The Mirror

rudy
Chapter #2

Bab 2 Menuju Indonesia

 

Mobil meluncur deras tanpa guncangan, memasuki lapangan terbang, terus melaju di atas lapangan. Lurus menuju sebuah pesawat kecil berwarna putih yang telah menunggu. Dari jauh terlihat gelombang panas bercampur angin kencang menghambur keluar dari mesin jet ganda yang digendong sayapnya, mesin pesawat telah dinyalakan begitu melihat Bentley hitam mendekat. Beberapa pesawat komersil berbadan besar mengantri di belakang pesawat jet kecil itu, seperti kerbau di gembala oleh anak kecil.  

 

Dua belas sofa kosong menyambut mereka di dalam pesawat. Chon harus beringsut memasuki pesawat. Pintu pesawat itu terlalu kecil bagi tubuhnya yang selebar kulkas berpintu ganda. Moye berjalan tegak di dalam pesawat pribadi yang hanya memiliki dua belas tempat duduk, sementara Chon harus membungkuk, merayap perlahan agar kepalanya tidak menjebol atap pesawat.

 

Moye menghempaskan diri ke atas sofa, tepat saat pintu kokpit di bagian terbuka. Kapten pesawat berjalan masuk ke dalam kabin penumpang.

 

“Malam Nona, ada titipan surat dari Godfather.” Kapten itu tersenyum, tangannya menjulurkan sebuah amplop surat.

 

“Kau tidak berubah Gus. Kau selalu menyeringai seperti ini saat aku tidak bisa menentukan tujuan.” Dengan gusar Moye merenggut surat itu dari tangan Gus.

 

“Aku tersenyum bukan karena kau tidak bisa menentukan tujuan Nona. Namun karena tujuan yang bukan pilihanmu, biasanya adalah tempat yang sangat aman dan damai. Aku tidak bisa mengatakan hal yang sama saat kau yang memilih tempat tujuan Nona. Seperti sekarang ini, kalau kau dan Chon terlambat sepuluh menit, seluruh lintasan landasan akan dipenuhi militer untuk mencegah kita terbang. Urusan tidak akan demikian mudah jika angkatan militer sebuah negara komunis ikut turun tangan.” Gus kembali memamerkan seringainya sambil berjalan kembali ke kokpit pesawat.

 

“Dari mana kau tahu mengenai itu?” Moye mengerutkan kening.

 

“Pertanyaan itu seharusnya untuk Godfather. Aku hanya duduk di sini, ponselku berbunyi dan ada yang mengabarkan itu dalam bahasa Inggris yang patah-patah. Bersiaplah Nona, kita akan segera mengudara menuju tempat yang pasti tertera di dalam surat dari Godfather.”

 

Namun Moye tidak lagi menaruh perhatian pada kata-kata Gus. Pandangan matanya tertuju pada sehelai kertas surat dengan tulisan tangan Ayahnya.

 

‘Menghindarlah untuk sementara. Biar orang lain yang membereskan costra nostra. Aku tidak ingin kau berada di dalam lingkaran bisnis kita selama beberapa bulan ini. Aku sudah mengatur agar Gus membawamu ke Indonesia. Setelah melewati imigrasi, berikan passport mu kepada Chon. Sebelum passport ada di tangan Chon, jangan harap ada satu sen pun yang dikirimkan kepada kamu. Itu adalah perintah aku. Setelah menyerahkan passport kepada Chon, mintalah apapun yang kau mau kepada Yuki. Kaito Genkei.’

 

Dengan geram Moye meremas surat itu. Sialan. Indonesia. Negara tanpa kasino. Dia melirik Chon yang duduk di depannya. Wajahnya semakin mengerikan, Chon tampak seperti pitbull yang sedang menggeram, memperlihatkan taring kanannya di balik bibir yang sobek bekas jahitan. Tapi Moye tahu, seperti itulah wajah Chon kalau sedang tersenyum. Konon, Chon adalah orang kedua yang menggendong dirinya. Yang mengambil dia dari tangan bidan dan menyerahkan kepada Ibunya.

 

“Sialan. Kau pasti sudah tahu isi surat ini.” Moye mendesis kesal kepada Chon. Bibir itu semakin menganga memperlihatkan taringnya, kali ini diiringi suara terkekeh. 

 

***

Lihat selengkapnya