Matahari kembali membakar bumi. Beberapa hari belakangan ini cuaca seperti tidak memberi ampun kepada bumi. Panas membara tanpa sedikit pun awan yang menghalangi amukan matahari. Seperti hendak mengubah bumi menjadi neraka. Mungkin juga karena dosa manusia sudah terlalu pekat, hingga sembah sujud kepada Tuhan sudah terperangkap di dalam selimut dosa.
Ito dan empat orang temannya berlindung di bawah kerimbunan pohon akasia di belakang terminal. Lima gelas kopi, sepiring gorengan, dan kartu domino menemani di atas meja kecil yang diletakkan di tengah mereka.
Wajah mereka buas. Mata nyalang, tanpa kedip memelototi siapapun yang tertangkap oleh pandangan mata. Membuat pejalan kaki enggan melewati jalan rindang yang penuh pepohonan itu. Mereka seperti hewan buas yang sedang menunggu mangsa.
“Toy, kau pergi sana ke kedai Bu Rizky, minta lagi kopi lima. Sekalian bilang sama si mpok, hari ini setoran jangan lewat dari jam lima. Cemacem ku bakar sekalian kedainya.” Ito berkata kepada Otoy, temannya yang memiliki tato ular kobra di bahu kanan.
“Siap Bang.”
Otoy pergi melaksanakan perintah majikannya. Dia menyeret tubuh besarnya melewati pagar yang membatasi antara deretan pohon akasia dengan kawasan terminal.
“Yip, kau pergi sana minta setoran sama deretan kaki lima. Sudah tengah hari belum ada yang kasih setoran. Tanya sama mereka, masih mau dagang di sini tidak?” Ito berkata kepada Toyip, Temannya yang berambut panjang, dengan potongan wajah seperti pengki. Persegi empat, lebar, dan kotor.
“Siap Bang.” Toyip setengah berlari meninggalkan meja kecil, hendak menyelesaikan perintah Rajanya.
Di bawah bayangan pohon akasia yang rindang, panasnya cuaca menjadi terlupakan. Terik matahari tidak mampu menembus dedaunan yang rapat membungkus dahan. Jalan kecil yang hanya pas dilalui dua mobil itu lengang, hanya ada satu dua motor yang berlalu dengan kecepatan tinggi, berusaha mengambil sisi jalan yang sejauh mungkin dari tiga orang yang duduk dengan gaya pengangguran itu. Kaki diangkat, pakaian yang sengaja tidak menutupi tato di atas kulit, rambut panjang dan ikal seperti pengepel lantai. Bahkan dari ujung jalan sudah tercium aroma masalah di dekat mereka.
Sepuluh menit telah berlalu, satu putaran permainan gaple telah mereka lewati. Kopi di gelas telah mendekati dasar, bubuk kopi yang kasar mulai menempel di gigi dan di bibir. Namun, Otoy belum juga kembali. Angin semilir yang menggoyang daun di pohon mulai terasa menghanyutkan. Mata mereka bertiga mulai setengah terpejam, mulut mulai menguap, dan wajah bengis mereka mulai datar diserang oleh rasa kantuk.
“Ini ke mana si Otoy? Lama sekali.” Ito berteriak dan berdiri. Sebagian karena gusar, sebagian lagi untuk mengusir rasa kantuk yang mulai menyerang. Demi apapun, sebagai kepala preman, dia tidak boleh tidur di depan umum. Masalahnya sederhana, semua orang wajahnya akan terlihat polos dan culun pada saat tidur. Dan Ito tidak mau citra sebagai preman bengis menghilang dari dirinya.
“Abang tunggu saja. Biar aku yang cari dia.”
Seorang anak buahnya turun dari bangku, dan segera berlari meninggalkan mereka menuju terminal. Gerakannya cepat dan gesit. Secepat itu dia menghilang, secepat itu pula dia berlari kembali. Hanya satu menit dia sudah muncul kembali, kali ini dengan wajah yang panik.
“Bang, Bang Ito. Otoy…..dan Toyip…….Otoy dan Toyip…” Dia berteriak dengan gagap, wajahnya berkeringat dengan mata terbelalak. Rasa takut jelas terpancar dari wajahnya.
“Ada apa? Mana Otoy dan Toyip? Kenapa mereka?” Tanya Ito terkejut. Siang yang berlangsung santai itu langsung berakhir, berganti dengan adrenalin yang mengalir deras di dalam tubuh.
“Mereka….mereka…..hampir mati.”