Kalau memang sudah jodoh, walaupun pintu terkunci, pasti dibuka lagi.
Saat membuka mata, kali pertama yang kulihat adalah Lula. Bagaimana tidak, wajahnya ada tepat di depan wajahku. Waktu kutanya apa yang sedang dilakukannya hingga mesti mendekatkan wajahnya sedekat itu, dia cuma nyengir nggak jelas. Dia memang nggak pernah jelas. Jadi, kututup saja kasus itu daripada jadi lebih nggak jelas.
Sampai di Padang, hujan lebat. Damia menelepon, ada perubahan jadwal. Rencana awalnya, dari bandara kami langsung ke dermaga untuk menyeberang ke Pulau Sikuai, pulau yang akan kami liput. Ternyata cuaca sedang tidak bagus dan gelombang tinggi, jadi penyeberangan ke pulau itu ditunda sampai besok.
“Hari ini liputan bebas saja. Lula pasti tahu tempat yang bagus buat diliput,” kata Damia, sekretaris redaksi itu dengan kalem. “Aku udah atur masalah transport sama akomodasi. Sekarang di luar bandara sudah ada yang antar mobil sewaan kalian.” Damia yang malang. Bu Patricia pasti sudah mengintimidasi dia supaya melek semalaman buat ngurus ini semua.
Kami mengikuti jadwal yang sudah dibuat Damia. Dari bandara, kami langsung menuju hotel, padahal, ini belum waktunya check-in. Hal yang kukhawatirkan terjadi, kamar belum siap. “Sebentar, ya, Mas, saya carikan kamar yang sudah siap,” kata petugas resepsionis yang tampaknya hari ini sedang bahagia. Sebab, senyumnya kelewat lebar untuk dibilang sekadar ramah tamah.
“Nggak pernah lihat cowok cakep,” Lula berbisik sambil mendengus. Sedang bertingkah jadi nyonya pencemburu rupanya.
“Ah, kebetulan ada, Mas Leon. Tapi maaf, baru satu kamar yang ready, yang satunya lagi belum siap. Bagaimana?”
“Oh, nggak apa-apa, Mbak ….” Yang barusan menjawab itu Lula. “Kamar yang satu lagi nggak ada juga nggak apa-apa.” Sambil cengar-cengir nggak jelas, kemudian menjawil lenganku. Apa, sih, yang ada di otak cewek ini? “Leon, untuk menghemat anggaran perusahaan, bagaimana kalau kita sekamar berdua saja!”
Aku mendengus. Dasar gila! Usul seperti itu mana pernah keluar dari mulut perempuan normal. Jangan pernah juga berharap itu adalah inisiatif dariku. Sampai sejuta tahun lagi juga nggak bakalan. Aku mengacuhkan perempuan gila yang sekarang sedang menatapku tajam. Mau apa lagi dia. “Kalau lu nggak mau, kita suit aja. Yang menang dapat kamar itu!” Ia menantang.
“Oke!” Hah, dia pikir aku takut. “Ayo! Satu … dua … tiga!” Aku telunjuk dan dia kelingking. Aku mengulum senyum kemenangan.
“Eh … ulang, curang!” Dia melolong-lolong, seolah semua orang di lobi ini adalah alien yang tidak punya telinga. “Curang! Heh, ayo ulang!”
“Apanya yang curang? Lu, tuh, yang mau curang.” Dengan cuek aku mengisi kartu registrasi dengan namaku.
“Silakan ditunggu sebentar ya, Mas Leon. Saya pastikan kamarnya sudah ready dulu.”
Kami duduk di sofa lobi hotel, dua gelas welcome drink datang.
“Oh, iya, Leon. Gue punya sesuatu.” Ia meraih ranselnya dan mengeluarkan sebuah paper bag kecil. Ia menyerahkannya kepadaku dengan mata berbinar di balik kacamatanya. “Ini buat lu.” Aku menerimanya dengan curiga. “Buka, dong!”
Aku membuka kantong itu dan mengeluarkan isinya. Sebuah kaus berwarna putih dengan corak kotak-kotak putih hitam untuk aksen dada sebelah kanannya. “Ini apa ….”
“Cendol! Ya nggak, lah! Ini kaus. Couple shirt!” kata Lula sambil mengeluarkan satu kantong lagi dari ranselnya. Dengan cepat ia membukanya dan menunjukkannya kepadaku. Sebuah kaus perempuan dengan leher Sabrina dan aksen sabuk kain bermotif kotak-kotak hitam putih juga di atas pinggulnya. Aku tidak tahu dari mana perempuan ini dapat ide pakai kaus pasangan begini. “Kapan-kapan kita pakai bareng, ya!”
Untung saja dia nggak beli yang ada tulisannya I Love Her untukku dan I Love Him untuknya, kemudian ada gambar orang tunjuk-tunjukkan. Model ini lumayan juga, tapi sebagus apa pun modelnya, kurasa couple shirt adalah pilihan terakhir jika aku sudah kehabisan baju. “Iya, kapan-kapan.” Aku mencoba sopan.
“Eh, kalau nanti sore gimana?” Lula ngelunjak.
“Nggak!”
Lula baru saja akan protes, ya, bukan Lula namanya kalau nggak protes, tapi untung saja perempuan petugas resepsionis tadi memanggilku. Kami kembali ke meja registrasi, resepsionis memberikan kunci kamarku. “Kalau kamar yang satunya sudah siap, akan saya hubungi Mas Leon,” katanya masih dengan senyum yang lebar itu.
Kutolak bell boy yang menawarkan membawa travel bag-ku dan langsung menuju lift. Lula mengikuti. Ia menyeret-nyeret kopernya. Sementara di punggungnya ada satu tas ransel segede karung yang bisa difungsikan untuk menculik bayi. Sampai di lantai yang dituju, aku keluar dari lift. Lula ikut keluar, ia mengekoriku. Aku tidak tahu, mau sampai kapan dia mengekoriku.
Ah, ini dia kamarnya, akhirnya aku bisa rebahan sebentar sambil menunggu hujan reda. Hitung-hitung mengganti jam tidurku tadi malam yang diinterupsi para teroris nggak tahu waktu. Aku memang memejamkan mata di pesawat tadi, tapi sebenarnya sama sekali tidak bisa tidur. Entah kenapa, perasaanku gelisah. Seperti ada setan yang mengawasiku.