Sebelas tahun kemudian
Di sebuah rumah dalam kompleks perumahan kota metropolitan. Mobil terparkir di depan pagar hitam yang tinggi dengan mesin yang sudah menyala. Pintu belakang mobil itu terbuka dan seorang pria keluar dari dalam rumah mengangkat beberapa tas dan perlengkapan lain kemudian membawanya masuk ke dalam mobil.
"Adora cepat sedikit nanti kamu sampai di sana kemalaman, Sayang," ucap Amelie ketika tiba di depan pintu kamar putrinya.
Amelie bertubuh proposional seperti ketika dia masih gadis dan berprofesi sebagai model kala itu. Balutan pakaiannya simple dan sederhana namun tetap saja terlihat menawan di tubuhnya yang ramping. Rambutnya ikal sepanjang bahu dan walaupun telah berumur tiga puluh lima tahun, wajahnya masih terlihat sangat cantik. Saat ini, hatinya sedih karena akan ditinggal sementara waktu oleh putri semata wayangnya.
"Sudah hampir selesai, Ma." Jawab Adora.
Adora mengamati lagi barang-barang di hadapannya dan menyamakannya dengan barang apa saja yang sudah tercatat di list memo. Setelah semuanya cocok dia menutup kopernya dan menguncinya. Pengecekkan terakhir selesai.
Sekarang Adora berusia enam belas tahun dengan tinggi badan seratus enam puluh lima sentimeter. Tubuhnya ramping seperti Amelie dan kulitnya seputih susu. Rambutnya lurus hitam sepanjang pinggang dan di ikat model ekor kuda.
Adora sudah menjadi gadis remaja. Perubahan pada dirinya sudah terlihat ketika Adora kelas satu SMP. Adora merupakan siswi paling tinggi dan paling cantik di sekolahnya sehingga pantas apabila menjadi primadona sekolah. Memang, paras Adora diperoleh dari Amelie yang cantik dan Samuel yang tampan serta berdarah campuran.
Pengumuman dan upacara kelulusan SMP sudah selesai. Tes dan pendafataran SMA juga sudah diurus. Kini Adora mempunyai libur yang panjang sambil menunggu ospek sebagai murid SMA bulan depan dan untuk menghabiskan waktu selama itu, Adora memutuskan berlibur ke puncak, menjauh dari kesibukan dan kebisingan kota dengan mengajak serta kedua sahabatnya.
Adora akan mengunjungi Vila milik Andreas, sahabat karib papanya sekaligus tetangganya dan Adora sangat bersemangat menantikan hari ini. Andreas dan Anna pernah bilang bahwa Adora pernah sekali main ke sana dengan Ayanna sewaktu kecil, tetapi Adora tidak ingat sama sekali.
"Barang-barangmu sudah siap, Nak?" Tanya papanya, Samuel, seraya masuk ke kamar putrinya.
"Sudah, Pa."
Tubuh Samuel tinggi, tegap berisi, berwibawa dan masih kekar. Rambutnya di cat hitam dan dipotong pendek sehingga rapi. Samuel masih terlihat tampan dengan usianya yang sudah hampir separuh baya.
"Teman-temanmu sudah menunggu di bawah dan barang bawaan mereka juga sudah masuk ke dalam mobil. Jadi cuma tinggal kamu yang di tunggu."
"Iya, aku juga sudah selesai packing,"
"Sini papa bawakan kopermu."
"Adora," panggil seorang gadis berkacamata, "karena kamu lama jadi aku menyusul ke atas. Kamu sudah selesai?"
"Neiri!" Cengir Adora. "Ini sudah selesai."
"Siiip, kalau udah selesai ayo turun."
Neiri Thalia adalah teman Adora sejak SMP. Wajah Neiri manis dan kulitnya berwarna kuning gading. Rambutnya bergelombang sepanjang pundak dan berwarna hitam. Tinggi tubuhnya seratus lima puluh sentimeter. Dia cukup kecil jika dibandingkan dengan Adora dan Rize. Dia anak tunggal dan orang tuanya memiliki bisnis furniture Jepara yang melakukan ekspor ke luar negri mau pun dalam negri.
Samuel mengangkat koper Adora ke bawah sementara Adora dan Neiri sudah berlari turun duluan untuk menghampiri Rize.
"Oh, sudah selesai?" Rize menutup majalah di pangkuannya.
"Sudah, ayo berangkat." Jawab Adora.
"Okeh," Rize meletakkan kembali majalah yang dipinjamnya di atas meja.
Rize Ofelia juga teman Adora sejak SMP. Adora berteman dengan Rize terlebih dahulu kemudian menyusul Neiri. Rize hampir setinggi Adora. Kulitnya putih pucat, rambutnya pendek berwarna hitam pekat dan lurus. Rize cantik dan pembawaannya tenang serta jalan pikirannya dewasa. Otaknya paling encer dan sering kali menjadi juara umum dan mengikuti lomba di sana sini.
Rize dikaruniai bakat untuk melihat ‘sesuatu yang kasat mata’. Orang zaman sekarang menyebutnya Six Sense. Neiri juga bisa tetapi Neiri penakut sehingga dia memilih untuk tidak mau melihat 'mereka'.
***
Samuel memasukan semua barang bawaan Adora ke bagasi mobil dan kemudian menutup pintunya.
"Semuanya sudah siap, kan? Kalian harus jalan sekarang." Ujar Amelie.
"Iya, Ma. Sampai ketemu minggu depan." Adora mengecup pipi mamanya. Amelie menitikan airmata. "Ma... kenapa nangis?" Adora menghapus airmata di pipinya. "Adora hanya pergi seminggu. Minggu depan juga balik lagi kok. Ya?"
Amelie menghapus airmatanya, "I-ini pertama kalinya kamu pergi sendiri tanpa papa dan mama. Mama ingin ikut pergi sama kamu."
"Ssst... Nggak, Ma. Adora bisa sendirian. Ini acara gadis muda. Lagian ada Rize dan Neiri juga kok. Adora gak apa-apa hehehe." Adora memeluk mamanya.
"Kalau ada apa-apa telepon ke rumah segera. Ok? Segera! Jam berapa pun itu mama akan pergi segera setelah dapat telepon dari kamu."
"Iya, Ma. Oke. Kita berangkat ya."
Amelie masih mengingat dengan jelas peristiwa sebelas tahun yang lalu. Terakhir kali Adora ke sana, dia menghilang tetapi berhasil ditemukan oleh Arthur, anak Anna yang kedua. Setelah itu Adora demam tinggi dan segera dilarikan ke rumah sakit. Setelah Adora sadar di rumah sakit, semua ingatan Adora tentang masa kecilnya dan kejadian saat itu lenyap. Dia tidak mengenal kedua orangtua dan Ayanna, Andreas, Anna, Ken, dan Arthur.
Hati Amelie semakin terluka lagi ketika teringat kejadian setelahnya. Di hari Adora sadar di rumah sakit, dia mendapat kabar bahwa Anna dan kedua anaknya kecelakaan. Anna sekarat dan kedua anaknya meninggal. Anna mengalami keterpurukan selama hampir setahun dan setiap hari Anna menangis dan histeris mengenang kedua anaknya.
Amelie merasa tidak perlu mengingatkan Adora kembali pada kedua anak laki-laki Andreas dan Anna karena mereka telah meninggal. Amelie tidak mau Adora merasa bersalah dan semakin membuat Anna terpuruk.