“Kau harus ikut aku.” Mata Moye berbinar-binar. Tangannya mencengkeram erat lengan Yona, tidak akan ia lepaskan. Seperti seorang Ibu yang menemukan calon menantu idaman. Kebebasan itu sekarang terasa demikian dekat. Dia bahkan dapat melihat dirinya sedang duduk di depan deretan mesin jackpot di Sentosa Island. Atau di meja hijau, bertanding melawan banker di Genting. Mungkin bahkan bisa main lucky draw di Venetian Hotel.
“Kamu siapa?” Yona tercengang. Tangisnya telah berhenti. Rasa sedihnya telah ditenggelamkan oleh rasa takjub. Dia merasa seperti sedang berada di dalam mimpi, dan bertemu dengan dirinya sendiri dari dimensi yang berbeda. Dimensi di mana dia memiliki nasib yang lebih baik daripada kehidupan yang sedang ia jalani sekarang.
“Aku Moye. Ayuk ikut aku.” Moye langsung menarik Yona mengikuti langkah kakinya berjalan keluar terminal.
“Eh, tunggu. Mau ke mana? Aku tidak kenal kamu. Aku tidak harus menurut.” Yona berusaha melawan. Aneh, tubuh mereka sama besar, namun Yona sama sekali tidak sanggup menahan tubuhnya yang terseret oleh tenaga tarikan Moye.
“Aku akan membeli semua minuman kamu yang tumpah. Asalkan kamu ikut aku.” Kata-kata Moye langsung membuat Yona terdiam.
Yona tercengang. “Semua? Serius?”
“Kau berani meragukan aku?” Moye balik bertanya dengan nada yang setajam mata pedang, sinar matanya berubah sedingin es. Ada kebengisan tersamarkan di bawah wajah cantik yang sekarang kaku seperti patung lilin. Bagi Moye, menanyakan keseriusan kata-katanya adalah sebuah penghinaan. Tidak ada seorangpun di dalam organisasinya yang berani membuatnya harus berbicara dua kali.
Yona meneguk ludah. Tenggorokannya terasa kering. Mata yang dingin dan kata-kata yang tajam itu melelehkan seluruh keberaniannya. Yona yakin, mereka memiliki bentuk wajah yang sama. Termasuk mata. Namun, sinar mata mereka berbeda bagaikan langit dan bumi. Ada sesuatu yang liar dan tidak bisa diatasi di dalam sinar mata Moye. Sinar mata Yona seperti kucing rumah, sementara sinar mata Moye bagaikan singa. Buas, penuh percaya diri dan tidak menerima perintah. Sinar mata yang hanya mengenal kemenangan seumur hidupnya, hanya kematian yang akan menghentikan kemenangannya.
Tanpa terasa, tubuh Yona gemetar. Di bawah teriknya sinar matahari, dia merasa tulangnya menggigil seperti disiram air pegunungan. Seperti kambing di tangan peternak, dia akhirnya diam dan menurut kepada Moye. Kakinya melangkah terseok-seok mengikuti langkah kaki Moye. Yona merasa kakinya seperti agar-agar yang meliuk tanpa tulang.
***
Moye tersenyum puas di depan cermin besar yang terpampang di depannya. Cermin besar itu memantulkan bayangan dirinya dan Yona, yang masih duduk di atas kursi, diam dan pasrah membiarkan dirinya dipermak oleh penata rias salon. Sekarang yang membedakan antara Moye dengan Yona hanya pakaian yang mereka kenakan. Rambut panjang Yona telah menghilang, berganti dengan rambut sebahu yang sama persis dengan Moye.
“Nah, ini baru namanya saudara kembar. Sekarang kalian sama persis.” Kata si penata rias dengan kemayu.