapan lainnya, sesanggup yang aku pikirkan. Sepuluh menit sudah lewat. Sial, aku juga harus memesan taksi. Sementara aku menunggu taksi datang, aku membereskan beberapa sepatu yang mungkin akan aku gunakan. Semua masuk dalam satu travel bag berukuran sedang.

“Ngebut, Pak. Bandara!” Sopir taksi bisa diajak bekerja sama, tapi justru kemacetan Jakarta yang nggak bisa diajak kompromi.

“Lu sampai mana?” Lula menelepon untuk yang keseribu kalinya. “Gue udah check-in, kayaknya lagi ada razia, gue nggak bisa check-in tiket lu.” Lain waktu, ia menelepon lagi, “Tapi gue juga udah print tiket lu. Lu cepetan, ya!”

Ya, ampun aku sampai tidak kepikiran tiket. Memangnya ini bus malam, yang tiketnya bisa dibeli di tempat, “Iya, iya, ini juga gue usahain!”

Lain waktu, saat Si Sopir sedang ngebut, Lula menelepon lagi. “Udah panggilan boarding, nih … lu sampai mana, Leon?”

“Gue kena macet di tol masuk bandara nih.”

“Haduh gimana, dong?”

“Ya sudah, lu terbang duluan saja. Gue nanti nyusul pakai flight berikutnya kalau dapat.”

“Nggak. Gue nggak mau. Gue harus pergi barengan sama lu! Kalau lu nggak naik pesawat ini, gue juga nggak!” jeritnya.

Lihat selengkapnya