Setelah hampir tujuh tahun sejak terakhir kali ke Jakarta, belum ada yang berubah di kota yang merupakan tempat lahir Ibunya ini. Macet masih merupakan ciri khas kota ini. Bugatti 8000cc yang ia miliki tidak ada gunanya di jalan yang padat merayap seperti ini. Membuatnya malas untuk berkendara. Di kota ini yang menjadi jawara adalah besi melengkung yang dipasang jok dan mesin 110cc, yang dengan lincah membelah kepadatan jalan, seperti air yang merembes melalui celah dinding. Dan sekarang ia harus pasrah tinggal di kota ini. Tanpa passport, ia terkurung di kota ini. Meski lancar berbahasa Indonesia, namun dia tidak punya KTP, karena dia lahir di Jepang.
Moye masih setengah memejamkan mata di dalam mobil yang ia sewa, ketika sudut matanya menangkap kejadian yang membuat alis matanya menyambung di tengah.
Di sebelah kiri jalan, di dalam sebuah terminal bus, dia melihat seorang gadis dipermainkan oleh tiga orang lelaki. Gadis yang bertelanjang kaki sambil mengejar sandal yang dilemparkan ke sana sini oleh tiga begundal berwajah seperti tikus. Dua hal yang paling di benci oleh Moye adalah pengkhianatan, dan buli. Sebelas tahun dididik oleh guru-gurunya di shaolin telah memupuk rasa keadilan di dalam dirinya. Ajaran welas asih dari para biksu telah hilang dari dirinya, tenggelam dan hanyut oleh ganasnya dunia hitam yang ia geluti. Namun ajaran untuk membela yang lemah masih bertahan, mengambang di atas permukaan sungai kehidupan yang dijalaninya.
Dia turun dari mobil sewaannya, melemparkan setumpuk uang tunai yang membuat mata pengemudi terbelalak seperti melihat hantu, kemudian mengambil bagasinya dan berjalan ke arah terminal. Terlambat, ketiga orang begundal itu telah pergi. Hanya tersisa gadis itu, berlutut dan menangis.
Moye kembali mengerutkan kening. Hal ketiga yang ia benci, wanita yang menangis. Bagi Moye, menangis itu hanya dilakukan oleh bayi.
“Kenapa kamu menangis?” Tanya Moye dengan nada agak jijik. Gadis di depannya masih berlutut dan terisak, air matanya menetes bagaikan keran bocor. Moye menghela napas panjang, berusaha menahan sabar. Berlutut dan menangis di depan orang banyak sama sekali tidak ada di dalam kamus kehidupan Moye. Dia hanya sekali melihat orang yang berlutut dan menangis di hadapannya, itu adalah dua tahun yang lalu ketika dia menghabisi seorang gembong narkotik yang berusaha mengambil alih kawasan kasino Ayahnya di Meksiko. Gembong narkotik dengan tato singa dan harimau di sekujur tubuh itu berlutut dan menangis di depannya, memohon untuk kelangsungan hidup dia dan keluarganya. Moye membiarkan keluarganya tetap hidup, namun tidak untuk gembong itu sendiri.
Dan sekarang dia bingung, dia turun dari mobil adalah untuk menolong gadis yang sedang ditindas, namun dia tidak mengharapkan gadis ini sedemikian lemah dan cengeng.
“Bangunlah. Ada aku di sini. Kalau ada yang berbuat tidak adil kepadamu, kamu harus melawan. Air matamu itu adalah kenikmatan bagi musuhmu. Cepat bangun, lain kali lawan sekuat tena………..” Moye menghentikan kata-katanya ketika gadis di depannya mengangkat wajah. Di balik kacamata hitamnya, Moye terbelalak.